RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) pajak penghasilan (PPh) Pasal 26 atas pembayaran bunga pinjaman ke luar negeri.
Dalam menjalankan usahanya, wajib pajak menerima pinjaman dari X Co yang berdomisili di Belanda. Konsekuensinya, wajib pajak harus mengembalikan pinjaman tersebut beserta bunganya kepada X Co. Atas transaksi tersebut, wajib pajak tidak memotong dan tidak melaporkan pembayaran bunga pinjaman dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 26.
Otoritas pajak menilai transaksi pembayaran bunga yang dilakukan oleh wajib pajak kepada X Co perlu dilakukan pemotongan PPh Pasal 26 karena belum terdapat tata cara pelaksanaan Pasal 11 ayat (4) Perjanjian Pajak Berganda antara Indonesia dengan Belanda (P3B Indonesia – Belanda). Hal ini sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-17/PJ./2005 (SE-17/2005).
Sebaliknya, wajib pajak berpendapat transaksi pembayaran bunga kepada X Co tidak perlu dilakukan pemotongan PPh Pasal 26 karena telah memenuhi 2 kriteria hak pemajakan yang diatur dalam Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia – Belanda.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak Permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan ID.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat koreksi DPP PPh Pasal 26 dari pembayaran bunga kepada X Co yang ditetapkan oleh otoritas pajak tidak tepat.
Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. 32083/PP/M.V/13/2011 tanggal 20 Juni 2011, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 12 Oktober 2011.
Terdapat 2 pokok sengketa dalam perkara ini. Pertama, berkaitan dengan putusan Pengadilan Pajak yang tidak sesuai dengan Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU 14/2002).
Kedua, koreksi DPP PPh Pasal 26 atas pembayaran bunga ke luar negeri senilai Rp5.574.619.027 untuk masa pajak Januari sampai Desember tahun 2006 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, terdapat 2 pokok sengketa. Pokok sengketa pertama berkaitan dengan putusan Pengadilan Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 81 ayat (1) UU 14/2002.
Dalam hal ini, Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah melewati jangka waktu pengambilan putusan pemeriksaan dengan acara biasa yang seharusnya paling lambat diambil pada 7 September 2010. Namun, dalam kasus ini, upaya hukum banding dalam sengketa ini baru diputuskan pada 20 Juni 2011. Oleh karena itu, Putusan Pengadilan Pajak yang dimaksud dapat dinyatakan cacat hukum (juridisch gebrek) dan harus dibatalkan demi hukum.
Selanjutnya, pokok sengketa kedua dalam putusan ini membahas tentang koreksi DPP PPh Pasal 26 atas pembayaran bunga ke luar negeri senilai Rp5.574.619.027. Dalam kasus ini, Termohon PK meminjam sejumlah dana dari X Co. Atas peminjaman dana tersebut, Termohon PK wajib membayarkan bunga kepada X Co yang berdomisili di Belanda.
Menurut Pemohon PK, pembayaran bunga pinjaman yang dilakukan oleh Termohon PK kepada X Co merupakan objek PPh Pasal 26. Dengan kata lain, Termohon PK seharusnya melakukan pemotongan PPh Pasal 26 terhadap pembayaran bunga pinjaman tersebut.
Pemohon PK berpendapat demikian karena belum terdapat tata cara pelaksanaan (mode of application) dari Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia – Belanda. Saat kasus ini terjadi, tata cara pelaksanaan tersebut masih dalam perundingan antara pemerintah Indonesia dan Belanda.
Selain itu, belum adanya tata cara pelaksanaan Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia – Belanda tersebut berpotensi menimbulkan penyalahgunaan P3B oleh Termohon PK. Salah satunya terkait dengan pinjaman luar negeri Termohon PK yang sebisa mungkin didapatkan melalui perusahaan di Belanda dengan jangka waktu lebih dari 2 tahun agar mendapat pembebasan pemotongan PPh Pasal 26 di Indonesia.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, melalui SE-17/2005, DJP menegaskan bahwa bagi penduduk Indonesia yang memiliki utang atau pinjaman kepada penduduk Belanda baik perorangan maupun badan diwajibkan untuk memotong PPh Pasal 26. Adapun tarif pemotongan PPh Pasal 26 tersebut ialah sebesar 10% dari jumlah bruto bunga yang dibayarkan.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Pemohon PK menyatakan koreksi yang dilakukannya sudah benar. Dengan demikian, pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku (contra legem).
Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pernyataan Pemohon PK terhadap pokok sengketa kedua. Termohon PK berpendapat pembayaran bunga pinjaman kepada X Co tidak perlu dilakukan pemotongan PPh Pasal 26 karena sudah sesuai dengan dua kriteria hak pemajakan atas bunga pinjaman yang diatur dalam Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia – Belanda.
Pertama, bunga yang timbul di salah satu negara hanya akan dikenakan pajak di negara lainnya jika pemilik manfaat dari bunga tersebut merupakan penduduk negara lainnya. Kedua, bunga dibayarkan atas utang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 tahun.
Adapun perincian informasi mengenai pemenuhan kedua kriteria yang dimaksud, yaitu X Co merupakan perusahaan yang berdomisili di Belanda. Kemudian, utang antara Termohon PK dan X Co dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 tahun, yaitu dari 21 September 2004 sampai dengan 26 Desember 2009.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, hak pemajakan atas transaksi pembayaran bunga tersebut ada di Belanda sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia – Belanda.
Di sisi lain, Termohon PK juga menjelaskan dalam sistem perpajakan Indonesia, P3B merupakan ketentuan lex specialist dari UU PPh. Artinya, ketentuan P3B yang bersifat khusus (lex specialist) dapat menyampingkan ketentuan UU PPh yang bersifat umum (lex generali) sebagaimana pengertian dari asas lex specialist derogat legi generali. Oleh karena itu, ketentuan material mengenai pemajakan terhadap wajib pajak luar negeri dapat mengikuti ketentuan P3B yang berlaku.
Selanjutnya, Termohon PK juga berpendapat penegasan DJP melalui SE-17/2005 yang mewajibkan untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 26 tidak dapat mengubah substansi dari aturan dalam P3B. Hal ini disebabkan karena P3B memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan undang-undang.
Dengan demikian, Termohon PK menyatakan koreksi DPP PPh Pasal 26 atas pembayaran bunga ke luar negeri senilai Rp5.574.619.027 untuk masa pajak Januari sampai dengan Desember 2006 tidak benar sehingga harus dibatalkan.
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak No. 32083/PP/M.V/13/2011 yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding sudah tepat dan benar. Adapun terhadap perkara ini, terdapat 2 pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, alasan permohonan PK mengenai Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.32083/PP/M.V/13/2011 yang tidak memenuhi Pasal 81 ayat (1) UU 14/2002 tidak dapat dibenarkan. Sebab, persoalan mengenai jangka waktu yang berkaitan dengan proses administrasi penyelesaian perkara tidak dapat membatalkan putusan.
Kedua, alasan-alasan permohonan PK atas koreksi pembayaran bunga ke luar negeri juga tidak dapat dibenarkan. Menurut Mahkamah Agung, pertimbangan hukum dan Putusan Pengadilan Pajak No. 32083/PP/M.V/13/2011 yang mengabulkan sebagian permohonan banding sudah tepat dan benar sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf e UU 14/2002.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan Pemohon PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Kemudian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.