Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/9/2020). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah dan DPR sepakat untuk meneruskan pembahasan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang berubah menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) ke pembicaraan tingkat II/pengambilan keputusan pada sidang paripurna DPR.
Dalam rapat kerja Komisi XI DPR bersama pemerintah pada Rabu (29/9/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan apresiasi atas dukungan dari anggota DPR dan seluruh pihak sehingga proses pembahasan dapat diselesaikan.
“RUU ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rangkaian panjang reformasi perpajakan yang telah dan sedang dilakukan selama ini, baik reformasi administrasi maupun reformasi kebijakan, dan akan menjadi batu pijakan yang penting bagi proses reformasi selanjutnya,” ujarnya, dikutip dari laman resmi Kemenkeu, Kamis (30/9/2021).
Sri Mulyani menjelaskan RUU ini dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan insklusif. RUU ini juga untuk mendukung percepatan pemulihan perekonomian.
Pemerintah, sambungnya, juga berharap dengan adanya RUU ini, penerimaan negara dapat optimal sehingga dapat membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.
RUU ini juga bertujuan untuk mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum. RUU ini juga untuk melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan. Kepatuhan sukarela wajib pajak diharapkan naik.
“Pemerintah meyakini bahwa RUU ini akan dapat mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum,” ujar Sri Mulyani.
Beberapa ketentuan yang disepakati antara lain pengenaan pajak atas natura, pengaturan mengenai tindak lanjut atas putusan mutual agreement procedure (MAP), pengaturan kembali besaran sanksi administratif dalam proses keberatan dan banding, serta penyempurnaan beberapa ketentuan di bidang penegakan hukum perpajakan.
RUU ini juga akan memperkuat reformasi administrasi perpajakan yang saat ini dilakukan oleh pemerintah melalui implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk wajib pajak orang pribadi.
Masih terkait dengan reformasi administrasi perpajakan, RUU ini juga memperkuat posisi Indonesia dalam kerjasama internasional dan memperkenalkan ketentuan mengenai tarif pajak pertambahan nilai (PPN) final.
Ada pula ketentuan yang difokuskan pada perluasan basis pajak sebagai faktor kunci dalam optimalisasi penerimaan pajak. Ketentuan ini menyangkut pengaturan kembali tarif PPh orang pribadi dan badan.
Kemudian, masih terkait dengan perluasan basis pajak, ada penunjukan pihak lain untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak. RUU ini juga mencakup pengaturan kembali fasilitas PPN, kenaikan tarif PPN, implementasi pajak karbon, dan perubahan mekanisme penambahan atau pengurangan jenis barang kena cukai (BKC).
Sri Mulyani mengatakan RUU ini merupakan produk bersama pemerintah dan DPR yang telah mendapat berbagai masukan dari berbagai kalangan ini. RUU ini diyakini dapat memberikan manfaat dalam membangun sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel untuk menjaga kepentingan Indonesia hari ini dan ke depan.
“Implementasi berbagai ketentuan yang termuat dalam RUU tersebut diharapkan akan berperan dalam mendukung upaya percepatan pemulihan ekonomi dan mewujudkan perekonomian yang berkelanjutan,” imbuh Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, RUU ini hadir pada saat yang tepat. Hal ini membuktikan Indonesia selalu bisa menggunakan sebuah krisis menjadi momentum reformasi. Pandemi yang menjadi sebuah fenomena extraordinary telah menimbulkan tekanan luar biasa bagi masyarakat.
Kondisi tersebut menyebabkan APBN harus hadir untuk mengurangi tekanan tersebut. Pemerintah harus menghadapi situasi pendapatan negara terkontraksi sangat dalam, sedangkan belanja negara tumbuh signifikan dan defisit melebar.
Pemerintah berkomitmen untuk kembali mewujudkan APBN yang sehat dengan defisit di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2023. Kebijakan ini sesuai dengan amanat dari Perpu 1/2020.
“Untuk mewujudkan hal tersebut, di samping kita akan terus melakukan perbaikan dari sisi belanja dengan spending better, pemerintah juga harus mengoptimalkan penerimaan negara sehingga tujuan dan target pembangunan tidak dikorbankan,” kata Sri Mulyani. (sap)