KEBIJAKAN tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ternyata mengandung potensi penerimaan perpajakan yang signifikan. Hal ini memperlihatkan bahwa tarif dagang bukan sekadar strategi perdagangan internasional semata, melainkan juga bagian dari manifestasi ideologi politik kebijakan fiskal.
Pengenaan tarif tinggi oleh AS menjadi krusial karena penerimaan pajak yang dipungut dari produk negara mitra dagang cukup andal untuk menutup lubang penerimaan akibat kebijakan pemotongan pajak (tax cut) di negara itu.
Selain kebijakan tarif yang menyedot perhatian global, secara domestik Trump juga mengusulkan paket pemangkasan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan hingga US$3,4 triliun (The New York Times, 2025).
Rezim ini sejalan dengan tradisi dan ideologi kebijakan pajak konservatif Partai Republik yang lebih cenderung mendukung kebijakan pajak rendah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pemotongan pajak Republiken bukan saja mengurangi beban pajak golongan kaya, tetapi juga, sebagai konsekuensi logis, membonsai program jaminan sosial yang lazim dinikmati kalangan lebih rentan.
Di era administrasi keduanya, Trump makin intens menjalankan disiplin konservatif dan sekarang makin percaya diri lantaran ditopang penerimaan dari tarif dagang. Kebijakan tarif Trump –jika tetap bertahan– bisa mendatangkan penerimaan hingga US$ 2 triliun dalam satu dekade mendatang, suatu jumlah signifikan untuk mengompensasi triliunan dolar yang menguap akibat paket kebijakan pemotongan pajak.
Dengan demikian, kebijakan tarif Trump bukan saja untuk memenangkan perang dagang (atau seperti digadang-gadang: menambal defisit neraca perdagangan AS ), tetapi pada akhirnya juga bersenyawa dengan kepentingan penerimaan nasional.
Sekali mendayung, tarif ekstensif mampu menutup dua defisit perdagangan dan defisit anggaran sekaligus. Ini menjadi suatu fenomena fungsi regulern perpajakan mengejawantah bersamaan dengan manfaat budgetair-nya.
Masalahnya, pengenaan tarif tinggi juga membonceng dampak regresif pada struktur perpajakan yang semakin menguntungkan golongan kaya dan memperbesar celah ketimpangan.
Secara sistemik, tarif tinggi atas barang-barang impor meningkatkan harga barang yang dikonsumsi rumah tangga, menambah beban konsumsi lantaran harga yang meninggi dengan kandungan pajak impor. Pada gilirannya, kelas menengah dan orang miskin menanggung beban pajak proporsional yang lebih besar dibanding golongan kaya.
Mengingat konsumen barang-barang impor juga meliputi korporasi produsen, kenaikan harga bisa menekan produksi dan performa ekonomi secara makro. Akibatnya, kebijakan tarif malah mengurangi jumlah agregat pendapatan (profits) dan perolehan (earnings) yang selama ini sudah menjadi target pemajakan tradisional.
Maka gejala yang tampak adalah keberpalingan dari pemajakan penghasilan (income) –yang merupakan jenis pajak subjektif– ke arah pemajakan atas benda (goods) alias pajak objektif dan tidak langsung (indirect tax).
Walaupun pajak atas penghasilan kelas pekerja (payroll taxes) masih menjadi sumber penting penerimaan pemerintah, nyatanya pajak atas barang lebih mudah dimobilisasi dan minim resistensi rakyat pembayar pajak (taxpayers) yang sekaligus merupakan pemilik suara (voters).
Menjadi lebih problematik mengingat penerimaan manis dari tarif dagang memiliki efek samping membuat kecanduan (addictive). Bisa jadi impak durian runtuh (windfall effect) penerimaan ini tidak diniatkan dari awal, atau mungkin hanya ditimang sebagai produk sampingan (by-product), tetapi besarnya potensi penerimaan, yang sekarang mulai megucur, membuatnya sulit untuk diremehkan.
Apalagi di tengah tumpukan hutang dan defisit yang semakin melebar, ketagihan akan pajak objektif yang bersifat tidak langsung bisa semakin mengeras (osifikasi) dan sulit direhabilitasi. Bahkan Partai Demokrat (jika suatu saat nanti gantian berkuasa) dengan ideologinya yang progresif dan redistributif sekalipun, pun akan kesulitan menolak ‘candu’ penerimaan tarif yang menggiurkan ini.
Perjuangan redistribusi pendapatan (yaitu pajak tinggi atas golongan kaya demi menolong rakyat golongan bawah) mungkin akan digelorakan, tetapi menggeser kembali sasaran pemajakan ke pajak subjektif –yang langsung atas penghasilan– akan sangat bersiko secara politik sehingga politisi cenderung ogah mengusungnya.
Dalam jangka pendek dan menengah, struktur fiskal AS cenderung menuju ke arah pola yang serupa dengan struktur pajak Indonesia yang juga berdaya redistributif lemah. Sekalipun berasaskan keadilan sosial bagi seluruh rakayat, Indonesia cenderung memiliki rezim perpajakan konservatif ditandai dengan rasio pajak rendah dan kecenderungan mengenyampingkan keadilan perpajakan demi mengejar pertumbuhan.
Salah satu kelemahan mendasar rezim pajak Indonesia adalah terletak pada daya ungkitnya yang minim terhadap penurunan ketimpangan. Misalnya, World Bank (2015) menemukan bahwa dampak kebijakan pajak Indonesia terhadap penurunan ketimpangan sangat kecil –hanya 2,5 poin.
Sebagian besar penerimaan bersandar pada pemungutan pajak tidak langsung, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), cukai, dan bea, yang secara proporsional lebih banyak ditanggung golongan rakyat kurang mampu sehingga relatif netral terhadap pemerataan.
Bersandar pada pajak konsumsi yang regresif berarti kalangan kaya menanggung pajak yang relatif lebih ringan dibanding golongan menengah dan miskin sehingga semakin melebarkan ketidakadilan sosial.
Maka seturut negosiasi tarif ekstensif Trump dan Presiden Prabowo Subianto lantas timbul tanya, bagaimana dampak kebijakan tarif Trump terhadap rezim perpajakan domestik Indonesia?
Kemungkinan pertama, kesepakatan tarif itu bisa menghasilkan gelombang resonansi yang sama di kedua sisi sehingga di pihak Indonesia pun semakin mengamplifikasi sistem pajak regresif.
Atau sebaliknya, kebijakan tarif Trump justru membuat sistem pajak Indonesia menjadi lebih progresif dan redistributif ke arah keadilan sosial. Yang kedua ini mungkin saja terjadi sebagai dampak tidak disengaja (unintended consequences) dari tarif 0% importasi produk AS yang membuat konsumen (dan produsen) tidak perlu membayar harga lebih tinggi.
Namun, seperti terjadi di AS, geliat perpajakan domestik sangat bergantung pada ideologi kebijakan fiskal pemerintah yang tengah berkuasa.
Sayangnya, partai politik di Indonesia tidak memiliki disiplin ideologi yang tegas yang bisa menuntun visi dan prediksi, selain pragmatisme dan orientasi perjuangan kepentingan sendiri (self-interest) elite dan oligarki. (sap)