SINGAPURA, DDTCNews - Hari ketiga rangkaian WU-TA Advanced Transfer Pricing Programme 2025 membahas salah satu topik paling kompleks dalam praktik perpajakan internasional, yakni transfer pricing and intangibles. Program ini juga diikuti oleh 2 profesional dari DDTC.
Sesi di hari ketiga dipandu oleh 2 pakar, yakni Group Tax Specialist IRAS Richard Goh sekaligus Master Tax Specialist untuk Intellectual Property dan Chartered Valuer and Appraiser di Tax Academy, serta Stephen Bruce, seorang praktisi dengan pengalaman lebih dari 28 tahun di bidang transfer pricing sektor jasa keuangan. Stephen juga seorang mantan Global Head of Transfer Pricing di sebuah investment bank.
Dalam paparannya, Richard menjelaskan bahwa dalam praktiknya, intangibles transactions atau transaksi harta tak berwujud tidak cukup hanya dengan transfer pricing documentation (TP Doc). Yang lebih penting, bagaimana TP Doc tersebut mampu membela transaksi harta tak berwujud intragrup di hadapan otoritas pajak.
Tantangan besar, imbuh Richard, muncul karena terdapat kesenjangan pengetahuan antara praktisi dan penilai. Praktisi transfer pricing umumnya tidak mendalami aspek valuasi, sementara penilai atau valuators juga tidak memahami transfer pricing secara mendalam.
Padahal, analisis atas transaksi harta tak berwujud menuntut kolaborasi dari berbagai pihak agar hasilnya komprehensif dan defensibel. Kunci utamanya adalah bagaimana menggabungkan narasi dan analisis dari berbagai disiplin secara selaras.
"Persoalannya bukan sekadar apakah Anda memiliki TP Doc, melainkan apakah TP Doc tersebut mampu membela transaksi harta tak berwujud Anda?” kata Richard dalam acara yang digelar oleh WU Transfer Pricing Center at the Institute for Austrian and International Tax Law at WU (Vienna University of Economics and Business) dan Tax Academy of Singapore itu.
Lebih lanjut, tantangan analisis transfer pricing atas transaksi harta tak berwujud juga kerap muncul karena ada perbedaan interpretasi serta belum tercapainya konsensus penuh di tingkat OECD terkait dengan isu transaksi harta tak berwujud.
Richard Goh kemudian membedah kerangka Six Steps Framework for Analysing Intangibles dalam OECD Transfer Pricing Guidelines. Itu merupakan panduan untuk menganalisis transaksi harta tak berwujud.
OECD menekankan bahwa analisis transaksi harta tak berwuud intragrup perlu dilakukan secara sistematis dan sejalan dengan panduan identifikasi hubungan komersial atau finansial dalam Section D.1 Chapter I.
Enam langkah dalam tahapan analisis harta tak berwujud yang perlu diperhatikan, pertama, mulai dari mengidentifikasi harta tak berwujud dan risiko terkait.
Kedua, menelaah pengaturan kontraktual. Ketiga, menganalisis fungsi-aset-risiko (FAR) dan analisis DEMPE. Keempat, menguji konsistensi antara kontrak dan perilaku aktual.
Kelima, mendelineasi transaksi yang sebenarnya (delineate the actual controlled transactions). Keenam, menentukan harga wajar sesuai kontribusi masing-masing pihak. Namun, dalam praktiknya, kerangka ini sering dianggap lebih rumit karena perbedaan interpretasi antar yurisdiksi.
Secara terperinci, poin pertama yang perlu dilakukan dalam analisis transfer pricing atas transaksi harta tak berwujud adalah identifikasi secara spesifik harta tak berwujud yang digunakan atau ditransfer dalam transaksi. Selain itu, perlu juga diidentifikasi risiko signifikan secara ekonomi (economically significant risks) yang terkait dengan aktivitas DEMPE (Development, Enhancement, Maintenance, Protection, Exploitation).
Dalam praktiknya, kesalahan umum terjadi karena tahapan ini sering dilewati. Banyak yang langsung membahas DEMPE tanpa terlebih dahulu mengidentifikasi keberadaan harta tak berwujud secara jelas. Padahal, identifikasi harta tak berwujud merupakan proses terpisah dan berbeda dari penentuan harga transfer.
Kontribusi pemanfaatan harta tak berwujud terhadap penciptaan nilai dalam suatu grup usaha dapat bervariasi tergantung sektor dan faktor kasus yang spesifik. Tidak semua harta tak berwujud menghasilkan kompensasi terpisah di luar pembayaran barang atau jasa, dan tidak selalu menghasilkan premium returns.
Oleh karena itu, penilaian hati-hati dibutuhkan untuk menentukan apakah suatu harta tak berwujud benar-benar ada, digunakan, atau ditransfer. Karena misalnya, tidak semua kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D) atau pemasaran menghasilkan penciptaan atau peningkatan suatu harta tak berwujud.
Richard menekankan bahwa sangat krusial untuk mengidentifikasi harta tak berwujud yang relevan, memahami perannya dalam penciptaan nilai atau value creation pada suatu usaha, dan melakukan analisis fungsional, termasuk DEMPE secara menyeluruh, tanpa hanya mengandalkan referensi yang samar (vague) atau agregat.
Selain itu, penting juga untuk menilai apakah harta tak berwujud bersifat unik atau tidak (unique vs non-unique intangibles). Misalnya, jika sebuah perusahaan menggunakan know-how yang tidak unik dalam memberikan jasa, di mana penyedia jasa independen lain juga memiliki know-how serupa, maka know-how tersebut tidak otomatis berhak atas premium return.
OECD Transfer Pricing Guidelines mendefinisikan harta tak berwujud yang unique and valuable sebagai harta tak berwujud yang tidak dapat dibandingkan dengan harta tak berwujud lain dalam transaksi sebanding, dan penggunaannya diperkirakan menghasilkan manfaat ekonomi lebih besar daripada situasi tanpa harta tak berwujud tersebut.
Tip praktis dalam analisis harta tak berwujud dalam transfer pricing yaitu mengidentifikasi 'key intangibles' yang menjadi sumber keunggulan kompetitif perusahaan, misalnya teknologi milik sendiri, brand equity, know-how khusus, atau bahkan customer relationship.
Dengan demikian, langkah identifikasi harta tak berwujud tidak dapat dipandang sekadar formalitas dalam dokumentasi transfer pricing, melainkan merupakan fondasi utama yang menentukan kualitas keseluruhan analisis.
Tanpa pemetaan yang jelas mengenai jenis, peran, dan signifikansi ekonomis suatu harta tak berwujud, analisis DEMPE maupun penentuan harga wajar berisiko melenceng. Identifikasi harta tak berwujud yang akurat sejak awal akan memastikan bahwa analisis transfer pricing tidak hanya selaras dengan pedoman OECD, tetapi juga dapat dipertanggungjawabkan di hadapan otoritas pajak lintas yurisdiksi.
Artikel reportase ini ditulis oleh Senior Specialist DDTC Consulting Andini Soraya yang mengikuti WU-TA Advanced Transfer Pricing Programme 2025 di Singapura. Program ini diselenggarakan pada 29 September 2025 hingga 2 Oktober 2025.
Program yang berlangsung selama 4 hari ini digelar oleh the WU Transfer Pricing Center at the Institute for Austrian and International Tax Law at WU (Vienna University of Economics and Business) dan the Tax Academy of Singapore. Kursus diisi oleh profesor dari WU Transfer Pricing Center dan pakar serta praktisi perpajakan di Asia Tenggara.
Selain Andini, ada 7 profesional DDTC lainnya yang juga mengikuti kursus di Singapura. Keikutsertaan kedelapan profesional pajak dalam kursus mengenai transfer pricing di Singapura tersebut dibiayai sepenuhnya oleh DDTC, sebagai bagian dari pengembangan kapasitas internal perusahaan. Kegiatan ini merupakan bagian dari Human Resource Development Program (HRDP) yang dijalankan oleh DDTC.
Tak cuma DDTC, peserta yang hadir dalam program ini berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari otoritas pajak, praktisi in house dari perusahaan multinasional seperti sektor minyak dan gas dan farmasi, hingga konsultan internasional dari Indonesia, Zambia, Vietnam, dan Malaysia. (sap)