“Kalau mau meme Anda efektif, pertimbangkan unsur ethos, pathos, dan logos-nya.”
Begitu kata Khin-Wee Chen, Ph.D., pengajar summer course bertajuk Humour, Satire, and Memes in Media di Masaryk University, Ceko.
Biasa menghuni The Library of Humor Studies yang berada di lantai dua Menara DDTC, singkat cerita, saya tiba-tiba duduk di dalam kelas tersebut selama 2 minggu, yakni 13–26 Juli 2025. Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) dengan dukungan dari Danny Septriady, yang juga founder DDTC, mengirim saya untuk bisa mengikuti kursus musim panas itu.
Awalnya, saya bingung. Memangnya bisa ya teori kuno itu dipakai untuk mengonsep dan menganalisis meme yang baru populer 2.300 tahun setelah pencetusnya meninggal dunia? Apalagi, sekarang kan zamannya sudah beda. Aristoteles boleh punya banyak kenalan orator-orator hebat Athena, tapi sekarang kan eranya para content creator.
Namun, makin jauh saya mengikuti perkuliahan di hari itu, semakin saya menyadari satu hal: teori strategi persuasi klasik itu dikenalkan sebagai bingkai. Teori ini tidak otomatis menjamin meme buatan saya bakal lucu dan viral. Akan tetapi, teori tersebut berperan untuk membantu mengorganisir cara pikir kita biar fokus dan tidak ke mana-mana.
Saya langsung teringat pada materi yang pernah Founder DDTC dan IHIK3, Danny Septriadi, bawakan. Dalam kuliah Audit & Negosiasi Pajak di Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), serta coaching Seni Komunikasi Pajak yang Efektif di Astra International, Tbk., dia juga menyampaikan soal ethos, pathos, dan logos itu.
Baca juga: Serunya Jadikan Kartun sebagai Media Ajar Audit dan Negosiasi Pajak
Meski berbeda konteks, baik profesor saya di Masaryk University maupun Danny sama-sama memakai pendekatan yang serupa: framework thinking.
Framework thinking merupakan teknik pengajaran yang lebih populer di lingkup akademik barat. Dengan kerangka berpikir ini, kita akan lebih sistematis dalam memahami, mengurai, dan merespons fenomena.
Dalam kursus Humour, Satire, and Memes in Media, framework thinking Aristoteles itu tidak kami pakai untuk menilai kelucuan suatu meme atau karikatur. Kami justru belajar menggali mampukah suatu humor menyentuh perasaan audiensnya (pathos), adakah tokoh populer yang ditampilkan atau apakah pengunggahnya merupakan pihak yang otoritatif (ethos), serta kuat atau lemah argumen di dalamnya (logos).
Tampilan salindia (slide) Khin-Wee Chen di summer school Humour, Satire, and Memes in Media.
Pun demikian dalam konteks komunikasi pajak. Alih-alih mengharuskan praktisi pajak Indonesia menjadi orator andal, Danny berpendapat bahwa praktisi pajak tidak cuma butuh menghadirkan bukti dan peraturan perundang-undangan yang relevan atau evidence based (logos), tetapi juga teknik membangun kepercayaan (ethos) serta kemampuan mengulik aspek emosional pihak yang sedang diajak bicara (pathos).
Tangkapan layar salindia yang disampaikan Danny Septriadi di MAKSI Universitas Indonesia
Yang saya rasakan sendiri, metode pembelajaran seperti ini tidak hanya membuat cara berpikir saya lebih sistematis dan fokus, tetapi juga berhasil memunculkan perspektif yang beragam di antara teman-teman saya. Adapun framework thinking lain yang dikenalkan oleh profesor saya selama kursus ini, yaitu Six Thinking Hats-nya Edward de Bono.
Baca juga: Cartoon Caption: Belajar Audit dan Negosiasi Pajak yang Anti-Kaku
Karena berbasis kajian media, tidak heran kalau kursus Humour, Satire, and Memes in Media ini sering menyebut teori-teori yang familiar bagi akademisi ilmu komunikasi. Beberapa teori yang dibahas, di antaranya semiotika dan teori ekonomi politik media.
Akan tetapi dalam praktiknya, sebenarnya saya mendapat lebih dari pemahaman terkait teori-teori tersebut. Saya justru merasakan critical thinking, creative thinking, dan communication skill saya terasah.
Misalnya, critical thinking saya terlatih saat menganalisis konsekuensi dari mengunggah dan ikut memviralkan meme. Tidak semua humor layak di-share walau lucu. Secara etis, lebih aman bagi orang-orang biasa seperti mayoritas dari kita memviralkan meme yang punching up —mengkritik pihak berkuasa atau struktur yang opresif— daripada yang punching down (menyerang kelompok marginal).
Sementara itu, creative thinking saya terpakai saat mengerjakan tugas-tugas macam treasure hunt. Dalam tugas itu, profesor Chen menugasi kami untuk mencari patung-patung unik di kota Brno, lalu mengamati dan menganalisis adakah muatan humor di dalamnya. Tugas ini membuka mata saya bahwa humor bisa disampaikan lewat cara yang halus bahkan anti-mainstream.
Terakhir dan juga terpenting, communication skill kami tergembleng utamanya dari presentasi tugas akhir: meme project. Jangan kira lho membuat humor yang lucu sekaligus bermakna itu mudah! Sulit! Butuh pertimbangan yang enggak asal-asalan juga.
Sebab-musabab utamanya, produk komunikasi itu rentan disalahpahami. Di sinilah teori semiotika berperan besar. Kami belajar bahwa tanda (gambar, kata, dan simbol) bisa ditafsirkan berbeda oleh audiens. Oleh karena itu, penting untuk memagari bahkan mengarahkan narasi agar audiens tidak sampai salah memahami narasi yang sedang disampaikan.
Baca juga: Hilangkan Stres, Praktisi Pajak Pelajari Humor untuk Terapi Diri
Danny Septriadi membawakan materi Seni Komunikasi Pajak yang Efektif di Astra International Tbk.
Tiga keterampilan ini —berpikir kritis, berpikir kreatif, dan komunikasi efektif— sebenarnya juga sudah menjadi perhatian DDTC Academy. Bersama IHIK3, dalam beberapa tahun terakhir ini DDTC Academy mengembangkan berbagai pelatihan berbasis humor dan komunikasi strategis untuk memperkuat life skills praktisi pajak.
Sayangnya, kemampuan non-teknis ini masih kerap dinomorduakan. Padahal, dalam praktiknya, life skills bisa turut menentukan keberhasilan praktisi pajak dalam menjembatani pengetahuan teknisnya dengan klien atau otoritas.
Melalui pengalaman ini, saya semakin yakin bahwa humor lebih dari sekadar haha-hihi. Humor adalah strategi. Ketika digunakan dengan tepat, humor bisa menjadi alat edukasi hingga persuasi.
Di bidang pajak yang intens, pendekatan ini bisa menjadi alternatif. Bukan dengan nge-joke melulu tiap membahas temuan pemeriksaan pajak, ya. Setidaknya, humor bisa membantu meningkatkan pemahaman praktisi pajak akan psikologi audiens, menimbang sensitivitas isu, dan menyampaikan pesan secara empatik sekaligus menarik. *(sap)
*Artikel ini ditulis oleh Ulwan Fakhri, peneliti IHIK3 & pionir Certified Humor Professional di Indonesia