OPINI PAJAK

Quo Vadis Stimulus UMKM Indonesia

Redaksi DDTCNews
Selasa, 04 Agustus 2020 | 09.19 WIB
ddtc-loaderQuo Vadis Stimulus UMKM Indonesia

Rizmy Otlani Novastria,

pegawai Ditjen Pajak

UJIAN berat pandemi Covid-19 sudah dimulai. Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama era normal baru diperkirakan merosot dari 2,97% menjadi sekitar -2,3%. Sekitar 43% Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terancam bangkrut pada kuartal II/2020.

Survei Asosiasi Layanan Pengembangan Usaha Indonesia menyebut lebih dari 36,7% UMKM mencetak pendapatan nihil selama 4 bulan terakhir. UMKM berkontribusi terhadap 61,07% produk domestik bruto. UMKM juga menyediakan 99% lapangan pekerjaan dan menyerap 97% tenaga kerja.

Karena itu, hantaman terhadap sektor ini tentu menyebabkan perlambatan ekonomi. Peningkatan jumlah pengangguran akibat terhentinya aktivitas UMKM telah menimbulkan gangguan pada sisi permintaan. Untuk itu, pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/2020.

Peraturan ini memperpanjang periode insentif pajak hingga Desember 2020 dan memperluas industri penerimanya. Proses birokrasi juga disederhanakan. UMKM tidak lagi diwajibkan mengurus Surat Keterangan PP 23 untuk dapat menikmati insentif.

Melalui insentif pajak penghasilan final ditanggung pemerintah, UMKM dikenakan tarif 0%. Selain itu, jika melakukan transaksi dengan pemotong pajak, UMKM tidak dipotong pajak. Sayangnya, hingga akhir kuartal II, baru 192.000 UMKM dari 64 juta UMKM yang memanfaatkan insentif tersebut.

Salah satu alasan di balik rendahnya minat insentif ini adalah administrasi yang dipersyaratkan. Surat Keterangan PP 23 dan Laporan Realisasi Insentif per bulan menjadi hambatan utama. IMF (2020) merekomendasikan insentif pajak harus dapat diterapkan otomatis tanpa syarat administrasi.

Meskipun PMK-86/2020 telah menghilangkan syarat berupa Surat Keterangan, pelaporan realisasi per bulan secara digital masih dianggap sebagai beban karena tidak setiap pelaku UMKM memiliki literasi digital yang memadai.

Perpanjangan periode insentif pajak bukan satu-satunya faktor. Jika mekanisme pasar masih lamban, pelaku bisnis tidak akan pernah melewati break even point. Meski pemerintah tidak memberikan insentif pajak, tidak akan ada pajak yang dibayarkan jika tidak ada aktivitas bisnis yang dilakukan.

Lembaga ekonomi Centre of Reform on Economics (CORE) mengklaim ada tambahan 5,1 juta orang miskin pada paruh 2020 akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penurunan pendapatan. Bahkan, tingkat pengangguran Indonesia telah mencapai lebih dari 6 juta.

Dengan potensi permintaan yang lemah, kegiatan bisnis akan terhenti. Tingkat pengangguran akan meningkat akibat PHK dan berdampak pada demand-shock. Akhirnya, dengan atau tanpa insentif pajak, jika permintaan agregat masih rendah, fase pascakrisis akan lebih sulit dipulihkan.

Pemerintah sebenarnya telah memberikan stimulus Rp123,46 triliun untuk pelaku UMKM. Stimulus ini berupa insentif pajak dan pelonggaran kredit seperti keringanan subsidi bunga, penempatan dana untuk restrukturisasi kredit, stimulus stop-loss, dan pembiayaan investasi.

Namun, penyerapan paket insentif pajak dinilai masih sangat rendah dengan penyerapan 10,14% anggaran. Selanjutnya, stimulus pembiayaan dan subsidi bunga juga baru dimanfaatkan oleh 5,94 juta unit dan 60,66 juta rekening masing-masing.

Sementara itu, pada masa krisis, ekspansi untuk UKM juga akan sulit. Tanpa adanya permintaan, peningkatan produksi hanya akan menciptakan kelebihan pasokan idle. Pemberian kredit berlebih pada saat krisis justru akan memperburuk situasi.

Likuiditas bank akan rentan jika UMKM mengalami kredit macet. Karena itu, jika pemerintah semata-mata mengandalkan relaksasi kredit dan insentif pajak, pertumbuhan yang berkelanjutan bagi UMKM tidak mampu terwujud. Perlu upaya integratif lain untuk mendukung UMKM dari sisi permintaan.

Retensi Pegawai
REALOKASI anggaran untuk membiayai retensi pegawai bisa diaplikasikan di Indonesia. Eropa bisa menghindari PHK untuk 40 juta karyawan. Jerman mencegah PHK 10 juta tenaga kerja. Inggris membayar 80% dari gaji lebih dari 9,3 juta pekerja di Inggris agar mereka tidak diberhentikan.

Jika skema retensi dapat diterapkan di Indonesia, pengangguran akan menurun. Skema ini membantu meningkatkan permintaan dan mendorong bisnis UMKM. Berkombinasi dengan kebijakan relaksasi kredit yang tepat dan skema insentif pajak yang sederhana, UMKM akan tumbuh bertahap.

Perpanjangan bantuan langsung tunai (BLT) bagi kelas menengah ke bawah akan mendongkrak demand. Kelompok ini punya marginal propensity to consume lebih tinggi dari orang kaya. Pemberian uang tunai di kelas ini akan langsung meningkatkan konsumsi dan memutar roda UMKM.

Untuk memberikan skema BLT yang tepat sasaran, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dapat memperbarui Sistem Perencanaan, Penganggaran, Analisis, dan Evaluasi Kemiskinan Terpadu (SEPAKAT). Pemerintah juga seharusnya tidak menunda pengeluaran anggaran.

Untuk semester I/2020, tercatat 85 lembaga rata-rata menyerap 39,19% anggaran, jauh di bawah target. Padahal, dalam setiap krisis, pihak yang paling memiliki daya beli adalah pemerintah. Jika pemerintah dapat maksimal membantu sisi permintaan, perlambatan ekonomi dapat ditekan.

Akhirnya, dana stimulus UMKM sejumlah Rp123,46 Triliun bukanlah kesia-siaan bila sisi demand diperkuat. Pelonggaran kredit, insentif pajak yang sederhana, dan penguatan daya beli masyarakat akan menjadi kunci bagi UMKM dalam menghadapi next normal.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.