UU HPP

Tunda Pajak Karbon, Sri Mulyani Ingin Pastikan Tidak Ada Kebocoran

Dian Kurniati
Sabtu, 02 April 2022 | 10.30 WIB
Tunda Pajak Karbon, Sri Mulyani Ingin Pastikan Tidak Ada Kebocoran

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (tangkapan layar)

JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah memutuskan untuk menunda pengenaan pajak karbon hingga Juli 2022, dari yang semula direncanakan 1 April 2022.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan ada berbagai peraturan teknis yang harus dipersiapkan karena pemberlakuan pajak karbon harus dilakukan berbarengan dengan perdagangan karbon. Menurutnya, pemerintah juga ingin memastikan tidak ada celah kebocoran atas implementasi kedua kebijakan tersebut.

"Risiko lainnya [dari pemberlakuan pajak karbon dan perdagangan karbon] adalah terjadi linkage atau kebocoran dan bahkan illicit trading," katanya dalam PPATK 3rd Legal Forum, dikutip Sabtu (2/4/2022).

Sri Mulyani mengatakan setiap kebijakan selalu menghadirkan manfaat dan risiko secara bersamaan. Dari sisi manfaat, pemerintah membutuhkan instrumen pajak karbon dan perdagangan karbon untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.

Namun di sisi lain, ada berbagai risiko yang muncul karena kebijakan tersebut, antara lain meningkatkan beban ekonomi serta pemanfaatan celah untuk kepentingan kejahatan. Menurutnya, risiko instrumen perdagangan karbon semakin rentan dicurangi karena berlaku secara global.

Sri Mulyani menjelaskan mekanisme perdagangan karbon sangat rumit sehingga membutuhkan kehati-hatian dalam merumuskan kebijakannya. Salah satu kerumitan itu karena negara-negara di dunia berencana menetapkan harga karbon dengan nominal bervariasi, dari sangat murah hingga mahal.

"Tentu kalau harga berbeda-beda akan memungkinkan terjadinya kebocoran. Oleh karena itu, Indonesia akan melakukannya secara sangat hati-hati dan bertahap," ujarnya.

Dalam penyusunan kebijakan pajak karbon dan perdagangan karbon, Sri Mulyani juga meminta keterlibatan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Menurutnya, PPATK dapat memberikan pandangan kepada pemerintah agar desain kebijakan pajak karbon dan perdagangan karbon lebih baik dan menutup celah kebocoran.

"Dengan demikian, kita tahu [peraturan] apa yang kita susun, memahami manfaatnya, dan memahami risiko risikonya," imbuhnya.

Pengenaan pajak karbon telah diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pada tahapan awal, pemberlakuan pajak karbon akan dilakukan pada PLTU batu bara dengan tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Pajak karbon dikenakan menggunakan mekanisme cap and trade. Oleh karena itu, pemerintah juga harus menyiapkan mekanisme perdagangan karbon yang tidak hanya berlaku di dalam negeri, tetapi juga secara internasional. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.