ANALISIS

Pandemi COVID-19 dan Transfer Pricing

Redaksi DDTCNews
Kamis, 09 April 2020 | 13.09 WIB
ddtc-loaderPandemi COVID-19 dan Transfer Pricing
DDTC Consulting

TAHUN 2020 ini, dunia diguncang dengan menyebarnya virus COVID-19. Pandemi virus yang terjadi merubah tatanan hidup dunia, setidaknya dari sisi sosial dan ekonomi. Prediksi-prediksi resesi mulai bermunculan seiring dengan pelemahan ekonomi akibat penyebaran virus yang memaksa sebagian besar populasi dirumahkan.

Satu yang pasti, banyak bisnis mengalami kerugian bahkan sampai gulung tikar, atau setidaknya mengalami penurunan keuntungan (Brewer, 2020). Dampak ekonomi dari bencana ini kemungkinan akan menghantui hingga beberapa tahun mendatang. Lalu, bagaimana dampak merebaknya COVID-19 terhadap berbagai isu dalam analisis transfer pricing?

Ketersediaan Pembanding

Pada saat suatu perusahaan mengalami kerugian, isu yang paling utama adalah apakah perusahaan yang mengalami kerugian dapat digunakan sebagai pembanding. OECD Transfer Pricing Guidelines (OECD TP Guidelines) maupun United Nation Transfer Pricing Manual (UN TP Manual) sebenarnya memperbolehkan digunakannya perusahaan pembanding yang mengalami kerugian, bahkan apabila perusahaan dalam keadaan rugi ditolak sebagai pembanding maka dapat mendistorsi realita ekonomi.

Namun, pada praktiknya seringkali otoritas pajak menolak perusahaan yang mengalami kerugian sebagai pembanding berdasarkan prinsip going concern. Dalam masa bisnis mengalami kerugian menjadi suatu ‘norma’, dipilihnya perusahaan rugi sebagai pembanding merupakan pilihan yang tepat (Wright, 2002).

Selain itu, lokasi suatu perusahaan pembanding dapat menjadi faktor yang memengaruhi kesebandingan secara signifikan (Anderson dan Heath, 2002). Hal ini dikarenakan tingkat penyebaran virus, kebijakan pemerintah, dan dampak ekonomi di tiap-tiap negara akan berbeda. Faktor kondisi ekonomi ini perlu menjadi perhatian khusus, apalagi mempertimbangkan faktor ini cukup sulit untuk dikuantifikasi dampaknya terhadap kesebandingan.

Tahun Pengujian

Ketentuan transfer pricing Indonesia mensyaratkan pengujian ex-ante, tetapi dalam praktiknya, perusahaan maupun otoritas pajak juga akan melakukan pengujian ex-post. Pada umumnya, terdapat time lag antara waktu pengujian ex-post (batas penyusunan transfer pricing documentation) dan waktu data keuangan pembanding pada tahun yang diuji tersedia di database (Horrocks, 2009).

Isu tentu akan muncul, misalnya, apabila performa bisnis suatu perusahaan yang terkena dampak ekonomi dari pandemi pada tahun 2020, dibandingkan dengan performa perusahaan pembanding pada tahun 2019 atau sebelumnya. Pengujian multiple year juga dapat digunakan untuk menghilangkan dampak dari guncangan ekonomi dalam jangka pendek (Anderson dan Heath, 2002).

Advance Pricing Agreement (APA)

Kondisi ekonomi merupakan salah satu asumsi kritis yang mempengaruhi penentuan harga suatu transaksi afiliasi. Perlambatan ekonomi akibat pandemik COVID-19 dapat menyebabkan suatu perusahaan tidak dapat mencapai level keuntungan yang disepakati dalam APA.

Perusahaan dapat meminta melakukan renegosiasi ketentuan dalam APA untuk mengakomodir dampak perubahan pada ekonomi terhadap penentuan harga yang wajar pada transaksi afiliasi (Verdoner, 2009). Renegosiasi ketentuan dalam APA ini diakomodir melalui proses peninjauan kembali APA berdasarkan Pasal 19 PMK-22/2020. Bagi wajib pajak yang masih dalam tahap permohonan atau negosiasi, perubahan kondisi ekonomi akibat penyebaran virus dalam jangka pendek dan panjang layak dipertimbangkan dalam mencapai kesepakatan APA.

Restrukturisasi

Apabila kerugian terus menerus terjadi, grup multinasional mungkin terpaksa melakukan restrukturisasi untuk mengurangi biaya. Sebagai contoh, suatu grup dapat memutuskan untuk menutup operasinya di salah satu negara. Apabila demikian, kompensasi yang wajar atas laba potensial di masa mendatang harus diberikan untuk perusahaan yang ditutup (Andersen, 2011).

Atau sebaliknya, perusahaan yang ditunjuk untuk mengambil alih perusahaan yang mengalami kerugian justru merupakan pihak yang perlu diberikan kompensasi. Siapa yang bertanggung jawab untuk menanggung biaya-biaya tersebut perlu dianalisis sesuai dengan arm’s length principle.

Bisnis Risiko Rendah

Terdapat pemahaman umum, bahwa perusahaan dengan risiko rendah, seperti toll atau contract manufacturer tidak boleh menderita kerugian. Perusahaan-perusahaan dengan jenis fungsi ini biasanya dikompensasi secara cost-plus. Namun, pada kondisi abnormal seperti saat ini, pemahaman tersebut layaknya perlu diteliti kembali dengan melihat alokasi berbagai jenis risiko.

Perusahaan-perusahaan independen sejenis pun menanggung risiko kerugian karena tidak tertutupnya biaya-biaya tetap pada keadaan ekonomi yang melemah (Mori, Nobuo, Nihan Mert-Beydilli, dan Graham Poole , 2009). Dalam kondisi banyak negara menerapkan lockdown, pengadaan bahan baku dan bahan pembantu untuk produksi bisa terhambat.  Hal ini dapat menyebabkan produksi di negara lain terhenti. Siapa yang harus menanggung beban tetap (fixed cost) perusahaan saat produksi terhenti juga perlu dianalis sesuai dengan arm’s length principle.

Pinjaman

Pada masa resesi, perusahaan biasanya dapat melakukan pembebasan pembayaran bunga atau utang kepada pihak afiliasinya. Pembebasan bunga atau utang ini berpotensi tinggi menjadi isu pada pemeriksaan. Sanity check dapat dilakukan dengan meneliti rasio keuangan perusahaan kreditur maupun debitur untuk mendukung keputusan pembebasan tersebut (Boone, Patrick, Jan Devos, dan Isabel Verlinden , 2002).

Selain itu, beberapa negara telah menurunkan suku bunga untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Kebijakan penurunan suku bunga ini perlu menjadi perhatian untuk memastikan tingkat bunga pinjaman pihak afiliasi masih pada tingkat yang wajar. Hal ini mengingat otoritas pajak dapat menggunakan transaksi pinjaman independen yang telah mengalami penurunan suku bunga tersebut sebagai pembanding.

Jasa

Penyebaran COVID-19 yang dapat terjadi melalui kontak manusia memaksa negara-negara menutup wilayahnya dan membatasi pergerakan di dalamnya. Pembatasan aktivitas ini dapat mengurangi aktivitas jasa sehingga berpotensi mempersulit perusahaan untuk membuktikan eksistensi dan manfaat jasa.

Lalu, terdapat pertanyaan apakah biaya restrukturisasi atau biaya lainnya yang dikeluarkan oleh pemberi jasa dapat dibebankan kepada penerima jasa. Selain itu, banyak jasa tersentralisasi yang mengalokasikan biayanya berdasarkan profitabilitas penerima jasa. Bagaimana alokasi beban jasa apabila kebanyakan penerima jasa mengalami kerugian? Apakah wajar apabila jasa hanya dibebankan kepada entitas yang untung?

Royalti

Suatu grup dapat mengeluarkan kebijakan untuk membebaskan pembayaran royalti di masa resesi untuk menekan kerugian anak perusahaannya. Praktik ini perlu dilakukan dengan hati-hati dengan memperhatikan kewajarannya pada pihak independen. Selain itu, penurunan penjualan bisa saja dijadikan argumen oleh otoritas pajak bahwa royalti tidak memberikan manfaat bagi penerima lisensi.

Dalam keadaan tak menentu ini, pelaku bisnis harus mulai melakukan identifikasi risiko-risiko transfer pricing dan menyusun langkah mitigasinya. Transfer Pricing Documentation layaknya diperkuat dengan data/dokumen yang mendukung perubahan kondisi bisnis perusahaan diakibatkan keadaan ekonomi dan bukan karena transfer pricing. Normalisasi laporan keuangan perlu dilakukan dengan didukung data-data kuantitatif yang dapat diverifikasi oleh otoritas pajak.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.