OPINI PAJAK

Perlunya Kesetaran Perlakuan Pajak Digital

Redaksi DDTCNews
Selasa, 18 Agustus 2020 | 11.17 WIB
ddtc-loaderPerlunya Kesetaran Perlakuan Pajak Digital

Muhith A. S. Harahap,

pegawai Ditjen Pajak

MARET sampai dengan pertengahan Agustus tahun ini, hampir seluruh daerah di Indonesia, khususnya Pulau Jawa menerapkan kebijakan work from home (WFH). Aparatur sipil negara maupun karyawan swasta bekerja dari rumah setiap hari.

Imbas langsung kebijakan ini adalah penggunaan Internet menjadi naik signifikan. Bersamaan dengan itu, belanja daring juga meningkat signifikan. Lalu bagaimana dengan kenaikan pajak transaksi ekonomi digital di masa pandemi?

Layanan periklanan global Criteo menyebutkan sekitar setengah dari semua negara di dunia mengalami peningkatan pada penjualan daring karena pergeseran perilaku pembeli. Saat pandemi, warga di seluruh dunia cenderung mengubah cara belanja konvensial dengan belanja daring.

McKinsey pernah memprediksi total belanja daring masyarakat Indonesia akan menjadi sekitar US$55 miliar-US$65 miliar pada 2020. Andai prediksi ini tidak meleset, maka dengan kurs 14.000 per dolar, maka pada 2020 transaksi daring di Indonesia bisa mencapai Rp900 triliun.

Sepinya pemberitaan soal meningkatnya setoran pajak karena meningkatnya transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) ini dapat dipahami karena beleid perlakuan perpajakan atas transaksi PMSE urung diatur pemerintah.

Meski UU Nomor 2 Tahun 2020 mengatur perlakuan perpajakan dalam PMSE, tetapi isu yang diatur hanya parsial, yaitu pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dan/atau jasa kena pajak dari luar daerah pabean dan PMSE yang dilakukan subjek pajak luar negeri.

Dengan kata lain, UU  Nomor 2 Tahun 2020 ini hanya fokus menyasar penyelenggara PMSE luar negeri yang sedang viral dan belum memberikan kontribusi perpajakannya seperti Netflix, Spotify dan lain sebagainya.

Upaya merespons perkembangan terkini, yaitu meningkatnya transaksi PMSE selama pandemi dan perkiraan pandemi sampai akhir 2020, harus dilakukan. Perlakuan pajak terhadap Netflix, Spotify dan lainnya sudah dilakukan melalui UU Nomor 2 Tahun 2020. Hal ini patut diapresiasi.

Kesetaraan Perlakuan
AGAR terwujud kesetaraan perlakuan perpajakan baik antara pelaku usaha konvensional dan pelaku usaha ekonomi digital serta antara pelaku usaha ekonomi digital dalam dan luar negeri, pemerintah perlu membuat aturan perlakuan perpajakan atas transaksi PMSE oleh entitas dalam negeri.

Potensi perpajakan pelaku usaha digital dalam negeri seperti Shopee, Tokopedia sangat prospektif. Dibanding pelaku usaha digital luar negeri seperti Netflix dan Spotify, Shopee dan Tokopedia tentu lebih banyak diakses. Sampai kuartal III/2019 saja, Shopee mendapat 1,5 juta pesanan setiap hari.

Badan Pusat Statistik mencatat industri ekonomi digital dalam 10 terakhir meningkat hingga 17% dengan jumlah pelaku usahanya mencapai 26,2 juta unit. Pada 2018, ekonomi digital mengalami pertumbuhan sangat pesat dan diperkirakan akan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya.

Sebagai negara modern dan untuk menunjukkan kesetaraan perlakuan perpajakan (level playing field) dalam dan luar negeri, sudah seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai perlakuan perpajakan atas transaksi PMSE oleh entitas dalam negeri.

Meski akan menjadi polemik, perlakuan perpajakan atas transaksi PMSE dalam negeri harus segera diatur. Karena perlakuan yang sama kepada konvensial dan PMSE, dalam dan luar negeri tentu membuat pelaku usaha menyadari peraturan ini hadir untuk memberi keadilan bagi setiap pihak.

Terpenting, saat ini penerimaan perpajakan sangat diandalkan para pemangku kepentingan. Selain kontribusi penerimaan perpajakan yang mencapai 80% dari total APBN, pajak adalah adalah satu-satunya sumber penerimaan yang termaktub di dalam konstitusi.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.