Asisten Profesor Fakultas Hukum University of New Brunswick, Kanada Vokhid Urinov. (Foto: DDTCNews)
SITUASI perpajakan yang lemah seringkali mendorong pemerintah di suatu negara untuk mengambil langkah terobosan guna menyelamatkan kondisi keuangan negara. Di berbagai negara, pengampunan pajak atau tax amnesty menjadi salah satu opsi kebijakan yang diambil.
Bahkan tren perpajakan dunia saat ini menunjukkan banyak negara yang juga menerapkan kebijakan pengungkapan dan repatriasi aset dari luar negeri yang biasa disebut Voluntary Disclosure Program (VDP).
Indonesia saat ini sedang menerapkan kebijakan tax amnesty yang juga berorientasi pada repatrasi aset. Selain untuk untuk meningkatkan basis dan kepatuhan pajak, ini juga menjadi cara pemerintah Indonesia mempersiapkan diri menuju era keterbukaan pajak melalui pertukaran informasi pajak secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI).
Lantas mengapa pertukaran informasi pajak secara otomatis (AEoI) menjadi justifikasi adanya tax amnesty? Dan apakah kebijakan yang saat ini digulirkan pemerintah Indonesia sudah tepat dan mampu mencapai tujuannya?
Untuk menjawab itu, DDTCNews mewawancarai Vokhid Urinov, Asisten Profesor Fakultas Hukum di University of New Brunswick, Kanada yang juga pernah menulis jurnal berjudul ‘Tax Amnesty as a Transitional Bridge to Automatic Exchange of Information’. Pria yang mendapatkan gelar doktor di bidang hukum dari McGill University, Kanada ini dihubungi di sela kegiatan riset dan mengajarnya yang padat. Berikut petikannya:
Menurut Anda, apa perbedaan antara tax amnesty dan VDP?
Saya kira perbedaan di antara keduanya lebih konseptual dibanding secara praktis, di mana keduanya juga sama-sama memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk diberi ampunan atas ketidakpatuhannya dalam membayar pajak di masa lalu.
Walau demikian ada perbedaan dalam bentuk pengampunan atau insentif yang ditawarkan kepada wajib pajak dari setiap program tersebut. Misalnya, di Kanada, mereka memberikan program pengampunan pajak, namun tidak menggunakan istilah tax amnesty untuk program semacam itu.
Program tersebut menggunakan istilah “voluntary disclosure program” yang dalam ketentuan hukumnya bersifat permanen. Wajib pajak yang mengajukan program tersebut harus memenuhi syarat yang ketat. Selain itu, atas pengungkapan yang dilakukan, wajib pajak diampuni dari penalti dan bunga, namun tetap wajib membayar pokok pajak terutang. Hal ini diatur dalam undang-undang pajak penghasilan Kanada ’Income Tax Act Subsection 220’ (3.1-3.2).
Di sisi lain, dalam tax amnesty, ada kemungkinan wajib pajak tidak hanya diampuni penalti dan sanksi bunga saja, tetapi juga termasuk pokok pajaknya. Dalam hal ini, tax amnesty dapat dikatakan lebih royal dalam memberikan insentif pengampunan.
Akan tetapi, batas perbedaan ini tidaklah mutlak mengingat beragamnya praktik terkini yang diterapkan di banyak negara. Misalnya di Turki yang menerapkan offshore voluntary disclosure program yang memberikan pengampunan baik atas penalti maupun pokok pajaknya. Pada intinya, tidak ada batasan pasti dalam penggunaan kedua istilah ini.
Walau demikian, keduanya sama-sama menimbulkan pro dan kontra. Apa pendapat Anda?
Dari apa yang saya pahami, baik program tax amnesty maupun VDP, keduanya memang memunculkan kontroversi. Sebagian mengatakan tax amnesty tidak selaras dengan prinsip keadilan dan menurunkan tingkat kepatuhan setelah program tersebut selesai dijalankan.
Memang, hal itu dapat saja terjadi apabila wajib pajak yang selama ini telah patuh merasa dirugikan karena telah membayar lebih tinggi dibandingkan dengan wajib pajak yang menerima keringanan atau “pembebasan beban pajak” melalui program tersebut.
Walau demikian, perlu diingat, selama program tax amnesty tersebut dilakukan secara pararel dengan kebijakan fiskal lain, dalam hal ini penguatan dan penegakan hukum, tax amnesty sebenarnya dapat meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak setelah program tersebut berakhir.
Pada dasarnya, keputusan untuk tidak membayar pajak didorong oleh sesuatu yang rasional. Oleh sebab itu, adanya upaya pendeteksian atas ketidakpatuhan tersebut menjadi faktor krusial dalam memengaruhi keputusan wajib pajak untuk patuh atau tidak patuh terhadap aturan pajak.
Jika wajib pajak berpikir bahwa penegakan hukum setelah tax amnesty berakhir akan tetap sama seperti sebelumnya, tax amnesty tersebut tidak memberikan pengaruh signifikan bagi wajib pajak untuk menjadi patuh.
Oleh karenanya, wajib pajak harus diyakinkan dengan adanya pernyataan dari pemerintah bahwa setelah program berakhir dijalankan, ketidakpatuhan dari wajib pajak akan terdeteksi.
Ini bukan soal hukuman, tapi lebih berbicara soal bagaimana langkah pemerintah untuk mampu mendeteksi segala bentuk ketidakpatuhan wajib pajak di kemudian hari. Penegasan itulah yang dapat memengaruhi perilaku kepatuhan wajib pajak. Mereka yang nantinya tidak patuh harus menanggung akibatnya.
Satu hal yang perlu dicatat pula, program tax amnesty sebetulnya tidak membiarkan mereka yang tidak patuh terbebas dari kewajibannya. Melalui program tax amnesty, justru partisipan diajak kembali ke dalam sistem pemajakan yang berlaku secara umum.
Saat ini Indonesia sedang menjalankan program tax amnesty. Bagaimana pandangan Anda?
Tiap negara tentunya memiliki tantangan sendiri terkait pemungutan sekaligus penegakan hukum pajak. Untuk kasus Indonesia, di mana situasinya masih banyak wajib pajak tidak patuh, program tax amnesty menjadi pilihan yang sangat baik. Terlepas dari keberhasilannya dalam mengurangi perilaku ketidakpatuhan, program tersebut harus tetap menjamin adanya keadilan di masa depan.
Program tersebut harus membawa situasi pajak yang lebih adil di Indonesia, terutama karena ke depan mereka yang tidak patuh akan ikut berkontribusi membayar pajak. Karena itu, fokusnya ada pada masa depan.
Jika kepatuhan di masa mendatang menjadi fokus utama, tax amnesty seharusnya tidak ditawarkan secara reguler ataupun berulang kali, namun menjadi satu kesempatan yang langka bagi wajib pajak.
Terdapat hal yang menarik. Dalam praktiknya, program tax amnesty di berbagai negara jarang turut mengampuni pajak yang terutang. Namun di Indonesia menghapuskan itu semua. Mereka hanya membayar sekian persentase yang cukup kecil atas aset yang diungkapkan. Hal ini merupakan peluang berharga.
Dengan kata lain, program tax amnesty di Indonesia memberikan kesempatan yang besar bagi wajib pajak untuk kembali ke sistem perpajakan, tentunya dengan diiringi upaya penegakan hukum yang kuat. Ini menjadi kebijakan yang sangat menarik. Wajib pajak diberikan kesempatan mengungkapkan asetnya secara sukarela, membayar tebusan, dan membuat mereka patuh ke depannya.
Dalam paper yang Anda tulis, disebutkan bahwa tax amnesty/OVDP adalah program yang baik sebagai ‘jembatan transisi’ menuju pertukaran informasi pajak secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI). Mengapa demikian?
Seperti yang sudah dijelaskan, kuncinya ada pada penegakan hukum setelah tax amnesty. Dalam hal ini, pertukaran informasi pajak (AEoI) akan menjadi suatu alat yang ampuh dalam penegakan hukum pajak.
Jika wajib pajak menyadari hal itu, mereka akan merasa rugi jika tidak mengungkapkan sekarang. Untuk itu, tax amnesty yang dijalankan saat ini oleh Indonesia ada pada momentum yang tepat sebelum menghadapi era pertukaran informasi pajak (AEoI).
Pada 2018 nanti, lebih dari 90 negara akan memulai pertukaran informasi secara reguler mengenai informasi keuangan luar negeri wajib pajak. Data-data tersebut akan menjadi modal bagi pemerintah untuk menguatkan penegakan hukum.
Dalam hal ini, program tax amnesty memerankan peran penting sebagai ‘jembatan transisi’ menuju sistem perpajakan yang baru, baik untuk wajib pajak maupun pemerintah di suatu negara. Tax amnesty memberikan kesempatan sekaligus peringatan yang fair bagi wajib pajak untuk memperbaiki perilakunya secara sukarela. Dan bagi pemerintah, tax amnesty menjadi cara yang efisien dan efektif menuju penegakan hukum yang lebih kuat.
Sistem pertukaran informasi pajak (AEoI) menjadi bagian dari penegakan hukum tersebut. Akan ada banyak aturan baru yang mengubah cara kerja sistem perpajakan, sehingga cara-cara wajib pajak untuk menghindari pajak di masa lampau akan sulit untuk dilakukan. Secara singkat, tax amnesty akan memfasilitasi masa transisi menuju dunia baru dengan aturan hukum pajak yang lebih kuat.
Lantas, apakah AEoI sendiri akan efektif dalam implementasinya?
Pada dasarnya, AEoI memberi kesempatan bagi pemerintah untuk memajaki lebih banyak. Namun, saat ini terlalu dini untuk menilai efektivitas sistem baru tersebut.
Tak bisa dimungkiri masih ada banyak masalah, juga tantangan dari penerapannya. Pertama, masih ada setengah dari negara-negara di dunia yang masih berada di luar sistem ini. Karena itu, wajib pajak bisa saja mengalihkan asetnya ke negara-negara yang tidak berpartisipasi dalam AEoI.
Tantangan kedua, tidak semua negara memiliki kapasitas untuk memproses atau mengelola informasi Masalah lainnya juga terkait dengan isu beneficial ownership. Kita masih tidak tahu siapa pemilik sebenarnya dari suatu aset atau penghasilan, dan bagaimana mekanisme AEoI menjawab tantangan tersebut.
Kendati demikian, AEoI ini telah memberikan kerangka baru yang diperlukan guna meningkatkan koordinasi dan kerja sama antarnegara dalam menghadapi persoalan pajak global saat ini.
Untuk itu, masih ada ruang perdebatan ketika mekanisme petukaran informasi pajak secara otomatis ini dimulai. Satu hal yang bisa saya yakini, sistem pajak internasional saat ini memang belumlah sempurna, namun sedang menuju arah yang lebih baik.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.