SINGAPURA, DDTCNews – Pemahaman mendalam mengenai konsep permanent establishment (PE) dan atribusi laba menjadi makin penting bagi perusahaan multinasional di tengah perkembangan aturan perpajakan internasional.
Pada WU-TA Advance Transfer Pricing Programme 2025 di Singapura, Senin (29/9/2025), Partner Transfer Pricing KPMG Singapura Yong Sing Yuan menyampaikan paparan komprehensif mengenai PE dan atribusi laba berdasarkan OECD Model Convention serta UN Model Convention.
"Menurut Pasal 5 ayat (1) OECD Model Convention 2017, definisi PE tetap mengacu pada keberadaan fixed place of business yang memenuhi 4 kriteria kumulatif," ujar Yong dalam program yang juga diikuti oleh profesional DDTC ini.
Keempat kriteria kumulatif yang dimaksud oleh Yong, antara lain, keberadaan tempat usaha tetap secara geografis, aktivitas yang bersifat permanen, fungsi bisnis yang dijalankan melalui tempat tersebut, serta kendali efektif atas tempat usaha oleh perusahaan asing.
Kriteria-kriteria itu mempertegas fixed place PE, seperti kantor, pabrik, atau lokasi ekstraksi sumber daya alam yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (2) OECD Model Convention 2017.
Dalam Pasal 5 ayat (4) juga diatur pengecualian untuk aktivitas yang bersifat preparatory atau auxiliary. Namun, OECD Model Convention 2017 menambahkan aturan anti-fragmentation untuk mencegah pemecahan aktivitas yang sengaja dilakukan agar tidak melewati ambang batas PE.
Selanjutnya, pada Pasal 5 ayat (5), OECD Model Convention 2017 memperluas kriteria dependent agent dengan menghilangkan syarat bahwa agen harus secara formal mengikat kontrak.
“Sekarang, jika agen berperan utama dalam proses pembuatan kontrak walaupun tidak menandatangani kontrak secara langsung, PE tetap dapat terbentuk,” ujar Yong.
Hal tersebut merupakan langkah penting untuk mengatasi praktik penghindaran pajak melalui penggunaan agen tanpa otoritas legal tapi dengan peran signifikan, seperti commissionaire structures.
Berbeda dari OECD, UN Model Convention 2021 memperluas cakupan PE dengan memasukkan penyediaan jasa (termasuk konsultasi) jika kegiatan berlangsung lebih dari 183 hari dalam 12 bulan. Pendekatan ini lebih realistis bagi negara berkembang yang bergantung pada aktivitas jasa dan layanan yang berlangsung lama, tetapi sering kali tidak memenuhi kriteria fixed place PE tradisional.
Memperluas definisi PE membawa konsekuensi besar terhadap bagaimana laba dialokasikan kepada PE. Yong menjelaskan 2 pendekatan utama dalam mengalokasikan laba, yaitu Relevant Business Activity (RBA) dan Functional Separate Entity (FSE).
Dalam pendekatan RBA, laba hanya dikaitkan dengan aktivitas nyata yang dijalankan. Sementara dalam FSE, PE diperlakukan seperti entitas independen yang harus mendapatkan laba wajar layaknya perusahaan pihak ketiga.
Pada 2005, konsep restricted independence masih mendominasi, dengan pemahaman arm’s length yang terbatas dan metode atribusi laba yang bersifat campuran (direct dan indirect). Panduan atribusi laba masih condong ke pendekatan RBA.
Kemudian, pada 2008, OECD melalui PE Report 2008 memperkenalkan pendekatan 2 langkah (Two-Step Approach). Pertama, perusahaan harus mengidentifikasi fungsi dan risiko yang dilakukan oleh PE dibanding kantor pusat dan entitas lain. Analisis ini meliputi alokasi aset dan modal, pembagian risiko, dan beban operasional.
Kedua, memfokuskan pada penetapan harga transaksi internal (misalnya layanan, distribusi, atau kontribusi modal) agar sejalan dengan harga pasar (arm’s length principle) dengan menggunakan prinsip Pasal 9 OECD Convention Model.
Puncaknya pada 2010, OECD meluncurkan AOA penuh dengan konsep full independence, menyamakan PE dengan entitas fungsional penuh dan menerapkan arm’s length principle secara komprehensif. Metode atribusi laba difokuskan pada metode langsung sesuai dengan prinsip transfer pricing, menghilangkan metode tidak langsung yang sebelumnya digunakan.
Tantangan atribusi laba pada PE erat kaitannya dengan Pasal 7 dan Pasal 9 OECD Model Convention Model yang sama-sama berdasar prinsip arm’s length, tetapi berbeda ruang lingkup dan pendekatan.
Pasal 7 mengatur atribusi laba antara entitas induk dan PE, sementara Pasal 9 mengatur transaksi antar entitas afiliasi terpisah secara hukum. OECD tidak mengatur urutan penerapan kedua pasal ini, sehingga yurisdiksi bisa memilih mulai dari Pasal 9 atau Pasal 7 sesuai kebijakan masing-masing.
Yong memandang pendekatan mana pun yang diambil suatu yurisdiksi seharusnya tidak memengaruhi total laba yang dikenai pajak di negara sumber.
“Yang terpenting adalah memastikan bahwa tidak terjadi pemajakan ganda atas laba yang sama, baik di tingkat PE maupun di entitas afiliasi,” ungkap Yong.
OECD pun menekankan pentingnya transparansi dan konsistensi dalam penerapan, karena koordinasi yang lemah antara Pasal 7 dan Pasal 9 dapat menimbulkan risiko pajak berganda.
Artikel reportase ini ditulis oleh Specialist DDTC Consulting Fany Tri Agustin yang mengikuti WU-TA Advanced Transfer Pricing Programme 2025 di Singapura. Program ini diselenggarakan pada 29 September 2025 hingga 2 Oktober 2025.
Program yang berlangsung selama 4 hari ini digelar oleh the WU Transfer Pricing Center at the Institute for Austrian and International Tax Law at WU (Vienna University of Economics and Business) dan the Tax Academy of Singapore. Kursus diisi oleh profesor dari WU Transfer Pricing Center dan pakar serta praktisi perpajakan di Asia Tenggara.
Selain Fany, ada 7 profesional DDTC lainnya yang juga mengikuti kursus di Singapura. Keikutsertaan kedelapan profesional pajak dalam kursus mengenai transfer pricing di Singapura tersebut dibiayai sepenuhnya oleh DDTC, sebagai bagian dari pengembangan kapasitas internal perusahaan. Kegiatan ini merupakan bagian dari Human Resource Development Program (HRDP) yang dijalankan oleh DDTC. (sap)