Tubagus Mansyur Amin,
PEMERINTAH telah menargetkan penurunan biaya logistik nasional yang kini 23,5% dari produk domestik bruto (PDB) menjadi 17% pada 2024. Namun, realisasinya bukan soal mudah. Dalam satu dekade terakhir, biaya logistik hanya bisa ditekan 0,5%, dari 24% (2011) menjadi 23,5% (2021).
Maka, target menurunkan biaya logistik hingga 6% dalam 3-4 tahun tentu perlu upaya maksimal yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Salah satu sektor yang perlu diperhatikan dalam upaya menekan biaya logistik adalah angkutan darat tidak termasuk kereta api.
Mengapa demikian? Menurut Kementerian Perhubungan, angkutan barang/logistik nasional masih didominasi moda transportasi darat/jalan raya dengan kontribusi 90,6% (2020). Selain itu, kontribusi seluruh sektor transportasi barang/logistik terhadap PDB pada 2019 sebesar Rp740 triliun.
Adapun, kontributor utamanya tentu saja dari moda transportasi darat Rp380,8 triliun atau 51,43%. Karena itu, dukungan kebijakan yang tepat pada sektor angkutan barang melalui darat sangat urgen dalam rangka mengefisiensikan biaya logistik yang tinggi.
Pada matra jalan raya, moda angkutan barang yang paling mendominasi adalah truk dalam berbagai ukuran. Menurut data Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), saat ini terdapat sekitar 6 juta-an truk yang beroperasi di Indonesia.
Merujuk pada data tingginya ketergantungan pada angkutan barang yang besar pada moda transportasi jalan raya, permintaan jasa angkutan truk sebenarnya cukup tinggi. Hal ini tergambar dari banyaknya truk yang beroperasi secara ‘odol’ atau over dimension-overload.
Lantas, mengapa investasi ke sektor ini tidak mengalami peningkatan drastis? Mengapa banyak truk tua yang masih beroperasi? Apakah dengan fakta kondisi angkutan barang yang paling dominan masih seperti ini target efisiensi biaya logistik nasional bisa terwujud?
Tantangan Angkutan Truk
UNTUK menjawab pertanyaan itu, perlu dipahami beberapa problem yang dihadapi pelaku usaha. Jenis kendaraan ini memiliki tren kenaikan harga hingga 10% per tahun. Bisa dikatakan dalam 10 tahun, harga truk naik 2 kali lipat. Karena itu biaya pengadaan barang ini tergolong mahal.
Meski berstatus barang modal, biaya investasi truk tergolong tinggi karena tenor kreditnya pendek 4-5 tahun, bunga kredit 10%-12%, dengan setoran uang muka 30%. Itulah sebabnya pelaku usaha lebih memilih melakukan peremajaan kendaraan lama dibandingkan dengan membeli mobil baru.
Ini belum menghitung sisi perpajakan, bea masuk, bea balik nama hingga pajak pertambahan nilai yang harus dibayar di muka. Alhasil, 30%-40% pendapatan harus dialokasikan untuk pembayaran cicilan per bulan. Margin keuntungan pun menipis.
Dengan biaya investasi yang besar dan harga kendaraan baru yang terus naik, biaya penyewaan truk terhitung statis. Hal ini disebabkan biaya sewa dihitung berbasiskan harga BBM, terutama jenis solar yang terhitung stabil.
Itu pula yang menyebabkan infrastruktur jalan raya yang membaik tidak berpengaruh besar pada perubahan biaya logistik. Jalan tol misalnya, dengan biaya sewa tetap, bea tol justru meningkatkan ongkos operasional.
Di sisi lain, biaya kredit yang besar berpengaruh pada kas perusahaan. Inilah beberapa hal yang membatasi investasi atau penambahan truk baru. Selain itu, kebijakan zero odol juga mengurangi daya angkut. Maka, jika permintaan stabil bisa dipastikan harus ada penambahan armada.
Namun, dengan kondisi seperti itu, pelaku usaha akan memilih melakukan rekayasa spek teknis dengan segala risiko ketimbang melakukan pengadaan kendaraan baru. Salah satu solusi kondisi ini adalah kebijakan pemerintah yang mendukung kelangsungan usaha transportasi logistik.
Stimulus Pajak
BAGAIMANAPUN aktivitas ekonomi bertumpu pada mobilitas. Pada titik inilah angkutan logistik memiliki peran penting. Kendaraan angkutan logistik seperti truk adalah barang modal. Artinya, kredit yang diajukan bersifat produktif dan menghasilkan sesuatu yang bernilai tambah.
Karena itu, dukungan kebijakan fiskal pada sektor ini dibutuhkan. Ruang yang paling dibutuhkan adalah stimulus fiskal. Stimulus ini dapat diberikan kepada ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) yang mendatangkan kendaraan maupun kepada pelaku usaha yang mengoperasikan kendaraan.
Stimulus ini bisa dalam bentuk membuka ruang bagi ATPM untuk memasarkan truk dengan harga lebih terjangkau, seperti diskon PPnBM. Bisa juga dengan stimulus yang memungkinkan ATPM dan diler menurunkan suku bunga kredit dan memperpanjang tenor kredit menjadi 8-10 tahun.
Faktanya, usia truk rata-rata di Indonesia di atas 15 tahun sehingga perpanjangan tenor kredit layak dipertimbangkan. Salah satu kebijakan yang bisa dipertimbangkan adalah menurunkan bea masuk impor kendaraan jenis truk.
Stimulus pada perusahaan transportasi logistik dapat berupa penyesuaian tarif bea balik nama, pajak penghasilan (PPh) dan bea lain. Dalam konteks kendaraan pribadi, pajak penjualan barang mewah (PPnBM) bertujuan meningkatkan konsumsi.
Dalam konteks kendaraan logistik, ada nilai tambah lain yaitu mendukung aktivitas ekonomi secara langsung. Hal lainnya, salah satu ruang yang layak dipertimbangkan adalah memberlakukan tarif bea balik nama kendaraan bermotor 0,5% untuk kendaraan bermotor angkutan umum.
Bisa juga dengan menyesuaikan penghitungan dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) atas kendaraan bermotor angkutan umum untuk barang.
Beberapa usulan yang bisa dipertimbangkan antara lain menerapkan tarif pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) bagi angkutan barang di darat 50% lebih rendah dari kendaraan pribadi, lalu tarif PKB 0,5% untuk angkutan barang pelat hitam yang dimiliki/disewa pengusaha logistik.
Stimulus itu sangat membantu kinerja sektor transportasi logistik. Masih bergantungnya negeri ini pada transportasi darat, realisasi pengurangan biaya logistik sangat bergantung pada efisiensi dan kinerja angkutan logistik truk. Untuk itulah kebijakan seperti stimulus pajak sangat dibutuhkan.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.