Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Untuk mewujudkan penegakan hukum pidana di bidang perpajakan berbasis pemulihan kerugian pada pendapatan negara dibutuhkan ketentuan baru dalam Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) KUHP, jika pidana denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan. Ketentuan ini menjadi tantangan untuk memulihkan kerugian pendapatan negara. Simak ‘Tantangan Penegakan Hukum Pidana Perpajakan, Ini Penjelasan Kemenkeu’.
“Pendapat Kementerian Keuangan yang menyatakan penegakan hukum pidana yang diakhiri hukuman badan berupa pidana penjara atau kurungan tanpa penerapan pemulihan kerugian pendapatan negara adalah kesia-siaan dapat dibenarkan,” ujar Assistant Manager DDTC Fiscal Research Awwaliatul Mukarromah, Selasa (1/6/2021).
Dalam UU KUP s.t.d.t.d. UU Cipta Kerja, penegakan hukum pidana perpajakan saat ini diwujudkan dengan pengenaan hukuman denda atau kurungan apabila terbukti melakukan tindakan pidana perpajakan. Artinya, sambung dia, ketika wajib pajak tidak dapat membayar denda pajak maka dapat menggantinya dengan hukuman kurungan.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas penerapan sanksi pidana, dibutuhkan ketentuan yang menyatakan pidana denda harus wajib dilaksanakan terlebih dahulu dan tidak dapat secara langsung digantikan dengan pidana kurungan.
Menurut Awwaliatul, instrumen hukum yang tepat adalah melalui perubahan UU KUP s.t.d.t.d. UU Cipta Kerja mengenai sanksi pidana. Pemilihan instrumen hukum berupa UU menjadi kunci keberhasilan penerapan aturan terbaru terkait sanksi pidana.
Penanganan perkara pidana di bidang perpajakan berpedoman pada asas lex specialis derogate legi generalis. Artinya, aturan hukum yang khusus (UU KUP) dapat mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum (KUHP).
Selain itu, dapat juga diusulkan adanya skema uang pengganti sebagai bentuk dari pidana tambahan. Besaran pembayaran uang pengganti adalah sama dengan utang pajak yang belum dibayarkan oleh wajib pajak.
Jika terpidana tidak membayar uang pengganti tersebut sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, lanjut Awwa, harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
“Sistem pidana tambahan tersebut juga telah diterapkan pada kasus korupsi yang diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” imbuh Awwaliatul.
Dia kembali mengingatkan terdapat dua cara yang dapat diambil untuk melakukan penegakan hukum pidana di bidang perpajakan berbasis pemulihan kerugian. Kedua cara tersebut ialah menerapkan pendekatan restorative justice dan aset recovery.
Keadilan restoratif (restorative justice) merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pihak-pihak terkait.
Dalam bidang perpajakan, konsep tersebut sebenarnya sudah tercermin dalam ketentuan Pasal 8 ayat (3) UU KUP s.t.d.t.d. UU Cipta Kerja terkait ketentuan pengungkapan ketidakbenaran atau permohonan penghentian penyidikan yang diatur dalam Pasal 44B.
Sementara itu, pendekatan asset recovery dapat diterapkan dengan mewajibkan membayar pidana denda terlebih dahulu atau menerapkan sita eksekusi terhadap harta kekayaan terpidana sengketa perpajakan.
Asset recovery adalah kegiatan pelacakan, pembekuan, penyitaan, perampasan, pemeliharaan/pengelolaan, dan pengembalian aset yang dicuri/hasil kejahatan kepada korban kejahatan (misalnya negara untuk kasus korupsi) baik di dalam maupun luar negeri.
Dalam bidang perpajakan, penerapan pendekatan asset recovery dapat dilakukan sejak awal terjadinya sengketa pidana pajak. Terdapat beberapa tahapan untuk melakukan asset recovery, yakni menyiapkan perencanaan dan kebijakan, investigasi, penjagaan dan pengamanan aset, pengelolaan, penyitaan aset, dan pemanfaatan aset melalui lelang. (kaw)