OPINI PAJAK

Potensi-Potensi Sengketa Pajak setelah Berlakunya PMK 74/2024

Redaksi DDTCNews
Senin, 24 Maret 2025 | 11.07 WIB
ddtc-loaderPotensi-Potensi Sengketa Pajak setelah Berlakunya PMK 74/2024

I Wayan Agus Eka,

Praktisi Perpajakan

PEMBENTUKAN atau pemupukan dana cadangan pada prinsipnya tidak dapat dibebankan secara fiskal karena perpajakan menganut prinsip realisasi. Namun demikian, khusus untuk usaha tertentu (misalnya perbankan), pembentukan cadangan piutang tak tertagih diperkenankan secara fiskal.

Pengecualian ini sudah muncul dan diatur pada pasal 9 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) jo. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1983 (PP 36/1983).

Adapun ketentuan teknis atas pembentukan cadangan piutang tak tertagih diatur pertama kali pada KMK-959/KMK.04/1983 yang kemudian terakhir diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74 Tahun 2024 (PMK 74/2024).

Sebagaimana diketahui, industri perbankan merupakan salah satu industri yang memiliki regulasi yang sangat ketat. Hal ini juga berlaku dalam penghitungan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang harus memenuhi ketentuan dari regulator perbankan (misalnya OJK), ketentuan standar akuntansi, serta ketentuan fiskal.

Cukup kompleksnya perhitungan CKPN ditambah dengan perbedaan dalam perlakuan secara fiskal dan komersial mengakibatkan seringnya muncul sengketa pajak.

Sejak diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), gap antara ketentuan komersial dengan ketentuan pajak telah disempitkan dengan ketentuan bahwa pencadangan piutang tak tertagih secara fiskal pada prinsipnya dihitung berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dengan batasan tertentu.

Ketentuan tersebut kemudian diatur lebih lanjut pada PMK 74/2024 yang diundangkan pada 10 Oktober 2024 dan mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2024. Dengan penggunaan standar akuntansi keuangan pada penghitungan pencadangan piutang tak tertagih secara fiskal, diharapkan sengketa pajak yang selama ini muncul dapat diminimalkan sehingga kepastian hukum dapat tercapai.

Beberapa ketentuan dalam PMK 74/2024 memuat norma-norma hukum berupa penegasan yang sebelumnya sering menjadi objek sengketa. Pertama, terkait dengan jenis agunan dan nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang. Lampiran PMK 74/2024 memuat dengan jelas jenis-jenis agunan yang termasuk dalam kategori agunan likuid dan agunan lainnya, hal ini berbeda dengan peraturan sebelumnya (PMK 81/2009) yang tidak memiliki pengaturan lebih lanjut mengenai jenis agunan likuid dan agunan lainnya.

Kedua, PMK 74/2024 juga menghapus frasa 'paling tinggi' terkait dengan nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang yang sebelumnya terdapat pada PMK 81/2009. Keberadaan frasa 'paling tinggi' pada PMK 81/2009 selama ini telah menjadi salah satu sumber sengketa karena menimbulkan ketidakpastian mengenai berapa sebenarnya nilai agunan yang diperbolehkan secara fiskal menjadi faktor pengurang baki kredit.

Dengan dihapuskannya frasa 'paling tinggi' maka jumlah pengurang nilai tercatat piutang menjadi pasti, yaitu sebesar 100% dari nilai agunan bersifat likuid dan 75% dari nilai agunan lainnya.

Ketiga, PMK 74/2024 juga memberikan penegasan mengenai hubungan antara proses pembentukan cadangan dengan peristiwa penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih. Beberapa sengketa pajak seringkali mempermasalahkan mengenai koreksi fiskal terhadap penghapusan kredit yang tidak memenuhi ketentuan pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh.

Berlakunya PMK 74/2024 memberikan penegasan penting mengenai 3 hal.

Pertama, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai tercatat cadangan awal tahun pajak apabila telah memenuhi persyaratan pembebanan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 7 PMK 74/2024).

Kedua, apabila piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai pengurang secara fiskal maka piutang tersebut tidak dapat dibentuk kembali pencadangannya dalam penghitungan nilai tercatat cadangan akhir tahun pajak (Pasal 8 ayat (4) PMK 74/2024).

Penegasan kedua menjadi cukup penting karena seringkali terdapat argumentasi bahwa koreksi fiskal atas penghapusan kredit yang tidak memenuhi persyaratan penghapusan akan diikuti dengan pembentukan kembali cadangan atas kredit yang sudah dihapuskan tersebut.

Ketiga, PMK 74/2024 memberikan penegasan mengenai format daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang diperhitungkan sebagai pengurang nilai tercatat cadangan pada awal tahun pajak.

Potensi Sengketa Masih Ada

Meskipun PMK 74/2024 telah memberikan beberapa penegasan mengenai beberapa titik yang sering menjadi sengketa, potensi timbulnya sengketa pajak terkait perhitungan cadangan penghapusan piutang tak tertagih masih tetap terbuka pada masa datang.

Pasal 9 ayat (1) huruf c angka 1 UU PPh menyatakan bahwa penghitungan cadangan piutang tak tertagih didasarkan pada standar akuntansi keuangan yang berlaku dengan batasan tertentu. Pengaturan batasan tertentu menjadi cukup penting karena terdapat perubahan model pengukuran penurunan nilai pada standar akuntansi keuangan tentang instrumen keuangan (PSAK 109) menjadi expected loss dari sebelumnya incurred loss.

Perubahan model tersebut memungkinkan perbankan dapat membentuk cadangan yang cukup besar hanya didasarkan pada ekspektasi penurunan nilai kredit di masa datang. Konsep batasan tertentu dalam hal ini memberikan batasan jumlah cadangan yang bisa dibentuk secara fiskal sehingga jumlah pembentukan cadangan yang dikurangkan secara fiskal masih dapat dijaga.

Lampiran A PMK 74/2024 kemudian memberikan detail mengenai jumlah batasan tertentu penghitungan nilai tercatat cadangan akhir berdasarkan jenis wajib pajak serta kelompok kualitas piutangnya.

Dari ketentuan mengenai batasan tertentu tersebut terdapat beberapa potensi terjadinya sengketa pada masa datang. Pertama, PMK 74/2024 tidak mengatur mengenai definisi kelompok kualitas piutang berdasarkan staging maupun definisi kelompok kualitas piutang berdasarkan kolektibilitas. Konsekuensinya, penentuan kelompok piutang tunduk pada ketentuan di luar perpajakan (ketentuan standar akuntansi keuangan maupun regulator).

Munculnya sengketa dalam penentuan kelompok kualitas piutang seringkali terjadi karena standar yang digunakan bersifat kualitatif sehingga sangat bergantung pada subjektivitas. Apabila subjektivitas antara wajib pajak dan fiskus berbeda maka inilah yang kemudian akan menjadi awal munculnya sengketa.

Kedua, PMK-74/2024 tidak mengatur secara jelas mengenai level penerapan batasan tertentu apakah dilakukan pada level individu untuk setiap baki kredit, level kelompok kualitas piutang, atau pada level agregat.

Memang pada contoh perhitungan di lampiran PMK 74/2024, level penerapan batasan tertentu dilakukan pada level kelompok kualitas piutang. Namun, hal ini tetap dapat menimbulkan perbedaan tafsir karena tidak tercantum secara tertulis pada batang tubuhnya.

Terlebih, sejak 1 Januari 2025, sesuai dengan Surat Edaran (SE) OJK Nomor 21/SEOJK.03/2024, bank perekonomian rakyat (BPR) akan menggunakan SAK untuk entitas privat yang pembentukan CKPN-nya hanya mengenal secara individual dan kolektif yang berbeda dengan jenis kolektibilitas yang diatur pada penerapan batasan tertentu untuk BPR pada lampiran A PMK 74/2024.

Ketiga, Pasal 9 PMK 74/2024 menegaskan bahwa penerimaan kembali selama tahun pajak berjalan atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih merupakan penghasilan pada tahun pajak berjalan.

Ketentuan ini tidak membedakan apakah piutang yang diterima kembali tersebut memenuhi ketentuan fiskal mengenai penghapusan piutang tak tertagih ketika peristiwa penghapusan terjadi di tahun pajak terdahulu.

Ilustrasinya sebagai berikut. Pada tahun pajak terdahulu terdapat penghapusan piutang tak tertagih yang tidak diperlakukan sebagai pengurang dari nilai tercatat cadangan awal tahun pajak, kemudian piutang tersebut pada tahun berjalan ternyata diterima kembali. Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 PMK 74/2024, piutang yang diterima kembali tersebut tetap dikenakan pajak pada tahun berjalan.

Kondisi tersebut tentunya berpotensi menimbulkan sengketa karena terindikasi terjadi 2 kali pemajakan, yakni ketika piutang tersebut tidak menjadi pengurang nilai tercatat cadangan awal tahun pajak dan ketika piutang tersebut diterima kembali karena dianggap sebagai penghasilan. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.