HARI-HARI di pengujung akhir tahun 2024 diramaikan oleh pemberitaan yang nyaris tanpa henti seputar kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Apa sebab? Amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN) s.t.d.t.d. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menyatakan bahwa tarif PPN akan disesuaikan dari 11% menjadi 12% selambatnya pada 1 Januari 2025.
Banyak pihak kemudian melontarkan argumen, analisis, dan posisi mereka atas rencana tersebut. Mulai dari dampaknya bagi inflasi, pertumbuhan ekonomi, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). Mulai dari sifat PPN yang regresif dan tidak adil, hingga soal keberpihakan masyarakat berpenghasilan rendah. Mayoritas berposisi menolak, atau setidaknya memberikan catatan.
Diskursus publik soal kenaikan tarif PPN tersebut tentu melegakan. Sebagai wujud dari pemungutan pajak yang berbasis kesepakatan, meaningful participation, atau proses bargaining dalam iklim demokrasi, pro dan kontra dari masyarakat adalah sinyal positif kepedulian tentang pajak. Khususnya di era pemerintahan baru Prabowo-Gibran.
Namun, sudahkah masyarakat disuguhkan oleh informasi yang lebih jernih? Sudahkah argumen maupun posisi yang dikemukakan oleh berbagai ahli dan pemangku kepentingan telah diuraikan secara berimbang?
Informasi yang kurang lengkap serta kemudahan untuk melontarkan bahwa PPN (pajak) sebagai suatu beban jelas dapat berujung pada satu simpulan prematur. Masyarakat akan menilai bahwa kenaikan tarif PPN tersebut perlu dibatalkan dan tidak populis.
Melalui artikel ini, penulis bermaksud untuk mengisi ruang publik dengan beberapa aspek yang mungkin terlewatkan. Tujuannya adalah semata-mata untuk edukasi dan memberikan referensi berimbang tentang karakteristik PPN secara konseptual.
Sebelum memperdebatkan soal tarif, tentu kita perlu memahami dahulu mengenai PPN dan bagaimana interaksinya dengan perekonomian secara umum.
Pertama-tama, PPN adalah jenis pajak yang dikenakan atas seluruh konsumsi barang atau jasa kena pajak yang bersifat umum (general consumption tax). PPN dikenakan atas setiap rantai pasok baik proses produksi dan distribusi.
PPN awalnya hadir sebagai antitesis dari sistem pajak penjualan (PPn) yang sudah dikenal sebelumnya. Elemen pertambahan nilai dalam PPN merupakan nilai yang timbul dari penerapan metode pengkreditan pajak masukan (VAT input) terhadap pajak keluaran (VAT output) yang diadministrasikan oleh pengusaha kena pajak (PKP).
Dengan kata lain, PKP hanya menyetorkan selisih lebih pajak keluaran terhadap pajak masukan. Inilah prinsip netralitas dalam PPN (Pato dan Marques, 2014). PPN juga tidak dimaksudkan untuk menjadi beban bagi PKP melalui mekanisme hak untuk mengajukan dan memperoleh restitusi (Ad van Doesum dan Gert-Jan van Norden, 2011).
Oleh karena itu, PPN tidak menyebabkan apa yang disebut sebagai cascading effect yang berpotensi membuat ongkos ekonomi makin mahal. Akibatnya, kenaikan harga dapat lebih terkendali dan tidak menggerus daya beli masyarakat.
Dengan sifatnya yang relatif lebih mudah diadministrasikan dan tidak berdampak besar bagi konsumsi masyarakat, PPN menjadi pajak yang populer dan penerapannya berkembang pesat di berbagai negara. Berdasarkan OECD (2024), pada tahun 1964 hanya terdapat 3 negara di dunia yang menerapkan PPN. Jumlah ini bertambah menjadi 33 negara (1984), 91 negara (1994), 140 negara (2004), 165 negara (2014), hingga 175 negara (2024).
Anggapan PPN sebagai money machine juga diperlihatkan dari tingginya kontribusi penerimaan yang disumbangkan jenis pajak tersebut. Data Global Revenue Statistics Database yang dirilis oleh OECD atas 127 negara mengonfirmasi hal tersebut. Pada tahun 1990, rata-rata kontribusi PPN terhadap total penerimaan perpajakan secara global adalah sebesar 15,3%. Pada tahun 2022, kontribusinya telah meningkat menjadi 24,6%.
Kian diandalkannya PPN sebagai sumber penerimaan pajak juga disebabkan oleh sifatnya yang relatif tidak terlalu mendistorsi perekonomian (less-distortive). Walaupun pemungutan PPN sejatinya turut mendistorsi ekonomi, tapi memiliki dampak distorsi yang relatif rendah jika dibandingkan dengan PPh badan, PPh orang pribadi, capital gain, dan sebagainya.
PPN relatif tidak mencederai produktivitas, pilihan untuk menabung dan berinvestasi, dan pertumbuhan ekonomi. Telaah teoritis maupun empiris mengenai hal tersebut telah dibahas dalam berbagai literatur akademis (Johansson et al, 2008; Kneller, Bleaney, dan Gemmell, 1999; Arnold, 2008; dan Keen et al, 2011).
Selain itu, PPN umumnya tidak memengaruhi keputusan lokasi investasi. Hal ini dikarenakan PPN menganut prinsip destination. Artinya, pajak hanya akan dikenakan di lokasi tempat konsumen berada dan bukan lokasi produsennya. Ini menjelaskan pula mengapa tinggi rendahnya tarif PPN di suatu negara bukan faktor penentu para pelaku usaha untuk berinvestasi. Kontras dengan PPh badan yang menganut origin principle yang menyebabkan fenomena race to the bottom.
Penerimaan PPN biasanya juga meningkat seiring dengan meningkatnya size dari aktivitas ekonomi (Keen dan Lockwood, 2006). Dalam rezim PPN yang bersifat full taxation, pertumbuhan penerimaan PPN umumnya bersifat elastis terhadap pertumbuhan sektor konsumsi rumah tangga. Dengan demikian, penerapan PPN pro terhadap pertumbuhan tax ratio.
Dalam konteks tax ratio Indonesia yang masih rendah, agenda optimalisasi penerimaan pajak merupakan suatu strategi yang harus diambil. Optimalisasi penerimaan dibutuhkan untuk membiayai dana pembangunan dan program kerja pemerintahan baru, menjaga kesinambungan fiskal yang sehat, serta sebagai langkah awal menuju tax ratio 18% sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
Untuk mencapai berbagai tujuan tersebut, reformasi pajak melalui PPN merupakan jalan tengah yang moderat. PPN merupakan pilihan yang rasional sebagai agenda untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan distorsi yang minim terhadap perekonomian.
Peran strategis PPN dan pemahaman atas konteks kenaikan tarif PPN tidak dapat dilepaskan dari situasi fiskal di masa pandemi dan pascapandemi (2020-2023). Selama kurun periode tersebut, pajak -termasuk PPN- silih berganti dipergunakan sebagai instrumen stimulus mencegah krisis, instrumen mengungkit pemulihan ekonomi, sekaligus instrumen konsolidasi fiskal (Indonesia Taxation Quarterly Report Q2-2020).
Pada setiap fase tersebut, PPN memberikan kontribusi yang berharga. Sebagai ilustrasi, dalam mencegah krisis akibat pandemi, berbagai negara secara cepat menggunakan instrumen PPN melalui berbagai fasilitas, pengurangan tarif secara temporer, hingga kemudahan administrasi.
Di Indonesia sendiri, insentif PPN yang bertujuan sebagai stimulus mencakup beberapa hal. Misal, PPN ditanggung pemerintah (DTP) atas penyerahan barang dan jasa kena pajak untuk kegiatan penanganan Covid-19 (alat kesehatan, obat, dan sebagainya). Berdasarkan Laporan Belanja Perpajakan Indonesia 2022 (BKF, 2023), belanja pajak insentif tersebut mencapai Rp1,9 triliun (2020), Rp4,4 triliun (2021), dan Rp1,7 triliun (2022). Contoh lainnya, misalkan fasilitas pengembalian pendahuluan restitusi PPN yang dimanfaatkan oleh sekitar 2.800 wajib pajak dengan total restitusi sebesar Rp6,1 triliun (DJP, 2022).
Seiring berjalannya waktu dan pengendalian faktor kesehatan, paradigma pemerintah atas pajak juga turut bergeser. PPN turut digunakan sebagai instrumen untuk mengungkit perekonomian. Tujuannya agar aggregate demand meningkat.
Dalam konteks Indonesia, hal ini dapat ditemukan pada fasilitas PPN DTP atas penyerahan rumah tapak dan unit hunian rumah susun. Belanja pajaknya diestimasi sebesar Rp0,3 triliun (2021) dan Rp1,5 triliun (2022). Contoh lainnya ialah fasilitas pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) atas kendaraan bermotor tertentu sebesar Rp4,9 triliun (2021) dan Rp1,1 triliun (2022). Kedua fasilitas tersebut bertujuan agar terdapat belanja dari kelas menengah ke atas yang kemudian dapat menggerakkan perekonomian, khususnya sektor otomotif dan konstruksi.
Hampir bersamaan dengan fase ‘daya ungkit’ tersebut, pemerintah di berbagai negara juga mulai menggunakan PPN sebagai instrumen untuk konsolidasi fiskal (OECD, 2021). Khususnya, untuk menciptakan penerimaan pajak yang lebih kokoh dan berkesinambungan sebagai agenda pengendalian defisit (risiko fiskal).
Penggunaan PPN sebagai instrumen konsolidasi fiskal sesungguhnya tidak mengherankan. PPN dianggap sebagai pos penerimaan yang ‘tahan banting’. Pada saat krisis, PPN biasanya tidak terkontraksi sedalam pos penerimaan lainnya. Sedangkan pada pascakrisis, PPN merupakan jenis pajak yang relatif cepat pulih seiring dengan pola pemulihan ekonomi.
Selain telah terbukti dalam studi empiris di negara-negara OECD pada saat krisis keungan global 2008-2009, kinerja tersebut juga tampak dalam kasus Indonesia. Dalam konteks Indonesia, PPN pada tahun 2020 terkontraksi sebesar -15,3% dan relatif lebih stabil dibandingkan dengan PPh nonmigas yang bertumbuh -21,3% ataupun PPh badan sebesar -38,5%. Menariknya, di tahun 2021, PPN juga jenis pajak yang relatif cepat pulih (recover) yang kemudian tumbuh sebesar 20,4%.
Penggunaan strategi PPN sebagai instrumen konsolidasi fiskal dapat ditemukan pada UU HPP. Salah satu yang direvisi ialah soal tarif yang sejak pemberlakuan awal PPN (1985) belum pernah dilakukan penyesuaian dan bertahan di angka 10%.
Per 1 April 2022 tarif PPN disesuaikan menjadi 11%. Pertanyaannya, apakah penyesuaian tarif tersebut memberikan dampak negatif bagi perekonomian? Ada dua indikator yang menarik untuk dicermati.
Pertama, dampaknya terhadap inflasi. Sepanjang tahun 2022, inflasi tercatat sebesar 5,52% (year-on-year) yang mana torehan tertinggi sejak 2014. Jika diperhatikan secara mendalam, inflasi tahun 2022 dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu harga komoditas global, tingginya kenaikan harga kelompok bahan makanan dan minuman, serta biaya transportasi.
Menariknya, berdasarkan UU HPP, PPN atas makanan, minuman, serta transportasi mendapatkan fasilitas pembebasan (sebelumnya dikecualikan). Dengan demikian, andil kenaikan tarif terhadap komoditas tersebut dapat dipertanyakan.
Kedua, pertumbuhan PDB Indonesia pada 2022 adalah sebesar 5,31% dan merupakan capaian pertumbuhan ekonomi yang tertinggi sejak 2014. Kinerja tersebut secara tidak langsung mengonfirmasi PPN sebagai jenis pajak yang relatif minim memberikan dampak distorsi terhadap pertumbuhan ekonomi
Sebagai informasi, tarif awalnya direncanakan untuk naik menjadi 12% pada tahun 2022. Namun demikian, berdasarkan kesepakatan antara pemerintah dan DPR, kenaikan tarif akan dilakukan secara bertahap, yaitu menjadi 11% pada 1 April 2022 dan menjadi 12% selambatnya pada 1 Januari 2025. Kenaikan tarif secara bertahap tersebut merupakan suatu jalan tengah di mana pemerintah masih mempertimbangkan kondisi pemulihan ekonomi secara bertahap dan tidak gegabah.
Pertanyaannya, apakah prasyarat kondisi ekonomi yang telah pulih sudah terpenuhi untuk penyesuaian tarif PPN ke 12%? Jawabannya, sudah. Hal ini sebagaimana disampaikan OECD dalam OECD Economic Survey of Indonesia 2024 yang dirilis pada akhir bulan November 2024.
Dalam laporan tersebut, OECD mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah kembali pulih ke level prapandemi. Bahkan tahun 2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan mampu mencapai angka setidaknya 5,2%.
Singkatnya, polemik kenaikan tarif PPN menjadi 12% sesungguhnya sangat berkaitan erat dari dinamika sektor fiskal pada era pandemi dan pascapandemi. Kontribusi PPN yang signifikan pada fase stimulus dan daya ungkit perekonomian kemudian menjadi satu benang merah yang sulit dipisahkan dalam fase konsolidasi fiskal.
Memutus kerangka berpikir yang telah dibangun dalam konsepsi comprehensive tax reform tersebut justru berpotensi menghasilkan kinerja fiskal yang suboptimal. Pasalnya, semuanya sudah berangkat dari kajian ilmiah dan kesepakatan antara pemerintah dan wakil rakyat di DPR.
Perdebatan mengenai kenaikan tarif PPN menjadi 12% turut memunculkan kekhawatiran bahwa nantinya tarif PPN Indonesia tidak selaras dengan tren global. Anggapan tersebut umumnya timbul pada saat membandingkan tarif PPN di Indonesia dengan negara Asean lainnya. Pasalnya, tarif PPN tertinggi negara-negara Asean saat ini ditemukan di Filipina dengan tarif 12%.
Sebelum kita masuk lebih jauh dalam diskusi mengenai tren tarif tersebut, ada baiknya kita memahami dua skema tarif PPN yang umum dianut di berbagai negara. Pertama, skema tarif tunggal yang berlaku untuk seluruh jenis barang dan jasa kena pajak secara seragam (Tait, 1988). Artinya, hanya terdapat satu tarif standar yang berlaku secara umum -di luar skema tarif 0% untuk ekspor-. Tarif tunggal umumnya dianggap mencerminkan sistem PPN yang netral karena tidak mendistorsi kegiatan konsumsi serta lebih mudah diadministrasikan (Cnossen, 2004).
Kedua, skema multitarif. Dalam skema ini, terdapat tarif standar yang berlaku secara umum serta tarif alternatif yang lebih rendah (reduced rate) maupun lebih tinggi bagi barang dan jasa kena pajak tertentu. Skema multitarif dianggap lebih adil karena adanya perbedaan elastisitas konsumsi, tapi lebih menantang dari sisi administrasinya (Ebril, et al, 2001).
Kedua skema tersebut pada dasarnya memiliki keunggulan masing-masing. Akan tetapi, tidak terdapat konsensus mengenai skema terbaik dan setiap negara berwenang untuk menentukan pilihannya (Darussalam, 2021). Walau demikian, dewasa ini skema multitarif kian banyak diadopsi di berbagai negara.
Dengan adanya tren tersebut, tidak mengherankan jika skema multitarif sempat menjadi usulan pada saat pembahasan UU HPP. Meskipun demikian, dengan alasan efisiensi serta kemudahan administrasi, Indonesia tetap menganut tarif tunggal dengan tarif standar sebesar 11% bagi seluruh barang dan jasa kena pajak.
Singkatnya, pemerintah dan DPR telah bersepakat bahwa skema multitarif yang memungkinkan adanya kelonggaran tarif lebih rendah bagi barang dan jasa kena pajak tertentu tidak dipilih. Dengan demikian, seluruh barang dan jasa kena pajak akan dikenakan suatu tarif yang berlaku secara umum dan seragam.
Lebih lanjut, studi komparasi dan tren tarif PPN secara global akan menggunakan standard rate sebagai rujukan. Selama 15 tahun terakhir dapat disimpulkan adanya tendensi kenaikan rata-rata tarif PPN global secara perlahan. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2010, berdasarkan data IBFD Tax Research Platform di 126 negara yang dikumpulkan oleh DDTC Fiscal Research & Advisory, tarif PPN global tercatat sebesar 14,86%. Sepuluh tahun kemudian (2020), rata-rata tarif PPN global meningkat menjadi 15,39%.
Menariknya, kenaikan tarif PPN standar global juga terus meningkat di era pascapandemi. Pada tahun 2022, rata-rata tarif PPN global meningkat menjadi 15,85% dan pada tahun 2024 menjadi 16,02%. Data tersebut dihitung berdasarkan rata-rata sederhana di 171 negara berdasarkan data OECD Consumption Tax Trends.
Pola kenaikan rata-rata tarif PPN secara global kurang lebih sebesar 1% selama 15 tahun terakhir mengindikasikan beberapa hal. Pertama, kenaikan tarif yang cenderung lambat menyiratkan bahwa optimalisasi penerimaan PPN memiliki resep selain kenaikan tarif. Misalkan, mengurangi fasilitas, penyesuaian threshold PKP, atau melalui penyesuaian atas reduced rate (DDTC Fiscal Research & Advisory, 2021).
Kedua, pola pergerakan tarif PPN secara global cenderung berlawanan arah dengan pergerakan pola tarif PPh badan. Sebagai perbandingan, selama periode 2000-2020, terdapat tren penurunan rata-rata tarif PPh badan global sebesar 7% (OECD, 2020). Dengan demikian, terdapat dugaan bahwa revenue forgone yang diakibatkan oleh penurunan tarif PPh badan cederung dikompensasikan oleh kenaikan tarif PPN.
Ketiga, PPN terbukti sebagai pos penerimaan pajak yang mengalami reformasi pada saat era pandemi dan pascapandemi. Sifatnya yang relatif mudah recover, telah mendorong pemerintah di berbagai negara untuk memasukkan tarif PPN sebagai salah satu menu agenda reformasi pajak mereka.
Secara khusus, kenaikan tarif PPN dilakukan oleh beberapa negara. Misalkan, negara tetangga kita, Singapura, yang meningkatkan tarif GST (PPN) dari 7% menjadi 8% (2023) dan kemudian 9% (2024). Pada tahun 2023, Estonia -negara yang dinobatkan sebagai negara dengan sistem pajak paling kompetitif- menaikkan tarif PPN dari 20% menjadi 22%. Hal tersebut dilakukan untuk menjamin kestabilan anggaran.
Kenaikan tarif PPN turut dilakukan oleh Turki, dari 18% menjadi 20% di 2023. Swiss juga melakukan penyesuaian tarif standar PPN sebesar 0,4% untuk mendanai program Old Age and Survivors Insurance (OASI). Selain keempat negara tersebut, kenaikan tarif PPN selama periode 2022-2024 juga dilakukan oleh Maladewa, Fiji, Luksemburg, Sri Lanka, Kenya, Ekuador, Zimbabwe, dan sebagainya.
Upaya menelaah sejauh mana sistem PPN berdampak bagi beban dan distribusi keadilan tentu tidak dapat hanya ditinjau dari tinggi rendahnya tarif umum PPN. Setidaknya terdapat dua aspek penting lainnya yang perlu ditinjau.
Pertama, batasan pengusaha kecil yang dikecualikan dari kewajiban pemungutan dan administrasi PPN atau sering disebut sebagai threshold pengusaha kena pajak (PKP). Threshold PKP sejatinya didesain untuk mencegah adanya biaya kepatuhan pajak yang besar bagi pengusaha kecil (Darussalam, Septriadi, dan Dhora, 2018). Umumnya batasan tersebut dipatok berdasarkan omzet dari suatu pelaku ekonomi.
Walau positif dalam melindungi pengusaha kecil, threshold PKP berpotensi menciptakan situasi di mana tidak seluruh rantai pasok dalam perekonomian tertangkap radar oleh otoritas pajak.
Saat ini, threshold PKP di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, yaitu sebesar Rp4,8 miliar. Sebagai informasi, pada tahun 2020, rata-rata threshold PKP di 92 negara adalah sebesar 1,18 miliar (diolah dari data IBFD, 2021). Sedangkan pada tahun 2024, rata-rata threshold PKP di 143 negara adalah sebesar Rp1,61 miliar (diolah dari data OECD, 2024).
World Bank (2024) bahkan menyebut threshold di Indonesia adalah sebesar 6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata di negara OECD pada 2022. Dengan batasan threshold tersebut, tidak mengherankan jika BKF (2023) memberikan estimasi revenue forgone yang tinggi dari dari kebijakan tersebut yakni mencapai Rp49,04 triliun pada tahun 2022. Angka tersebut juga diprediksi meningkat menjadi Rp52,43 triliun (2023), Rp56,54 triliun (2024), dan Rp61,22 triliun (2025).
Kedua, adanya skema pengecualian atau fasilitas PPN untuk barang dan jasa tertentu. Sebelum UU HPP, terdapat berbagai barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN. Termasuk di dalamnya ialah barang kebutuhan pokok, jasa angkutan umum, jasa pendidikan, dan sebagainya.
Berbagai pengecualian tersebut pada dasarnya tidak selaras dengan tren PPN secara global yang justru berpedoman bagi perluasan basis pajak (broad-based) dan mengurangi adanya pengecualian dan perlakuan tertentu (de la Feria dan Krever, 2013). Pasalnya, berbagai pengecualian tersebut justru dapat berdampak bagi terdistorsinya netralitas PPN dan menimbulkan tax gap. Namun, dengan mempertimbangkan adanya keberpihakan bagi masyarakat luas dan keringanan, berbagai barang dan jasa yang sebelumnya dikecualikan, kemudian diberikan fasilitas. Singkatnya, walau sudah menjadi objek PPN, tetapi atas PPN-nya masih diberikan fasilitas berupa pembebasan ataupun tidak dipungut.
Tidak mengherankan, jika tax expenditure atas berbagai fasilitas PPN yang berdampak bagi masyarakat luas dan adanya upaya melindungi kelompok berpenghasilan rendah masih sangat besar. Berdasarkan BKF (2023), total tax expenditure dari lima jenis barang/jasa yang berdampak bagi masyarakat luas -yaitu barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan medis, jasa pendidikan, jasa angkutan umum, dan listrik atas rumah hunian di bawah daya 6.600 V.A.- nilainya mencapai Rp83,74 triliun pada tahun 2022. Estimasinya juga diperkirakan terus meningkat hingga Rp92,96 triliun (2023), Rp99,77 triliun (2024), dan Rp117,52 triliun (2025).
Pertanyaannya, jika memang kenaikan tarif PPN menjadi 12% tersebut dianggap tidak peka terhadap kondisi masyarakat, bukankah sudah terdapat mekanisme lain yang dianggap lebih direct dalam meringankan dan menunjukkan keberpihakan bagi kelompok masyarakat tertentu? Yaitu, melalui beragam fasilitas PPN dan threshold PKP yang tinggi.
Melalui pemahaman sistem PPN Indonesia yang lebih utuh, dapat disimpulkan bahwa pemerintah bermaksud mengembalikan PPN sesuai konsep awal dan international best practice. Namun, tetap mengakomodir kondisi perekonomian dan kebutuhan masyarakat.
Penyesuaian tarif PPN menjadi 12% seharusnya turut dapat dimaknai sebagai momentum untuk pembenahan dalam tiga aspek.
Pertama, memperbaiki sistem restitusi PPN. Indonesia dapat digolongkan sebagai negara yang tidak menganut immediate refund system sehingga restitusi PPN tidak dapat diajukan dan diterima secara cepat (Septriadi, 2024). Padahal, restitusi sesegera mungkin merupakan kunci untuk menjamin netralitas PPN dan sekaligus untuk menghindari beban PPN akan ditanggung oleh PKP (Schenk dan Oldman, 2007).
Restitusi PPN yang rumit justru tidak kondusif bagi arus kas pelaku usaha, menghambat ekspansi ekonomi, mengurangi kepastian, serta berdampak bagi iklim investasi. Kerumitan restitusi PPN di Indonesia juga ‘ditangkap’ dalam laporan World Bank yang bertajuk Business Ready (B-Ready) tentang indikator kemudahan berusaha dan iklim investasi.
Berdasarkan laporan tersebut, sekitar 70% dari 2.995 perusahaan Indonesia yang disurvei menyatakan tidak mengajukan restitusi PPN karena prosedurnya yang terlalu memberatkan. Persentase tersebut berbeda jauh dengan situasi di Vietnam (17%), Kamboja (24%), maupun Filipina (56%).
Singkatnya, aspek PPN yang justru menjadi ‘momok’ bagi aktivitas ekonomi bukanlah soal tarif PPN, tetapi ketidakpastian dan ketepatan waktu soal restitusi.
Kedua, adanya komitmen untuk mengalokasikan penerimaan PPN untuk pelayanan publik yang berorientasi bagi kesejahteraan sosial (earmarking). Dalam konteks tingginya informalitas serta belum optimalnya pemungutan PPh, pajak atas konsumsi -termasuk PPN- kerap menjadi andalan sebagai instrumen yang disematkan suatu earmarking (Bird dan Brendon, 2006).
Sebagai contoh, Chile dan Iran mengalokasikan secara disiplin 1% dari penerimaan PPN untuk pelayanan publik. Di Ghana, 2,5% dari tarif 17,5% PPN dialokasikan untuk membiayai National Health Insurance System (Cashin et al, 2017). Italia mengalokasikan 38,5% dari penerimaan PPN bagi anggaran perimbangan keuangan ke daerah yang memiliki kendala untuk menyediakan jaminan sosial kesehatan bagi penduduk.
Studi kasus Denmark yang pada dekade 1980-an juga memperlihatkan upaya menciptakan kesinambungan pendanaan layanan publiknya melalui PPN. Pasalnya, selain relatif mudah dikelola dan bertumbuh seiring aktivitas perekonomian, PPN tidak memberikan dampak distorsi yang besar bagi daya saing (Lykketoft, 2009). Pada tahun 1987, Denmark melakukan penyesuaian tarif PPN guna mendanai pelayanan publiknya.
Ketiga, memperbarui kontrak fiskal. Sudah saatnya narasi pemerintah atas penyediaan barang atau layanan publik kepada masyarakat selalu dikaitkan dengan kontribusi masyarakat melalui uang pajak. Selain untuk menghindari anggapan asosiatif antara belanja dengan pejabat publik atau institusi tertentu, keterkaitan yang jelas antara pembayaran pajak dengan ketersediaan layanan publik tertentu akan meningkatkan tax morale. Tax morale inilah yang akan menjadi modal bagi kepatuhan pajak secara sukarela (OECD, 2019).
Oleh karena itu, kenaikan tarif PPN 12% harus diimbangi dengan suatu komitmen narasi publik yang mengedepankan kontrak fiskal. Kontribusi masyarakat melalui pajak pada hakikatnya menekankan bahwa masyarakat merupakan para pemegang saham republik ini yang punya hak untuk tahu bagaimana mereka akan dipajaki, uang pajak digunakan untuk apa, dan didengarkan suaranya. Akhirnya sampai pada suatu narasi di mana publik dapat berseru lantang, ‘Gunakan Uang Pajak Kita dengan Bijak'.