TAJUK PAJAK

Masih Perlunya Perlakuan Khusus Administrasi Pajak UMKM

Redaksi DDTCNews
Selasa, 28 September 2021 | 12.00 WIB
Masih Perlunya Perlakuan Khusus Administrasi Pajak UMKM

Ilustrasi. Pekerja menyelesaikan pembuatan komponen otomotif di Lingkungan Industri Kecil (LIK) Dampyak, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (25/9/2021). Pengelola usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) logam itu mengaku permintaan komponen untuk onderdil otomotif dari berbagai kota mulai bangkit. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/aww.

UMKM harus naik kelas. Itulah dorongan pemerintah yang terus disampaikan dalam berbagai kesempatan. Tujuannya baik, yakni agar pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terus meningkatkan omzet dan skala usahanya.

Dari sisi pajak, naik kelasnya pelaku usaha jelas berimplikasi positif terhadap penerimaan. Tidak mengherankan pula jika pemerintah menggunakan instrumen pajak untuk mendorong para pelaku usaha untuk berkembang. Salah satunya melalui skema rezim pajak penghasilan (PPh) final.

Rezim ini memberikan kemudahan penghitungan pajak setelah masuk ke dalam sistem administrasi Ditjen Pajak (DJP). Maklum, UMKM selama ini terkenal sebagai salah satu hard-to-tax sector. Mayoritas bergerak di ranah informal. Tentu saja masih belum dekat juga dengan skema pembukuan.

Namun, pascaterbitnya PP 23/2018, periode penggunaan rezim PPh final dibatasi. Bisa dikatakan seluruh wajib pajak badan yang sudah terdaftar sejak 2018 dan sebelumnya wajib menggunakan rezim umum PPh pada tahun depan.

Hal ini dikarenakan batasan waktu penggunaan rezim PPh final untuk wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas (PT) adalah 3 tahun pajak. Untuk koperasi, persekutuan komanditer (CV), atau firma selama 4 tahun pajak. Untuk wajib pajak orang pribadi, batasan waktunya hingga 7 tahun pajak.

Dalam DDTC Working Paper bertajuk Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia juga sudah ditegaskan pengenaan rezim PPh final dapat digunakan untuk menjangkau pelaku usaha masuk dalam sistem administrasi pajak.

Namun, pengenaan PPh final secara terus-menerus bisa berisiko menimbulkan suatu perencanaan pajak. Wajib pajak pun juga akan berusaha menjaga penghasilannya di bawah ambang batas agar dapat terus memanfaatkan PPh final.

Sampai di sini sepertinya kita sepakat rezim PPh final memang harus dipandang sebagai kebijakan pada masa transisi. Pertanyaan selanjutnya adalah sudah siapkah pelaku UMKM ini naik kelas dan menggunakan rezim umum PPh? Sayangnya, jawaban apapun, pelaku UMKM tetap harus siap.

Dari sisi wajib pajak, beralihnya rezim PPh menggunakan ketentuan umum harus dipandang sebagai hal yang positif. Apalagi, dasar pengenaan pajak bukan lagi omzet, melainkan laba. Artinya, pembayaran pajak dilakukan ketika ada laba yang didapatkan.

Dalam masa transisi, DJP juga sudah menyediakan program Business Development Services (BDS) yang petunjuk pelaksanaannya telah dimuat dalam SE-13/PJ/2018. Program ini merupakan bagian dari upaya pembinaan dan pengawasan bagi wajib pajak UMKM.

Dukungan dan edukasi khusus agar pelaku UMKM dapat keluar dari rezim PPh final memang penting. Hal ini juga ditegaskan Daisy Ogembo dalam Are Presumptive Taxes a Good Option for Taxing Self-Employed Professionals in Developing Countries?.

Dalam urusan administrasi, sudah disediakan pula Standar Akuntansi Keuangan Entitas Mikro Kecil Menengah (SAK EMKM) dan aplikasi Lamikro. Hal ini tentu perlu diapresiasi sebagai upaya untuk memberikan kemudahan bagi wajib pajak.

Dari sini kita juga seharusnya sepakat perlakuan khusus dari sisi administrasi pajak tetap dibutuhkan bagi para pelaku UMKM meskipun sudah menggunakan rezim umum PPh. Otoritas sebaiknya terus mengeksplorasi berbagai kemudahan yang tetap bisa diberikan tanpa mendistorsi kepatuhan pajak.

Jangan sampai peralihan rezim PPh yang digunakan wajib pajak justru menambah biaya kepatuhan (cost of compliance). Terlebih, pemerintah juga telah mengusulkan penghapusan ketentuan pengurangan tarif dalam Pasal 31E UU PPh yang selama ini bisa dimanfaatkan pelaku UMKM.

Selain itu, pemerintah juga harus dapat menjamin kepastian bagi wajib pajak yang sudah secara sukarela patuh dengan ketentuan. Dengan penggunaan compliance risk management (CRM), perlakuan terhadap wajib pajak harus tepat sasaran.

Perlu dipastikan tidak ada lagi kekhawatiran UMKM masuk ke dalam sistem administrasi pajak karena alasan takut diperiksa. Otoritas perlu menjamin pemeriksaan yang dilakukan benar-benar sesuai dengan tingkat kepatuhan masing-masing wajib pajak. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.