REPORTASE DDTC DARI SINGAPURA

Dinamika Restrukturisasi Bisnis dari Kacamata Transfer Pricing Global

Redaksi DDTCNews
Jumat, 03 Oktober 2025 | 10.45 WIB
Dinamika Restrukturisasi Bisnis dari Kacamata Transfer Pricing Global
<p>Group Head of Tax Thought Machine Group,&nbsp;Uziel Alvarez, saat memberikan materi dalam <em>WU &ndash; TA Advanced Transfer Pricing Programme 2025</em>, Rabu (1/10/2025).</p>

SINGAPURA, DDTCNews - Keputusan restrukturisasi bisnis ternyata menyangkut aspek-aspek fundamental tata kelola perusahaan. Karenanya, perlu ada kerangka sistematis yang menggabungkan aspek hukum, ekonomi, dan operasional dalam rencana restrukturisasi bisnis.

Topik tentang restrukturisasi bisnis ini menjadi salah satu pembahasan dalam WU-TA Advanced Transfer Pricing Programme 2025 yang digelar di Singapura, Rabu (1/10/2025) yang juga diikuti oleh 2 profesional DDTC. Secara khusus, para pengajar yang hadir mengulas restrukturisasi bisnis dalam konteks transfer pricing.

Ada dua pakar yang mengisi materi tersebut, yakni Group Head of Tax Thought Machine Group, Uziel Alvarez, dan SEA Transfer Pricing Leader and Head of Tax, Deloitte Philippines, Carlo L. Navarro. Mereka berdua sepakat bahwa topik ini menjadi salah satu area paling kompleks dan strategis dalam dunia transfer pricing saat ini.

Mengapa topik tentang restrukturisasi bisnis perlu diulas dari kacatama transfer pricing? Tak cuma menyentuh aspek fundamental tata kelola perusahaan, keputusan restrukturisasi bisnis juga menyangkut keberlanjutan model operasional usaha, kepemilikan ekonomi atas aset tidak berwujud, hingga manajemen perubahan organisasi.

Sesi materi diawali oleh Uziel Alvarez yang meluruskan definisi komprehensif tentang restrukturisasi bisnis. Jika dilihat dari perspektif transfer pricing, restrukturisasi bisnis merupakan reorganisasi lintas negara terhadap pengaturan keuangan atau komersial. Bahkan dalam banyak kasus, restrukturisasi bisnis juga mencakup alokasi ulang internal fungsi, risiko, dan aset pada grup usaha perusahaan multinasional.

Penekanan pada aspek 'lintas negara' menjadi krusial karena perbedaan yurisdiksi perpajakan biasanya menjadi pemicu kewaspadaan otoritas pajak, terlebih ketika laba berpotensi bergeser dari negara dengan tarif tinggi ke negara dengan tarif yang lebih rendah.

"Pendekatan ini berbeda secara fundamental dengan pengalihan bisnis (transfer of business)," kata Uziel dalam acara yang digelar oleh WU Transfer Pricing Center at the Institute for Austrian and International Tax Law at WU (Vienna University of Economics and Business) dan Tax Academy of Singapore itu.

Uziel menjelaskan bahwa restrukturisasi bisnis sering kali dipicu oleh kombinasi faktor komersial dan pertimbangan pajak yang tidak dapat dipisahkan. Faktor komersial mencakup pencarian efisiensi operasional melalui sentralisasi fungsi back-office, konsolidasi pengadaan (central procurement), dan penataan ulang rantai nilai untuk mencapai skala ekonomi yang optimal.

Di sisi lain, pertimbangan pajak mencakup pemanfaatan perbedaan tarif pajak korporasi dan berbagai insentif fiskal yang ditawarkan yurisdiksi tertentu untuk mengoptimalkan beban pajak grup secara keseluruhan.

Selain itu, faktor sosial dan operasional merupakan faktor yang turut menentukan kesuksesan restrukturisasi lebih dari sekadar pertimbangan pajak semata. Ketersediaan talenta berkualitas, preferensi dewan direksi, infrastruktur yang memadai, kualitas hidup, dan stabilitas politik menjadi faktor-faktor yang perlu diperhatikan.

Keputusan yang tampak optimal dari segi pajak di atas kertas dapat runtuh jika tidak ditopang oleh kesiapan dewan direksi, ketersediaan talenta berkualitas, dan kelayakan operasional yang memadai.

Perlunya Analisis Restrukturisasi Bisnis yang Komprehensif

Uziel menyoroti bahwa kerangka analisis restrukturisasi bisnis harus komprehensif dan mencakup 3 dimensi utama yang saling berkaitan.

Pertama, dampak operasional yang mempertimbangkan efisiensi jangka panjang, fokus pada rantai nilai (value chain), dan mitigasi risiko geopolitik yang dapat mempengaruhi keberlanjutan bisnis. Pada dimensi ini, perusahaan perlu mengevaluasi secara mendalam bagaimana perubahan struktur akan memengaruhi kemampuan menciptakan nilai.

Kedua, mencakup aspek manajemen perubahan yang meliputi kesiapan jajaran direksi dan karyawan kunci, kemudahan perpindahan personel, portabilitas kontrak hukum, dan adaptasi sistem teknologi termasuk konversi standar akuntansi lokal.

Ketiga, analisis pajak yang komprehensif, meliputi pajak langsung (income tax), pajak tidak langsung (VAT/GST), pajak internasional, withholding tax, hingga biaya ketenagakerjaan yang harus dihitung secara menyeluruh.

Kegagalan dalam memperhitungkan salah satu elemen perpajakan dapat menimbulkan konsekuensi finansial yang besar setelah restrukturisasi dijalankan, sehingga tujuan optimasi pajak yang diharapkan tidak tercapai.

Perusahaan diwajibkan melakukan pemeriksaan secara cermat dan menyeluruh terhadap seluruh aspek perpajakan di setiap yurisdiksi yang terlibat dalam proses restrukturisasi agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

Berkaca dari Negara Lain

Diskusi interaktif dengan peserta dari berbagai negara mengungkap nuansa yurisdiksi yang menarik dalam praktik restrukturisasi bisnis. Di Indonesia, restrukturisasi yang umumnya dilakukan berupa pemisahan fungsi manufaktur dan distribusi ke dalam entitas terpisah untuk memenuhi persyaratan komersial dan kepatuhan regulasi.

Sebaliknya, peserta dari Zambia menyatakan bahwa restrukturisasi bisnis masih jarang terjadi di wilayah Afrika karena keterbatasan infrastruktur dan kompleksitas regulasi. Variasi ini memperlihatkan bahwa preferensi struktur, tingkat risiko sengketa, serta kompensasi dapat berbeda tergantung rezim hukum dan dinamika pasar setempat.

Sebagai penutup, Uziel Alvarez dan Carlo L. Navarro menjelaskan bahwa restrukturisasi bisnis merupakan strategi jangka panjang yang menuntut keberanian dalam pengambilan keputusan, sekaligus kedisiplinan dalam pelaksanaan kegiatan operasional.

Keberhasilan restrukturisasi kini diukur bukan hanya dari rendahnya tingkat pajak efektif, melainkan dari kesesuaian model operasi yang baru dengan sumber nilai perusahaan, kejelasan kepemilikan ekonomi atas aset tidak berwujud, serta ketahanan sistem tata kelola perusahaan ketika diuji oleh pemeriksaan otoritas pajak maupun dinamika pasar yang berubah.

Pada titik inilah transfer pricing berperan sebagai alat untuk memastikan perpindahan nilai berlangsung secara wajar, meliputi pemberian kompensasi yang sesuai, penyusunan dokumentasi, dan kebijakan penetapan harga yang konsisten, bukan sekadar aspek optimasi pajak, tetapi juga sebagai bagian integral dari strategi bisnis global.

Reportase dari Singapura

Artikel reportase ini ditulis oleh Specialist DDTC Consulting Antonius Henri Sijabat yang mengikuti WU-TA Advanced Transfer Pricing Programme 2025 di Singapura. Program ini diselenggarakan pada 29 September 2025 hingga 2 Oktober 2025.

Program yang berlangsung selama 4 hari ini digelar oleh the WU Transfer Pricing Center at the Institute for Austrian and International Tax Law at WU (Vienna University of Economics and Business) dan the Tax Academy of Singapore. Kursus diisi oleh profesor dari WU Transfer Pricing Center dan pakar serta praktisi perpajakan di Asia Tenggara.

Selain Henri, ada 7 profesional DDTC lainnya yang juga mengikuti kursus di Singapura. Keikutsertaan kedelapan profesional pajak dalam kursus mengenai transfer pricing di Singapura tersebut dibiayai sepenuhnya oleh DDTC, sebagai bagian dari pengembangan kapasitas internal perusahaan. Kegiatan ini merupakan bagian dari Human Resource Development Program (HRDP) yang dijalankan oleh DDTC. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.