OPINI PAJAK

4 Alasan Kenapa Kita Tidak Perlu Pajak Sepeda

Selasa, 07 Juli 2020 | 09:06 WIB
4 Alasan Kenapa Kita Tidak Perlu Pajak Sepeda

David Ahmad, mahasiswa FIA Universitas Brawijaya

DAMPAK pandemi Covid-19 terhadap sektor ekonomi membuat kinerja penerimaan pajak semakin tertekan. Selain itu, jor-joran insentif pajak yang ditujukan agar kegiatan ekonomi kembali pulih juga turut menyumbang dampak bagi penerimaan pajak jangka pendek.

Di tengah kondisi ini, Vissaro (2020) menilai perluasan basis pajak semakin mendesak untuk diberlakukan demi pemerataan dan distribusi beban pajak yang lebih adil sesuai dengan kemampuan untuk membayar.

Beberapa media belakangan ramai memberitakan kabar tentang pajak kepemilikan sepeda yang akan kembali dipungut. Hal ini tentu mengejutkan bagi para pengguna sepeda, khususnya mereka yang baru membeli untuk kebutuhan olahraga ditengah pandemi (Perkasa, 2020).

Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan pekan lalu mengungkapkan kemungkinan ini dapat diterapkan sejalan dengan tren penggunaan sepeda di masyarakat yang kian meningkat serta revisi UU No. 22 Tahun 2009 yang telah didiskusikan dengan Korlantas Polri.

Namun, beberapa hari setelah pernyataan ini, juru bicara Kementerian Perhubungan membantah tidak benar jika kementeriannya menyiapkan regulasi terkait dengan pajak kepemilikan sepeda. Keluar dari perdebatan internal ini, tepatkah jika sepeda dikenakan pajak atas kepemilikan?

Secara historis, pajak atas kepemilikan sepeda pernah berlaku pada era kolonial hingga awal masa kemerdekaan. Adapun segala bentuk keterlambatan dan pelanggaran atas jenis pajak ini dapat berujung sanksi berupa denda, sita, atau penjara (Mukaromah dan Perkasa, 2020).

Pada masa lampau pajak ini tidak khusus dikenakan untuk sepeda, tetapi juga untuk becak dan andong. Penerapan pajak ini mulai longgar pada era 70-an karena pengguna sepeda berkurang, dan tidak berlaku setelah terbit UU 18/1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. (Perkasa, 2020)

Pertimbangan menjadikan sepeda sebagai objek pajak atas kepemilikan kendaraan dapat menjadi salah satu upaya pemerintah menggenjot penerimaan pajak dari wajib pajak orang pribadi. Namun, terdapat 4 alasan bagi kita untuk menolak pemajakan terhadap kepemilikan sepeda.

Pertama, jelas disebutkan dalam Pasal 1 angka 7, 8, dan 9 UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sepeda merupakan bagian dari kelompok kendaraan tidak bermotor, karena tidak digerakkan peralatan mekanik berupa mesin, tetapi digerakkan dengan tenaga manusia.

Dengan demikian, jika pajak atas kepemilikan sepeda diberlakukan, segala bentuk kendaraan tidak bermotor lain dalam bentuk, fungsi, dan tujuan apapun juga harus dikenakan pajak dengan dasar pengenaan yang sama. Hal ini agar pajak tersebut sejalan dengan konsep netralitas dan keadilan.

Kedua, segala bentuk fasilitas prasarana lalu lintas dan angkutan jalan serta ruang lalu lintas jalan seperti dimaksud Pasal 1, 25, 45, dan 62 UU 22/2009 harus dapat disediakan secara menyeluruh oleh pemerintah selaku pemungut pajak atas kepemilikan kendaraan tidak bermotor.

Hal ini dilandaskan pada tiga teori, yaitu: 1) Teori Asuransi. Dalam teori ini, negara (penanggung), wajib memberikan perlindungan kepada rakyatnya (tertanggung) atas pajak (premi) yang dibayarkan untuk menjaga keselamatan jiwa dan hartanya dengan menjaga ketertiban dan keamanan.

2) Teori kepentingan. Teori ini mengatakan rakyat membutuhkan negara sebagai pengayom, pelindung, dan pengatur, dan, 3) Teori gaya pikul. Teori asuransi dan kepentingan harus dilaksanakan sejalan pada kemampuan gaya pikul masyarakat dalam membayar pajak (Priantara, 2006).

Insentif Bersepeda
KETIGA, terdapat 5 negara yang malah memberikan insentif bagi para warganya yang bersepeda dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Ke-5 negara itu adalah Belanda, Selandia Baru, Belgia, Prancis, dan Italia. (Mukaromah, 2020).

Bukan tanpa alasan jika negara-negara tersebut memberikan stimulus bagi para pesepeda untuk tujuan kepedulian terhadap iklim, polusi, dan masalah lingkungan, serta memperbaiki kesehatan umum di masyarakat.

Keempat, pemerintah harus siap dengan potensi kembalinya perilaku warga untuk menggunakan kendaraan bermotor. Artinya, negara akan kehilangan momen untuk memperbaiki minat masyarakat dalam menjaga kekebalan tubuh dengan bersepeda.

Selain itu, negara juga akan kehilangan kesempatan untuk membiasakan warga berlaku hidup sehat dan berolahraga secara teratur, menjaga kualitas iklim, polusi, dan lingkungan hidup yang lebih baik, serta melakukan kegiatan jaga jarak dengan menghindari kerumunan.

Dari keempat alasan tersebut, jenis pajak ini sebaiknya tidak diberlakukan dalam waktu dekat, atau diberlakukan secara adil terhadap seluruh kendaraan tidak bermotor dalam bentuk, fungsi, dan tujuan apapun jika negara mengalami kebutuhan finansial yang cukup mendesak.

Sebab. kebijakan ini kontraproduktif dengan kebijakan lain dalam menekan laju penyebaran Covid-19. Perluasan basis pajak hendaknya tidak dilakukan hanya untuk tujuan penerimaan, tetapi juga untuk menciptakan kontrak fiskal yang lebih baik, adil, dan berkesinambungan (Vissaro, 2020).

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 03 April 2024 | 15:55 WIB OPINI PAJAK

Mencermati Kompleksitas Pemotongan PPh Pasal 21 pada PTN BH

Jumat, 23 Februari 2024 | 11:32 WIB OPINI PAJAK

Tax Administration 3.0 di Indonesia: Tantangan Pajak Pasca-CTAS

Jumat, 23 Februari 2024 | 09:00 WIB ANALISIS PAJAK

Simplifikasi Ketentuan Transfer Pricing Ala Pilar 1 Amount B

BERITA PILIHAN