LAPORAN FOKUS

Dialog Soal PTKP Jangan Sebatas Naik-Tidaknya, Tapi Juga Skema Ideal

Redaksi DDTCNews
Rabu, 25 Juni 2025 | 14.40 WIB
Dialog Soal PTKP Jangan Sebatas Naik-Tidaknya, Tapi Juga Skema Ideal

TAK sepenuhnya salah kalau kita bilang konsep 'penghasilan tidak kena pajak' (PTKP) adalah ketentuan yang 'kolot'. Pemberlakuan jumlah penghasilan tertentu yang dibebaskan dari pengenaan pajak sudah berlangsung nyaris selama 1 abad, sejak pemberlakuan Ordonansi Pendapatan 1933 di bawah kolonial Belanda, yang kemudian direvisi pada 1944. 

Latar belakangnya, pemerintahan kumpeni mulai mengenal prinsip pengenaan pajak berdasarkan kemampuan membayar yang dimiliki setiap individu. Karenanya, Belanda menerapkan Belastingvrije som, yakni jumlah penghasilan yang dibebaskan dari pajak. 

Mekanisme ini diterapkan untuk menyederhanakan penghitungan pajak terutang bagi wajib pajak. Tak cuma itu, prinsip keadilan juga dinilai lebih tegak lantaran besaran yang dibebaskan dari pajak berlaku seragam untuk semua pihak.

Pemerintah pun akhirnya tidak perlu dibebani dengan urusan administratif bagi wajib pajak kecil dan bisa berfokus pada individu dengan pendapatan 'tinggi'.

Penerapan 'batas pendapatan bebas pajak' masih bertahan hingga periode Orde Lama dan Orde Baru. Batas nilainya diperbarui secara berkala --bahkan nyaris setiap tahun-- dengan menyesuaikan inflasi dan kondisi perekonomian. 

Pada 1983, melalui pengundangan UU 7/1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), konsep 'penghasilan tidak kena pajak' (PTKP) secara resmi dikenalkan. 

Ketentuan PTKP sejatinya merupakan bagian dari keringanan PPh orang pribadi melalui skema pengurangan atas penghasilan neto (deduction/allowance). 

Skema pengurangan itu diberikan melalui 2 bentuk: standard deduction, yang mengacu pada status wajib pajak dan berlaku seragam untuk seluruh wajib pajak, serta itemized deduction yang didasarkan pada nominal jenis-jenis biaya tertentu. 

Nah, PTKP yang berlaku di Indonesia sejatinya adalah jenama lain dari skema standard deduction. Diberlakukannya skema standard deduction juga mempertimbangkan biaya administrasi yang rendah. Otoritas pajak dan wajib pajak sama-sama tidak perlu dipusingkan untuk menghitung total pengurang penghasilan dari beragam biaya yang dikeluarkan wajib pajak.

Hingga hari ini, diskursus mengenai konsep pengurang penghasilan atau keringanan pajak pada akhirnya hanya berkutat pada konsep ini. 

Ketika berbicara soal PPh, besaran PTKP kerap dinilai sebagai wujud keadilan bagi wajib pajak. Tuntutan buruh pada aksi Mayday setiap tahunnya nyaris selalu diwarnai dengan poin kenaikan PTKP. 

Sebenarnya tuntutan tersebut tidak salah. Kenaikan PTKP berarti lebih banyak lagi wajib pajak yang tidak perlu dipusingkan oleh pemungutan pajak penghasilan. Namun, apakah kebijakan PTKP benar-benar sudah ideal? 

Mengacu pada laporan OECD (2024) dan IMF (2023), nilai PTKP di Indonesia sebenarnya sudah cukup tinggi dan tidak perlu dinaikkan. Kenaikan PTKP hanya justru menggerus basis pajak. 

Lalu bagaimana?

Publik lupa bahwa ada alternatif desain keringanan pajak lainnya yang masih berada di dalam koridor prinsip ablity to pay (Khisi, 2019). 

Pertama, implementasi itemized deduction, yakni komponen biaya yang bisa jadi pengurang penghasilan selain PTKP. Kedua, implementasi skema kredit (non-refundable tax credit) berupa pengurangan di tingkat pajak terutang (bukan di level penghasilan neto). 

Kedua alternatif tersebut dinilai lebih ideal dalam menjamin progresivitas pajak dan mencerminkan ability to pay. Tak cuma itu, itemized deduction dan kredit pajak diyakini bisa lebih menarik bagi wajib pajak orang pribadi --karena jenis pengurang pajak menjadi lebih banyak-- sehingga kepatuhan sukarela bisa meningkat. 

Dalam konteks saat ini di Indonesia, nyaris satu dekade tidak ada penyesuaian PTKP. Karenanya, ketika wacana untuk menaikkan PTKP muncul kembali, pemerintah seyogianya perlu mengembalikannya pada prinsip ability to pay. Skema keringanan pajak mestinya bisa meredistribusi penghasilan menjadi lebih adil. 

Kelas menengah perlu menjadi perhatian dalam menentukan kebijakan mengenai PTKP. Ketika kelas bawah ekonomi Indonesia sudah cukup banyak diberikan insentif berupa bantuan langsung tunai (BLT), kelompok atas pun selama ini terbantu dengan beragam insentif usaha. Karenanya, pembahasan PTKP mestinya memang menyasar kelas menengah.

Merujuk pada pemenuhan prinsip ability to pay dalam pemungutan pajak, faktor administratif semestinya tidak perlu jadi hambatan bagi pemerintah untuk memberikan keringanan pajak. Penerapan PTKP perlu disandingkan dengan skema itemized deduction yang lebih menyasar pengeluaran per individu, meski ada tambahan biaya administrasi dalam penerapannya. 

Melalui implementasi itemized deduction, dengan lebih banyak jenis biaya yang bisa menjadi pengurang penghasilan, pada akhirnya batas PTKP justru bisa diturunkan. Dengan demikian, basis data nasional bisa diperluas tanpa mencederai keadilan. Masyarakat tetap dibebani pajak sesuai dengan kemampuan ekonominya masing-masing. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.