Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kebijakan Fiskal dan Publik Suryadi Sasmita dalam acara Sosialisasi UU HPP dan PPS yang diadakan oleh Kanwil DJP Jakarta Barat, Rabu (15/12/2021).
JAKARTA, DDTCNews – Wajib pajak diimbau untuk sepenuhnya mengungkapkan kepemilikan harta melalui program pengungkapan sukarela (PPS) yang akan diselenggarakan mulai 1 Januari 2022.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kebijakan Fiskal dan Publik Suryadi Sasmita mengatakan Ditjen Pajak (DJP) akan memiliki sistem IT yang lebih mumpuni dalam mengolah data dan informasi wajib pajak mulai 2023.
"Kalau ikut ada untungnya, enggak diperiksa. Tapi jangan kecil-kecil, entar diperiksa juga. Kalau sudah ikut, bukan berarti tidak diperiksa. Kalau ketahuan ada aset yang memang tidak dimasukin, tetap kena. kalau mau jujur, jujurlah sepenuh hati," katanya, Rabu (15/12/2021).
Dalam acara Sosialisasi UU HPP dan PPS yang diadakan oleh Kanwil DJP Jakarta Barat, Suryadi menilai saat ini masih banyak pengusaha yang berpikir sistem administrasi pajak tidak bisa mendeteksi harta yang disembunyikan ataupun yang ditempatkan di luar negeri.
Selain itu, pemeriksaan pada masa yang akan datang juga tidak diselenggarakan secara tatap muka antara fiskus dan wajib pajak. Dengan demikian, wajib pajak sudah tidak mungkin lagi 'bernegosiasi' dengan pemeriksa pajak.
"Saya sebagai pengusaha bukan ingin nakut-nakutin teman-teman pengusaha lain. Tetapi memang saya merasakan. Contoh, saya pernah punya rekening di luar negeri, itu ketahuan. Jadi kalau punya rekening di luar negeri, laporkan," ujarnya.
Wajib pajak sesungguhnya tidak dirugikan bila mengikuti PPS, khususnya bila mengikuti kebijakan 1 PPS. Bila wajib pajak peserta tax amnesty mengungkapkan aset per Desember 2015 pada PPS dan menempatkannya di SBN maka PPh final sebesar 6% yang dibayar wajib pajak bakal terkompensasi oleh bunga SBN.
Kalaupun harta yang diungkapkan melalui kebijakan 1 PPS tidak ditempatkan di SBN dan digunakan untuk kegiatan usaha, tarif PPh final yang dikenakan hanya sebesar 8%. (rig)