OPINI PAJAK

Reformasi Institusi Mestinya Mendahului Reformasi Perpajakan

Redaksi DDTCNews
Kamis, 23 Oktober 2025 | 14.00 WIB
Reformasi Institusi Mestinya Mendahului Reformasi Perpajakan
Aldiles V. Septian,
Pemerhati Kebijakan Perpajakan

BEBERAPA waktu lalu kita menyaksikan salah satu demonstrasi terbesar sejak transisi reformasi. Yang menarik, salah satu tuntutannya berkaitan dengan pajak.

Dari situ dapat kita baca bahwa pajak makin menarik atensi masyarakat. Ketika pajak menyentuh lebih banyak lapisan masyarakat, tuntutan mereka terhadap kinerja pemerintah juga ikut membesar. Wajar saja, para pembayar pajak ini tidak rela jika kontribusinya ke negara sia-sia.

Partisipasi masyarakat terhadap pengawasan jalannya pemerintahan juga makin besar sehingga pemerintah seharusnya lebih akuntabel untuk mengantisipasi gelombang protes, yang apabila tidak di-manage dengan baik dapat menggerus popularitas dan elektabilitas.

Tuntutan masyarakat mengenai pajak tentu bukan sekali ini terjadi. Protes biasanya muncul atas reaksi rencana pemerintah untuk menerapkan kebijakan perpajakan tertentu, yang diterbitkan sebagai ikhtiar jalan keluar atas rendahnya rasio pajak di negara kita.

Dalam 10 tahun terakhir, rasio pajak Indonesia berkutat di angka 9%-10%. Dengan rasio pajak sebesar 10,08% pada 2024, berarti hanya 10,08% pajak yang mampu dipungut dari total penghasilan orang Indonesia (PDB). Angka ini bahkan lebih rendah dari beberapa negara tetangga seperti Filipina dan Kamboja.

Rendahnya rasio pajak tersebut kemudian memunculkan berbagai wacana mengenai penggalian potensi, implementasi sistem teknologi yang baru, sampai reformasi institusi untuk menaikkan penerimaan negara. Opsi tersebut mendesak dijalankan karena kebutuhan belanja negara terus membengkak.

Secara politik anggaran, usaha menaikkan rasio pajak sejalan dengan kepentingan pemerintah yang ingin mengambil peran lebih dalam perekonomian, yang dapat di-proxy dengan meningkatnya jumlah belanja pemerintah dalam APBN (big government). Terlebih dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, terdapat program-program dengan kebutuhan biaya yang jumbo seperti makan bergizi gratis, ketahanan pangan, hingga penguatan persenjataan militer.

Kementerian Keuangan, sebagai pemangku fiskal, tentu melakukan berbagai cara untuk mencari uang untuk membiayai program pemerintah tersebut, dengan meningkatkan penerimaan negara, baik pajak, PNBP, maupun utang.

Ketika utang dikunci tidak lebih dari 3% dari PDB, langkah paling logis untuk mengamankan kas negara adalah dengan menaikkan penerimaan, khususnya pajak. Namun demikian, hubungan rasio pajak dan kepatuhan ini seperti vicious cycle.

Rasio pajak tinggi memerlukan kepatuhan dari pembayar pajak. Untuk menegakkan kepatuhan inipun, pemerintah memerlukan resources dan kapasitas institusi yang dibiayai dari uang pajak.

Berangkat dari kejadian demonstrasi kemarin, maka big government, pajak, dan akuntabilitas saling terkait. Big government memerlukan pajak, sedangkan pajak memerlukan kontribusi dan partisipasi dari masyarakat. Sementara itu, masyarakat tentu akan menuntut timbal-balik kepada pemerintah atas kontribusinya kepada negara.

Untuk mencapai big government yang efektif diperlukan kualitas dan kapasitas institusi pemerintahan yang memadai, sebagai fondasi good governance. Tata kelola memerlukan akuntabilitas, yang lagi-lagi untuk mencapainya memerlukan partisipasi warga negara.

Mendiskusikan partisipasi dan pajak, tentu tidak bisa dilepaskan dari perbincangan sosial-politik, yang mengingatkan kita atas jargon klasik pajak di era revolusi Amerika, “No taxation without representation”. Kondisinya inilah yang sebaiknya menjadi fondasi untuk melakukan reformasi pajak, atau untuk memutus vicious cycle di atas.

Belajar dari Negara dengan Rasio Pajak Tinggi

Ada pelajaran menarik dari negara-negara dengan rasio pajak tinggi. Mereka biasanya memiliki kualitas institusi yang efektif dan handal. Swedia misalnya, rasio pajak pada 2023 mencapai 41,4%, sekitar 4 kali lipat Indonesia. Atau Denmark, yang mencapai 43,4%.

Denmark dan Swedia dikenal sebagai negara paling bersih, tercatat peringkat 1 dan 8 dalam indeks persepsi korupsi tahun 2024. Sebagai perbandingan, Indonesia berada di peringkat 99.

Ukuran akuntabilitas dalam world governance indicators, persentil skor Indonesia sebesar 52,45, jauh dibawah Swedia (97,06) dan Denmark (98,53). Atau, dalam indikator rule of law, lagi-lagi Denmark (99,5) dan Swedia (93,4) jauh di atas Indonesia (46,7).

Artinya, mereka dapat mengonversi pajak menjadi institusi pemerintahan yang berkualitas, yang pada gilirannya menumbuhkan trust, variabel penting dalam kepatuhan sukarela.

Pembangunan institusi di kedua negara tersebut mendahului reformasi pajak. Di Swedia, reformasi birokrasi yang mengedepankan merit sistem sudah dimulai sejak abad ke-19, setelah pemberikan kewenangan yang lebih besar (otonomi) kepada kota.

Pengenaan pajak penghasilan modern sendiri baru dimulai pada 1902, setelah negara memiliki institusi dan birokrasi yang memadai. Setelah Perang Dunia II, arah kebijakan Swedia mulai mengarah ke welfare state, yang memerlukan banyak pendanaan karena membutuhkan peningkatan peran pemerintah di banyak bidang.

Swedia kemudian menaikkan pajak, puncaknya pada akhir 1970-an, ketika rasio pajak Swedia mencapai 50%. Kurang dari 3 dekade, rasio pajak Swedia naik 2 kali lipat, dari sekitar 20% setelah Perang Dunia II.

Lain halnya dengan Indonesia. Pengenalan birokrasi modern sebenarnya sudah dimulai sejak periode kolonial Belanda, dengan pembentukan lembaga-lembaga negara/pemerintahan dan pengangkatan ambtenaar.

Namun, pemerintahan pada zaman itu bersifat ekstraktif dan minim keterbukaan. Demikian halnya pada masa Orde Baru, ketika kita mencapai stabilitas politik dan keamanan. Kondisi yang sebenarnya dapat digunakan untuk membangun institusi, tetapi justru terjadi kooptasi birokrasi untuk kepentingan politik.

Sampai sekarang kita masih tertatih-tatih membangun institusi (termasuk hukum dan penegakannya) yang kredibel yang mampu menjamin hak dasar kepemilikan (property rights).

Dari pengalaman negara-negara tersebut, setidaknya bisa kita tarik pelajaran bahwa reformasi institusi (menyeluruh) sebaiknya mendahului reformasi pajak, sehingga tidak kontraproduktif. Saat kondisi institusi lemah, penambahan jenis pajak baru dan kenaikan tarif tidak serta-merta menjamin naiknya penerimaan.

Dengan kata lain, kondisi kinerja perpajakan dapat dikorelasikan dengan kualitas institusional tertentu, terutama dalam kemampuannya menumbuhkan trust dari pembayar pajak (masyarakat).

Ketika masyarakat percaya uang pajak yang mereka bayarkan akan kembali kepada mereka, maka akan tercapai voluntary compliance, model kepatuhan berbiaya rendah dan dipercaya lebih efektif dari model represif dengan mengandalkan pengawasan dan penegakan hukum. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.