Pertanyaan:
PERUSAHAAN saya bergerak di bidang otomotif yang merupakan anak perusahaan otomotif ternama di Jerman. Kondisi saat ini kami sedang mengalami pemeriksaan. Pemeriksa melakukan koreksi positif atas biaya royalti dikarenakan biaya yang dibayarkan kepada induk perusahaan dianggap tidak memenuhi prinsip kewajaran. Sebelumnya perusahaan saya belum pernah membuat Transfer Pricing Documentation untuk transaksi royalti ini, oleh karena itu saya kurang paham terkait hal ini. Dengan demikian, apa sajakah yang perlu diperhatikan untuk pengujian kewajaran dari transaksi tersebut?
Prasetyo, Surabaya.
Jawaban:
TERIMA kasih atas pertanyaannya Bapak Prasetyo. Terkait dengan pengujian kewajaran atas transaksi royalti sebagaimana tertera Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-50/PJ/2013 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang mempunyai Hubungan Istimewa terdapat langkah-langkah pengujian terkait transaksi harta tak berwujud antara lain sebagai berikut:
Mengacu kepada langkah-langkah di atas, maka langkah pertama yang dilakukan adalah memahami tipe dan karakteristik aset tidak berwujud yang ditransaksikan di perusahaan Bapak. Â Namun melihat dari pertanyaan bapak yang tidak merinci terkait jenis aset tidak berwujud yang ditransaksikan dengan pihak induk perusahaan, maka saya akan menjelaskannya secara umum.
Sebagaimana yang tertera dalam Paragraf 6.3 dan 6.4 OECD Transfer Pricing Guidelines 2010, aset tidak berwujud dapat dibedakan menjadi aset tidak berwujud perdagangan (trade intangible) contohnya berupa know how, desain, dan lainnya; dan aset tidak berwujud pemasaran (marketing intangible) contohnya berupa trademarks, tradenames, jaringan distribusi dan lainnya. Lebih lanjut, salah satu contoh dokumentasi pada langkah pertama ini adalah melampirkan susunan paten yang terdaftar di negara pemilik aset tidak berwujud tersebut.
Selanjutnya langkah kedua yang perlu ditekankan adalah dalam konteks transfer pricing, setiap pihak harus mendapat kompensasi yang wajar sesuai dengan kontribusi yang mereka berikan. Isu ini berlaku untuk semua kategori aset tidak berwujud, tanpa terkecuali.
Kepemilikan legal tidak semata-mata menentukan tingkat pengembalian dari eksploitasi atas aset tidak berwujud. Sementara itu, konsep kepemilikan secara ekonomis mengakui pemilik dari suatu aset tidak berwujud sebagai pihak yang telah menanggung sebagian besar biaya-biaya dan risiko terkait dengan pengembangan dan/atau pemeliharaan nilai daripada aset tidak berwujud tersebut.
Kemudian jika mengacu pada perkembangan terkini, OECD telah menerbitkan Final Report BEPS Action 8 pada bulan October 2015 yang merupakan revisi dari Bab VI OECD Transfer Pricing Guidelines 2010, d imana di dalam BEPS tersebut memberikan panduan tambahan terkait aset tidak berwujud yaitu salah satunya, remunerasi yang sesuai akan diberikan kepada Associated Enterprise yang melakukan fungsi value driving yang signifikan terkait dengan pengembangan, peningkatan, pemeliharaan, perlindungan dan eksploitasi (Development, Enhancement, Maintenance, Protection, and Exploitation (DEMPE)) atas aset tidak berwujud.
Sebagai contoh beberapa dokumentasi untuk langkah kedua ini adalah melampirkan data terkait biaya yang dikeluarkan untuk aktivitas research and development oleh pemilik DEMPE dan data pendukung yang menjelaskan terkait gambaran atas fungsi research and development yang dilakukan.
Selanjutnya pada langkah ketiga, pengujian kewajaran untuk pemanfaatan atau pengalihan aset tidak berwujud harus mempertimbangkan perspektif pihak yang menyerahkan (transferor) dan pihak yang menerima (transferee) aset tidak berwujud.
Transferor harus memastikan akan memperoleh manfaat yang lebih besar dari penyerahan/pemanfaatan aset tidak berwujud dibandingkan biaya yang telah dikeluarkan. Sedangkan dari sisi transferee aset tidak berwujud, akan melihat apakah akan diperoleh manfaat yang lebih besar apabila menggunakan/memperoleh aset tidak berwujud dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan.
Salah satu contoh dokumentasi yang dapat dilampirkan adalah berupa benefit test, di mana di dalamnya tercantum informasi terkait manfaat yang didapatkan dari sisi transferee. Seperti dengan adanya aset tidak berwujud ini transferee menerima transfer hak, sebagai contoh untuk memproduksi dan menjual produk.
Dengan demikian, transferee tidak perlu mengembangkan sendiri dan pada akhirnya dengan menerima transfer hak tersebut dari transferor, transferee dapat meningkatkan penjualan produk.
Kemudian yang terakhir adalah melakukan analisis benchmarking untuk mendapatkan tingkat royalti yang wajar. Metode yang umumnya digunakan dalam pengujian ini adalah metode CUP/CUT, dimana dapat digunakan beberapa software antara lain, ktMINE, RoyaltySource atau RoyaltyStat untuk memperoleh transaksi independen yang dapat dijadikan pedoman. Hasil dari analisis benchmarking tersebut akan dipergunakan sebagai tolak ukur kewajaran transaksi pemanfaatan aset tidak berwujud yang ada di perusahaan Bapak.
Demikian jawaban kami. Semoga dapat membantu Bapak untuk lebih memahami langkah-langkah pengujian kewajaran dalam transaksi aset tidak berwujud dan kasus pemeriksaan yang sedang dihadapi. (Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.