Kepala Kanwil DJP Papua dan Maluku Arridel Mindra. (foto: DJP)
JAKARTA, DDTCNews—Setiap wilayah memiliki keunikan, masalah, dan tantangannya tersendiri. Berbagai aspek, seperti karakter warga, literasi pajak, struktur ekonomi, luas wilayah, hingga ketersediaan infrastruktur perlu dipertimbangkan untuk meracik strategi pengamanan penerimaan pajak.
Berbeda dengan Kanwi yang ada di Pulau Jawa, Kanwil DJP Papua dan Maluku harus meracik strategi khusus guna memaksimalkan penerimaan. Pendekatan khusus perlu digunakan agar penerimaan pajak dari kawasan timur Indonesia ini dapat optimal.
Kali ini, DDTCNews berkesempatan mewawancarai Kepala Kanwil DJP Papua dan Maluku Arridel Mindra untuk mengetahui lebih lanjut mengenai strategi penggalian potensi pajak di Papua dan Maluku. Petikannya:
Bagaimana kinerja penerimaan pajak Kanwil DJP Papua dan Maluku tahun lalu?
Kinerja penerimaan kami memang tidak mencapai 100% tetapi di atas prognosis dan komitmen kami kepada Pak Dirjen [Suryo Utomo]. Tahun lalu cukup menantang dan unik. Keseimbangan ekonomi kita masih sangat labil, berbeda dengan sekarang yang agak stabil.
Pencapaian kami pada 2020 itu 96,7% dari target Rp10,32 triliun. Ini tumbuh -8,74%. Kami menilai pencapaian ini di atas komitmen kami kepada Pak Dirjen 95%. Ini kesuksesan karena capaian kami ini di atas rata-rata nasional yang 89%. Pertumbuhan di atas nasional juga. Nasional kan -19%.
Dengan ekonomi yang minus dan [adanya pemberian] insentif, secara jangka pendek pasti loss, terutama PPh Pasal 21. Sebesar 60% penerimaan kami itu PPh Pasal 21.
Ada insentif PPh Pasal 21 dan PPh final UMKM ditanggung pemerintah (DTP) semua. Lalu, terkait dengan PPN, ada kenaikan threshold restitusi dipercepat dari Rp1 miliar ke Rp5 miliar.
Dari 7 KPP Pratama, 4 KPP itu [penerimaannya] di atas 100%. Ini lebih baik dibanding 2019, di mana cuma 3 [KPP] yang [mencatatkan penerimaan] 100%. Tidak ada KPP Madya. Jadi, kami bisa kompetisikan antar-KPP Pratama ini untuk mencapai kinerja terbaik.
KPP Pratama itu betul-betul dihitung kapasitas dan kemampuan KKP-nya. Di KPP Pratama itu tantangannya lebih besar karena semua KLU (klasifikasi lapangan usaha) ada dan kasus-kasusnya juga banyak.
Oleh karena kami tidak mempunyai KPP Madya, semua wajib pajak yang punya isu transfer pricing, BEPS, tax planning yang agresif jadi tantangan KPP Pratama meskipun kerumitannya tidak setinggi yang ada di LTO (large tax office) dan KPP Madya.
Sektor apa yang mempunyai kontribusi terbesar dalam penerimaan tahun lalu?
Dari sisi sektoral, karakternya agak berbeda antarprovinsi. Kalau Papua dan Papua Barat mirip tapi Ambon lebih beda. Secara karakteristik umum itu memang SDA (sumber daya alam). Ada tambang, perkebunan, dan juga yang perikanan.
Kalau dari struktur pajak, wajib pajak ini ada yang pusatnya di Jakarta dan dikelola LTO. Dengan demikian, yang besar-besar ini wajib pajak badannya ke sana. Kami tinggal yang withholding. Jadi, dominasi sektor SDA ini tidak tercermin secara direct pada pajak.
Sektor dengan kontribusi terbesar itu konstruksi. Lalu, ke kedua, pertambangan. Tambang ini lebih ke withholding PPh Pasal 21 tadi. Ketiga, dari administrasi pemerintahan yang bersumber dari belanja daerah.
Di sini besar sekali potensinya karena ada dana Otsus dan lain-lain. Dari pemerintahan itu bisa mencapai 15% penerimaan kami. Sektor perdagangan juga menggeliat. Di Jayapura contohnya. Kafe, restoran modern, dan bioskop ada semua di sini. Tentu dengan harga yang berbeda.
Kelima adalah sektor jasa keuangan. Kami ada Bank Papua yang meliputi Papua dan Papua Barat. Kalau Mandiri dan BRI enggak [berkontribusi langsung] karena itu kan terdaftar di pusat. Sektor 5 besar ini kontribusinya hampir 80% terhadap penerimaan.
Mengapa konstruksi besar? Selama 2 periode Presiden Jokowi, ada pembangunan infrastruktur yang besar. Tahun lalu, rencananya PON digelar di sini. Pembangunan untuk venue itu luar biasa. Namun, sesungguhnya ini kondisinya kurang stabil karena tahun depan biasanya minta restitusi.
Wilayah Kanwil DJP Papua dan Maluku tergolong paling luas . Bagaimana cara mengoptimalkan penerimaan?
Papua ini karena kaya dengan SDA. Ini adalah tempat investasi yang menarik. SDA itu investasi dengan capital gain tinggi. Sebetulnya kalau dalam menggali potensi itu ada 2 cara. Pertama, saya sebut cara reguler.
Kami lakukan pendekatan secara reguler terhadap perusahaan-perusahaan besar agar kepatuhan terhadap withholding tax-nya dijalankan. Contoh, mengenai pencabangan dari para kontraktornya.
Karena kami tidak mungkin mendalami Freeport maka saya pastikan kerja sama mereka dengan kontraktor lokal, mulai dari yang kecil-kecil seperti katering dan sekuriti. Jadi, kami sisir yang begitu dan alhamdullilah banyak potensinya.
Saya baru dilantik sebagai Kepala Kanwil Papua dan Maluku itu [pada] 2019. Pada awal 2020, saya langsung berkunjung ke Freeport. Saya minta semua data rekanannya.
Kami cek dan daftarkan. Mohon maaf, kadang-kadang mereka ini terdaftar di KPP yang di Jakarta. Jadi, yang ikutan dari investor besar itu kami selesaikan dulu.
Kedua, dari sisi nonregular, kami mengamankan belanja daerah. Saya enggak muluk-muluk karena uangnya di depan mata. Pemda ada uang tapi dari bank daerah ke rekening pemerintah pusat ini terkadang terlambat. Nah, kami tidak bisa sekadar main peraturan. Harus ada pendekatan khusus.
Di Papua, kemampuan kami untuk berkomunikasi sangatlah penting. Sering ada kesalahan yang sesungguhnya sederhana, seperti NPWP-nya salah dan e-billing-nya expired. Ini kan bukan hal luar biasa sesungguhnya, tapi harus kami carikan jalan keluar.
Akhirnya, saya cari cara. Saya tunjuk KPP sebagai PIC lalu dibuat grup WA (Whatsapp). Kami berikan pendampingan. Perlu dicatat, kemampuan pemda di sini tidak sama dengan di Jawa.
Jadi, administrasi [pajak] adalah isu besar. Terkadang salah tarif sampai create billing itu dari kami. Ini kerja luar biasa. Karena potensinya besar, kami tidak mau kehilangan potensi itu.
Ketiga, kami melakukan pendekatan khusus di sektor perdagangan. Di sini masih sangat informal. Oleh karena itu, kami bekerja sama dengan teman-teman Ditjen Bea dan Cukai, asosiasi perdagangan, hingga dinas-dinas.
Di sini banyak yang tidak tercatat. Pada akhir 2019, kami kumpulkan wajib pajak sehingga bisa diketahui yang besar-besar, punya hotel, punya minimarket. Kami bicara dari hati ke hati.
Cerita di lapangan juga menarik. Kami ada 7 KPP Pratama dan 15 KP2KP. Di Ambon ada 7 KP2KP. Pulau-pulau mulai dari Tual, Seram, Dobo punya KP2KP sendiri-sendiri. Pekerjaan di sana itu menantang sekali. Saya ingatkan ke teman-teman untuk bekerja dengan terukur. Keamanan nomor satu.
Lalu, pada pertengahan 2020, akibat pandemi, kami gunakan informasi berbasis IT (information technology). Ada pihak swasta yang melakukan survei di sini dan kami sudah beli datanya. Data konstruksi saya sudah dapat.
Kalau tidak ada data, tidak mungkin tahu mungkin ada pembangunan jembatan di tengah hutan sana. Mereka dengan komunitasnya itu bisa tahu lengkap beserta PIC-nya, nomor telepon, hingga email. Ini lumayan. Kami dapat 3.200 data proyek konstruksi pada tahun lalu.
Kami terus meningkatkan fungsi IT dalam melakukan pengawasan wajib pajak. Sebagai contoh, Kanwil DJP Papua dan Maluku menggunakan aplikasi AMP 3.0, yang merupakan aplikasi milik Kanwil DJP Jakarta Selatan II.
Lewat aplikasi itu, bisa dicek hubungan antara pajak masukan dan pajak keluarannya. Kalau pajak masukan dan pajak keluaran enggak nyambung, kami bisa koreksi. Pada paruh kedua 2020, saya intensifkan ke situ karena itu barang konkret sekali.
PPh Pasal 21 berkontribusi besar terhadap penerimaan. Lantas, bagaimana upaya penjagaan kepatuhan wajib pajak?
Ini usaha luar biasa untuk mengedukasi wajib pajak. Jadi, memang saya mapping dulu kepatuhannya. Pendekatan soft dulu. Ada soft dan hard effort. Bagaimana kepatuhan ini betul-betul terbangun? Harus ada kampanye kehumasan dulu. Setiap KPP di sentra-sentra ekonominya itu harus hadir.
Setiap event kami harus ikut. Kami ada pula relawan pajak di universitas. Ada kelompok edukasi juga. Ini bukan jargon-jargon lagi. Pajak ini kan pada akhirnya keterampilan. Kami buat kelas kelas rutin. Awalnya, kami sudah ada rencana banyak untuk mengedukasi anak muda agar mengerti pajak.
Saya minta setiap KPP mengajarkan agar mereka mengerti apa itu PPh (pajak penghasilan), apa itu PPN (pajak pertambahan nilai). Tidak hanya jargon. Sayangnya, ini belum terwujud akibat pandemi.
Saya punya cita-cita, serumit apapun pajak, harus dibuat simpel. Sangat naif kalau yang bikin rumit itu kita orang pajak sendiri. Itu yang sering kejadian. Saya akan berfokus pada dua hal, yakni kehumasan dan edukasi, agar timbul kepatuhan sukarela.
Jujur saja, di wilayah timur ini resistensinya masih cukup tinggi. Kami tidak hanya jadi petugas pajak, tetapi kami juga sebagai pahlawan NKRI. Dengan adanya kantor pajak di Jayapura, kita eksis di sini, menunjukkan ini wilayah NKRI.
Jadi, teman-teman di sini pahlawan juga. Isu perekat bangsa itu masih menjadi aspek yang penting di sini. Kemampuan kita meletakkan bahwa pajak adalah bagian dari kita, itu harus diperjuangkan terus menerus. Kami perlu bicara dan letakkan baik-baik sembari memberikan contoh konkret.
Kalau untuk kepatuhan formal, wajib pajak kami itu ada 1 juta. Wajib SPT-nya pada 2020 itu 410.021 wajib pajak. SPT yang disampaikan itu ada 314.000. Jadi, realisasinya 76%. Kami diberi target pusat itu 72%. Kami ada kontrak kinerja untuk mencapai 72% dan target kami tercapai.
Kami ini nomor 3 nasional untuk kepatuhan formal. Itu saya banggakan untuk teman teman di Kanwil. Usaha kami besar. Kami masuk ke instansi besar, ke korporat. Di sini banyak tentara, polisi, tenaga medis, pekerja tambang. Itu bisa puluhan ribu tambahan wajib pajaknya.
Jadi, strateginya lewat badan-badan besar agar korporasinya juga bertanggung-jawab atas kepatuhan karyawannya. Jadi, kami tidak kerja sendiri. Toh mereka yang memotong. Jadi, ya tolong sekalian saja memastikan karyawannya juga melapor SPT.
Seberapa besar kontribusi pemeriksaan dan penagihan terhadap realisasi pajak?
Jadi, kami tetap menjalankan sesuai ketentuan. Selama 2-3 tahun ini, SOP pemeriksaan SOP sangat ajek. Proses perubahan SOP ini berdampak. Kami mulai dari mencari bahan baku dulu. Ini mau tidak mau harus dari AR.
Setiap bulan, AR wajib pajak strategis itu harus melaporkan usulan daftar sasaran prioritas pemeriksaan atau DSPP. Sekarang semua sektor itu sudah terperiksa.
Kecenderungannya banyak di sektor konstruksi yang kami periksa. Kemudian, [kami juga memeriksa sektor] perdagangan. Perdagangan itu kan banyak informal. Di sini banyak yang berani, faktur bisa beda dengan omzet. Jadi, ini kami koreksi.
Contoh, ada faktur Rp20 miliar, tapi lapor pajak dengan omzet cuma Rp7 miliar. Banyak yang kami periksa. Tahun kemarin, kami bisa mengumpulkan Rp284 miliar dari kegiatan pemeriksaan. Jadi, 2,8% dari total penerimaan. Banyak kasus di sini. Wajib pajak kecil-kecil di sini juga masih coba-coba.
[Penerimaan] kami dominan di PPh Pasal 21. Pemeriksaan kan jarang koreksi di PPh Pasal 21. Beda dengan nasional yang banyak memeriksa di PPh badan dan PPN. Kalau PPh badan dan PPN kami besar, bisa besar juga kontribusi pemeriksaan kita.
PPh Pasal 21, kalau mau dikoreksi, paling tidak materiel seperti hanya mengoreksi kesalahan penggunaan tarif. Namun, kalau main omzet, masih banyak di sini. Lapor tapi enggak setor PPN juga masih ada.
Dengan tidak adanya KPP Madya, bagaimana KPP Pratama menjalankan pengawasan berbasis kewilayahan?
Kita sudah terlalu lama membuat struktur pengawasan kewilayahan dengan kurang baik. Kalau ibarat main bola, kita ini terlalu asyik main man to man marking. Fundamental perpajakan pada akhirnya tidak terbangun bagus karena kita tidak melihat kewilayahan dengan baik.
Beberapa KPP Pratama itu juga memilih-milih wajib pajak. Padahal, ekonomi kita masih informal, unrecorded, tidak tercatat, izin masih berantakan, dan manual. Itu tidak akan bisa optimal.
Makanya, kita harus membuat konsep baru dan ketika Pak Suryo menjadi Dirjen Pajak, ada wajib pajak strategis dan wajib pajak kewilayahan. Wilayah saya luas. Gubernurnya saja ada 3. Jadi, strategi pertama adalah kami memetakan sentra ekonomi.
Tidak bisa lain karena tidak mungkin semua kami cover. Kami memetakan lewat statistik dan bekerja sama dengan BPS (Badan Pusat Statistik). Saya minta teman-teman mencari 2-3 wilayah hingga level kecamatan, mana yang penduduknya banyak dan ekonominya bergerak. Itu tahap awal.
Nanti kami pilih yang potensial. Ini yang paling tampak adalah sektor perdagangan. Kalau perdagangan, tidak mungkin tokonya kecil. Kalaupun tokonya kecil, gudangnya yang besar. Perdagangan ini kegiatan yang tampak di wilayah.
Kedua, diprioritaskan dan dilakukan profiling wilayah. Penduduk jumlahnya berapa? Yang terdaftar berapa? Itu profil dengan data detail. Ketika ada gap, baru turun ke lapangan. Turun ke lapangan juga dengan persiapan. Harus ada komunikasi dengan komunitasnya.
Di sini ada kepala kampung, kepala suku, kepala paguyuban. Kami lewat situ. [Pengawasan bebasis] kewilayahan tetap dijalankan sesuai perintah pusat tetapi selected. Kita tidak akan ke hutan. Enggak ada uang di sana. Kita enggak usah ke kebun dan tambang karena itu izinnya sudah jelas.
Kita masuk ke sentra-sentra itu, yang dagangnya cash, tanpa izin. Itu banyak yang belum terdaftar. Hasilnya saya rasa belum optimal karena kami belum ke lapangan karena pandemi.
Ada risiko munculnya potential loss, salah satunya akibat penurunan PPh badan. Apa upaya Kanwil DJP Papua dan Maluku?
Penurunan tarif PPh badan harus dilihat dalam perspektif jangka pendek dan jangka panjang. Untuk jangka pendek, penurunan tarif PPh badan menjadi pemanis kampanye agar wajib pajak lebih patuh.
Untuk jangka panjang, penurunan tarif PPh Badan akan meningkatkan size ekonomi, di mana selisih uang pajak yang seharusnya disetor apabila menggunakan tarif yang lama, dapat digunakan untuk investasi kembali maupun pengembangan usaha.
Upaya yang dilakukan Kanwil DJP Papua dan Maluku adalah dengan menjalankan pengawasan terhadap wajib pajak badan sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku. Selain itu, kami mengampanyekan kepatuhan pajak sehingga kepatuhan sukarela akan meningkat. (Kaw/Bsi)