Ilustrasi.
BERPIJAK dari masalah ketidakadilan, pemerintah mengatur ulang ketentuan pajak atas natura dan/atau kenikmatan. DPR pun menyetujuinya. Pengaturan ulang menjadi salah satu poin perubahan UU Pajak Penghasilan (PPh) melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Dalam pengaturan sebelumnya, natura dan/atau kenikmatan bukan biaya bagi pemberi kerja dan bukan penghasilan bagi pegawai penerima. Imbalan dalam bentuk barang selain uang serta hak atas pemanfaatan fasilitas atau pelayanan dikecualikan dari objek pajak bagi penerimanya.
Sayangnya, menurut pemerintah, natura dan/atau kenikmatan yang bukan merupakan objek pajak cenderung dinikmati high level employee. Mereka cenderung menerima tambahan tunjangan di luar gaji berupa uang. Contohnya seperti mobil, rumah, akomodasi pariwisata, dan biaya pendidikan.
Ketidakadilan muncul ketika pegawai lain yang hanya menerima gaji berupa uang. Tentu saja penghasilan itu merupakan objek pajak. Atas penghasilan yang diterima, otomatis terutang pajak. Inilah yang menjadi salah satu pertimbangan pemerintah.
Dalam ketentuan yang baru, pada prinsipnya natura dan/atau kenikmatan dapat dibiayakan oleh pemberi kerja dan merupakan penghasilan bagi penerima. Secara umum, kebijakan menjadi lebih adil karena apapun bentuk penghasilannya akan menjadi objek pajak.
Tentu saja argumentasi untuk memunculkan keadilan tidak terlepas dari potensi peningkatan penerimaan pajak. Apalagi, layer tarif PPh orang pribadi diubah. Salah satunya dengan menambah layer tarif tertinggi sebesar 35%. Kita tahu juga, tarif PPh badan sudah turun dari 25% menjadi 22%.
Perbedaan tarif yang cukup besar memang berpotensi memengaruhi pilihan perilaku dan keputusan bisnis wajib pajak. Imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lebih menguntungkan bagi wajib pajak daripada dalam bentuk tunai. Kondisi itu juga telah ditangkap pemerintah.
Robert Turner dari Colgate University, dalam tulisan Fringe Benefits di Urban Institute, menyatakan banyak ekonom dan pakar pajak percaya efisiensi dan pemerataan akan meningkat dengan adanya fringe benefit tax. Potensi penerimaan pajak dalam jumlah besar juga dapat ditingkatkan.
Dari sini kita juga tidak bisa melepaskan konteks konsolidasi fiskal yang berjalan. Upaya untuk mengembalikan defisit anggaran di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) perlu dukungan pajak. Pemajakan atas natura dan/atau kenikmatan bisa jadi salah satu yang dioptimalkan.
Mungkin perlu hitungan lebih lanjut mengenai besaran potensinya. Namun, seharusnya hal itu seharusnya bukan pertimbangan utama pemerintah. Artinya, potensi penerimaan seharusnya tidak menjadi fokus utama dalam mereformasi sistem pajak terkait dengan natura dan/atau kenikmatan.
Fokus yang tepat akan menentukan kebijakan final. Apalagi, UU PPh s.t.d.d UU HPP juga masih memberikan pengecualian dari objek pajak atas beberapa jenis natura dan/atau kenikmatan. Ketentuan teknis lebih lanjut juga akan dijabarkan dalam aturan turunan.
Dengan memegang fokus pertimbangan dan tujuan kebijakan yang tepat, pemerintah diharapkan juga akan tepat – meskipun tidak ideal – dalam menentukan ketentuan teknis. Robert Turner menyatakan salah satu alasan fringe benefit keluar dari basis pajak adalah kekhawatiran atas kompleksitas administrasi untuk memasukkan nilai sebagai bagian dari penghasilan kena pajak.
Avery Katz dan Gergory Mankiw, dalam tulisannya berjudul How Should Fringe Benefits be Taxed? menyatakan terdapat 3 alasan perusahaan memberikan natura kepada pekerja. Pertama, natura dapat berkontribusi bagi produktivitas perusahaan.
Kedua, natura berupa produk sampingan perusahaan dapat memberikan manfaat tambahan bagi pekerja untuk memperoleh produk dengan biaya lebih rendah daripada harga ritel. Ketiga, natura dipakai untuk praktik penghindaran pajak.
Bisa jadi ada alasan lain dari perusahaan. Namun, yang jelas, dari berbagai indikasi alasan tersebut, pemangku kebijakan harus bisa meramu ketentuan yang tepat. Jangan sampai, kebijakan baru ini justru mendistorsi, bahkan menambah beban pelaku usaha.
Pemilahan kriteria natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek pajak perlu dilakukan dengan hati-hati. Perlu dipastikan juga apakah natura dan/atau kenikmatan itu berdampak pada kegiatan usaha atau hanya bermanfaat bagi penerima. Kembali lagi, orientasinya pada keadilan, bukan penerimaan. (kaw)