Ilustrasi. (DDTCNews)
KLAIM realisasi belanja modal pemerintah pusat semester I 2016 sebesar Rp44 triliun (unaudited) yang diumumkan pekan lalu adalah sinyal membaiknya kinerja penyerapan anggaran pemerintah. Capaian itu setara dengan 22% dari target belanja modal APBN 2016 sebesar Rp202 triliun.
Memang, target belanja modal itu masih bisa lebih rendah, karena APBNP 2016 memangkas belanja pemerintah pusat dari semula Rp1.326 triliun menjadi Rp1.307 triliun. Volume pasti belanja modalnya sendiri masih harus menunggu penyelesaian Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) APBNP 2016.
Serapan belanja modal itu juga masih mungkin menyusut. Kita ingat, awal Agustus 2015, Kemenkeu mengklaim realisasi belanja modal pemerintah pusat semester I 2015 mencapai Rp30 triliun, atau 11% dari target APBNP 2015. Kini, angka Rp30 triliun itu dikoreksi jadi Rp27 triliun, setara 10% dari target.
Namun, poin pentingnya di sini, dengan berpegang pada klaim realisasi belanja modal semester I 2016—hingga nanti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merilis Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2016—kita bisa simpulkan telah terjadi perbaikan kinerja penyerapan anggaran pemerintah.
Perbaikan yang sekaligus merefleksikan perbaikan kinerja organisasi pemerintahan ini penting, karena tahun lalu, tahun anggaran pertama Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, investor dan masyarakat pada umumnya telanjur mendapat impresi yang sangat tidak meyakinkan atas poin penting tersebut.
Dengan ambisi besar belanja infrastruktur Jokowi-Kalla yang akan digenjot hingga 2019, realisasi belanja modal yang tahun lalu hanya 78% dari target Rp276 triliun jelas merefleksikan kegagapan sekaligus ketidaksiapan pemerintah. Serapan itu adalah capaian terendah dalam 10 tahun terakhir.
Lantas, apakah membaiknya kinerja penyerapan belanja modal pada semester I 2016 sudah bisa mengubah atau lebih tepat membalikkan impresi tahun lalu yang sangat tidak meyakinkan itu? Tentu tidak semudah itu. Semua masih harus menunggu hasilnya akhir tahun nanti.
Tapi hari ini, kita melihat bagaimana pemerintah belajar dari kesalahan. Meski belum bisa dikatakan baik sekali, kita melihat ada persiapan struktural yang dilakukan serta upaya meningkatkan kapasitas birokrasi di balik penyerapan belanja modal tersebut. Capaian ini tentu layak diapresiasi.
Akan tetapi, semua itu belumlah cukup. Belanja modal bukanlah variabel yang berdiri sendiri. Dari sisi anggaran, dia sangat bergantung pada kinerja penerimaan, terutama penerimaan perpajakan. Tanpa didukung kinerja penerimaan yang meyakinkan, perbaikan itu sulit diharapkan berlangsung konstan.
Di luar itu, masih banyak juga pekerjaan rumah menanti. Problem struktural anggaran yang bersumber dari kian menggelembungnya belanja pegawai—ditandai melejitnya volume belanja pegawai tahun ini sebesar 18% justru saat belanja barang dan belanja modal disusutkan—masih menunggu diselesaikan.
Dan sampai hari ini, praktis belum ada konsensus di level tertinggi pemerintahan, dengan kertas kerja dan rencana penyelesaian yang sistematis untuk mengatasi ‘bom waktu’ ini, untuk meminjam istilah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi.
Kita berharap perbaikan kinerja penyerapan anggaran ini, terutama untuk belanja modal, dapat terus berlanjut. Sebab hanya dengan cara itu, impresi buruk yang menggerogoti kredibilitas kebijakan fiskal seperti yang sudah telanjur muncul tahun lalu, secara perlahan dapat terkikis.
Dengan cara itu pula, pemerintah pusat dapat memberikan contoh riil pada pemerintah daerah untuk mengeksekusi kebijakan anggarannya. Dan apabila semua berjalan efektif, tentu lebih mudah melihat negara hadir menunaikan tugas mulia konstitusinya, memajukan kesejahteraan umum. Semoga!
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.