MEMBAYAR pajak bukan sekadar urusan wajib pajak. Pemerintah juga punya andil untuk mendorong kepatuhan wajib pajak. Bicara soal kepatuhan, ada kaitannya dengan cara pemerintah mengelola dan memberikan layanan yang efektif kepada masyarakat.
Jika ingin rakyatnya patuh pajak, negara tentu harus juga patuh dalam mengelola anggaran. Pengelolaan anggaran negara harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Dengan demikian, rakyat bakal patuh menjalankan kewajiban pajaknya.
Kepercayaan publik meningkat ketika dua hal itu, yakni transparansi anggaran dan layanan yang efektif, berjalan seimbang.
Dalam praktik di lapangan, sistem pajak global telah mengenal kepatuhan kooperatif atau cooperative compliance (Darussalam, 2018). Paradigma ini mengenalkan sebuah pendekatan bahwa kepatuhan dibangun atas pemahaman satu sama lain berdasarkan kebutuhan dan aspirasi baik dari otoritas pajak maupun WP.
Kepatuhan kooperatif ini dilakukan secara sukarela berdasarkan saling percaya dan terbuka antara otoritas pajak dan WP.
Roscoe Pound, seorang ahli hukum, sempat bilang bahwa hukum adalah alat untuk membentuk/merekayasa masyarakat agar sesuai dengan tujuan sosial (law as a tool of social engineering). Intinya, hukum adalah alat untuk mengubah perilaku masyarakat.
Pajak, sebagi bagian dari sistem hukum di Indonesia, punya peran tersebut, yakni untuk turut membentuk masyarakat. Pada haikatnya, pajak diterapkan untuk mencapai tujuan konstitusi, yaitu melindungi seluruh rakyat Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, serta meningkatkan kualitas hidup rakyat.
Peranan pajak ini bisa dilihat dari postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam dokumen Rancangan APBN 2026 yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada parlemen, penerimaan negara tahun depan ditargetkan senilai Rp3.147,7 triliun. Pastinya, sebagian besar diperoleh dari penerimaan pajak (Rp2.357,68 triliun).
Dengan demikian, program-program pemerintah dan pembangunan banyak dibiayai melalui uang pajak. Pembangunan sekolah, rumah sakit, penyaluran subsidi energi, hingga pengembangan koperasi desa didanai oleh pajak.
Hasil dari kepatuhan pajak yang dijalankan oleh rakyat memungkinkan negara membelanjakan Rp335 triliun untuk program makan sehat gratis, Rp46,9 triliun untuk subsidi pupuk, Rp757,8 triliun untuk pendidikan, hingga Rp244 triliun untuk program kesehatan.
Semua program itu bisa terhambat jika tidak ada pajak yang terkumpul secara optimal. Pada akhirnya, masyarakat juga akan merasakan dampaknya.
Kepatuhan pajak, bagaimanapun, tidak dapat berdiri sendiri. Penegakan hukum yang tegas diperlukan. Dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), pemerintah dapat mengambil tindakan terhadap pengemplang, mulai dari sanksi administrasi hingga pidana.
Penegakan hukum menjadi langkah penting untuk menghindari risiko moral. Alasannya, apabila seseorang yang tidak taat dibiarkan, orang yang taat akan merasa dikhianati.
Kita membayangkan seperti lalu lintas. Pengendara lain pasti akan meniru tindakan pengendara pertama yang menerobos lampu merah atau melawan arah tanpa ditilang. Jalan raya akan menjadi rusak jika itu dibiarkan. Demikian pula dengan perpajakan: pelanggaran teratur dan terus menerus, dapat merusak sistem yang lebih besar.
Kepatuhan bukan hanya kewajiban rakyat semata. Pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, harus menjaga integritas. APBN tentu akan selalu menekankan kualitas belanja negara: setiap rupiah harus memberi manfaat nyata, bukan hilang karena kebocoran.
Korupsi atau salah alokasi bukan sekadar pelanggaran etika, tapi juga bentuk pengkhianatan terhadap hukum dan kontrak sosial antara rakyat dan negara. DPR/DPRD dan pemerintah pusat/daerah termasuk pemerintahan desa bertanggung jawab bersama dalam penyusun anggaran belanja yang efektif dan efisien.
Dengan demikian, penegakan hukum dalam penganggaran dimulai dari sejak penyusunan anggaran, pengawasan internal hingga eksternal, termasuk kepatuhan pajak bukan hanya soal menindak wajib pajak nakal, tapi juga memastikan uang masuk ke kas negara dan daerah juga optimal.
Ketika warga membayar pajak dengan benar, mereka menanam investasi sosial. Pajak yang dikumpulkan kembali digunakan untuk membangun jalan raya yang mulus, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai, subsidi energi dan pupuk, dan berbagai manfaat lainnya.
Ketika pemerintah mematuhi pengelolaan, rakyat semakin yakin bahwa mereka akan memenuhi kewajiban perpajakannya. Begitu juga, ketika hukum ditegakkan dengan cara yang adil, tidak ada lagi tempat untuk pelanggaran hukum. Dengan kata lain, kepatuhan pajak adalah komponen penting dari ketaatan hukum. Pajak adalah ikatan sosial yang kuat, bukan hanya beban.
Ikatan sosial itu perlu dipererat dengan pemenuhan hak-hak subjek pajak. Hak-hak subjek pajak yang dirumuskan dalam konstitusi bertujuan untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap bekerjanya sistem pajak suatu negara.
Dengan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban subjek pajak dapat menciptakan kepatuhan sukarela yang didasari pada kepercayaan dan hubungan yang lebih setara antara otoritas pajak dan subjek pajak (Sharma, Dhanuka, Mainkar; 2021).
Selain itu, moral pajak menjadi kunci untuk hadirnya kepatuhan pajak secara sukarela (Torgler dan Schneider, 2005). Moral pajak akan menjamin kontribusi masyarakat melalui sistem pajak dengan atau tanpa adanya pendekatan yang bersifat memaksa, kadang bahkan di tengah kekosongan hukum pajak. Dari sisi pemerintah, moral pajak menjadi modal penting untuk memupuk kepatuhan pajak.
Pajak adalah cermin siapa kita. Apakah kita bangsa yang taat hukum, peduli pada sesama, dan rela bergotong royong? Atau kita bangsa yang selalu mencari celah untuk menghindar?
Kepatuhan pajak adalah pilihan untuk memperkuat negara, sementara penegakan hukum adalah pagar agar semua berjalan adil. Jika dua hal ini berjalan seiring, maka Indonesia bukan hanya bisa membangun jalan dan sekolah, tetapi juga membangun kepercayaan dan keberlanjutan sebagai fondasi terkuat bagi masa depan. (sap)