PEMBICARAAN soal fiskal pada hari-hari di seputaran kemerdekaan Indonesia biasanya terpusat pada rancangan APBN tahun mendatang. Akan tetapi, tahun ini sedikit berbeda.
Ada isu lain yang menyita perhatian. Yaitu, demonstrasi akibat tingginya kenaikan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) 2025 di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Protes serupa menjalar ke daerah lain yang kabarnya juga menaikkan beban PBB-P2, seperti Kota Cirebon, Kota Pekalongan, Kabupaten Jombang, dan Kabupaten Bone.
Melalui artikel ini, penulis akan mengulas tantangan implementasi PBB-P2 dalam bingkai desentralisasi fiskal di Indonesia. Kasus yang terjadi di Kabupaten Pati sesungguhnya turut dapat memberikan cuplikan penting mengenai seluk beluk perumusan kebijakan PBB-P2 di Tanah Air.
Isu PBB-P2 sejatinya sulit dilepaskan dari agenda optimalisasi pajak daerah. Dalam konteks desentralisasi fiskal di Indonesia, terdapat skema revenue assignment di mana tiap daerah diberikan kewenangan untuk memungut beberapa jenis pajak yang umumnya bersifat lokal, immobile, dan sebagainya (Boadway dan Shah, 2012).
Tujuannya jelas, yakni agar masing-masing daerah dapat membiayai pembangunan di daerahnya. Kalaupun belum, pemerintah pusat dapat memberikan transfer ke daerah (TKD) ataupun program-program belanja pusat yang dialokasikan melalui K/L.
Singkatnya, pemerintah daerah diharapkan mandiri secara fiskal dan akan mengurangi ketergantungan dana dari pemerintah pusat. Logika ini seharusnya tidak dibolak-balik.
Kemampuan membiayai pembangunan yang ditopang secara dominan dari pendapatan asli daerah (PAD) masih jadi pekerjaan rumah yang tak kunjung usai. Bahkan setelah lebih dari 2 dasawarsa penerapan desentralisasi fiskal di Indonesia (Darussalam, Septriadi, dan Kristiaji, 2022).
Berdasarkan peta kapasitas fiskal daerah yang tertera dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 65 Tahun 2024 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah (PMK 65/2024), dari 508 kabupaten/kota di Indonesia, sebanyak 58 di antaranya memiliki kapasitas fiskal sangat rendah dan 152 kapasitas rendah. Artinya, sebanyak 41,3% dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia kemandirian fiskalnya masih belum optimal.
Belum optimalnya pemungutan pajak daerah di Indonesia juga dapat dilihat dari kinerja local tax ratio yang dihitung dari total penerimaan pajak dan retribusi daerah terhadap PDRB. Pada 2020, 2022, dan 2024, local tax ratio secara nasional ialah sebesar 1,21%, 1,26%, dan 1,41%.
Lantas, bagaimana dengan Kabupaten Pati? Berdasarkan data yang dihitung dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan, tax ratio Kabupaten Pati hanya sebesar 0,28% (2020), 0,33% (2022), dan 0,73% (2024). Pati juga dikategorikan sebagai salah satu kabupaten dengan kapasitas fiskal yang rendah per 2024.
Bagi pemerintah daerah, agenda optimalisasi penerimaan pajak daerah tentu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dicarikan solusinya. Berbagai tantangan seperti halnya partisipasi dan kepatuhan wajib pajak daerah yang rendah, ketersediaan basis pajak yang terbatas, hingga administrasi dan kelembagaan pajak daerah yang belum sepenuhnya mumpuni menyebabkan lemahnya tax effort pemerintah daerah di Indonesia (Kristiaji, Vissaro, dan Ayumi, 2021).
Kendati demikian, perilaku mayoritas pemerintah daerah tentu ‘tergoda’ untuk mengotak-atik jenis pajak yang jadi kontributor utama di daerahnya. Hal ini tentu masuk akal. Pasalnya, pembenahan tersebut akan berdaya ungkit lebih tinggi bagi kinerja penerimaan pajak daerah secara umum.
Pada tingkat provinsi, ‘mesin uang’ merujuk pada pajak kendaraan bermotor (PKB). Sedangkan, di tingkat kabupaten/kota umumnya melihat pada PBB P2.
Sebagai ilustrasi, selama periode 2020-2023, rata-rata kontribusi PBB-P2 terhadap total penerimaan pajak kabupaten/kota di seluruh Indonesia ialah sebesar 12,6%.
Kontribusi PBB-P2 di Kabupaten Pati bahkan jauh lebih dominan. Selama rata-rata periode 2020-2023, peranannya mencapai 20,37%.
Sampai di sini kita mesti mafhum. Rangkaian polemik PBB-P2 di Kabupaten Pati dan beberapa kabupaten/kota lainnya tidak dapat dipisahkan dari upaya memenuhi ketersediaan dana pembangunan yang dihadapi oleh pemerintah daerah.
Suatu hal yang sesungguhnya on track dengan agenda Indonesia Emas serta mendukung target local tax ratio sebesar 2,9% dalam kerangka pembangunan jangka menengah.
Pertanyaan berikutnya, lantas mengapa agenda optimalisasi PBB-P2 bisa berujung pada kenaikan beban yang kabarnya tidak masuk akal?
Untuk mendalami permasalahan tersebut, kita tentu pertama-tama perlu memahami bahwa walaupun daerah diberikan kewenangan untuk memungut beberapa jenis pajak, sifatnya bukanlah tidak terbatas. Kerangka aturan pemungutan pajak daerah diatur melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Salah satu pilar UU HKPD ialah peningkatan local taxing power. Pilar ini bukan semata-mata mengatur soal subjek, objek, atau tarif pajak daerah semata. Namun, membahas pula tentang tata cara kepatuhan, prosedur pemungutan pajak daerah, hingga menjamin perumusan target yang ‘mendekati’ potensinya. Dengan demikian, UU HKPD cukup banyak memberikan solusi-solusi atas permasalahan pada rezim pajak daerah sebelumnya.
Khusus untuk kebijakan PBB-P2, UU HKPD merevisi ketentuan soal tarif (Pasal 41) dan dasar pengenaan pajaknya (Pasal 40). Tarif batas atas PBB-P2 dikenakan sebesar 0,3% menjadi sebesar 0,5%, atau meningkat. Sebagai tambahan, UU HKPD kini mewajibkan pengenaan tarif PBB-P2 yang lebih rendah bagi lahan produksi pangan dan ternak.
Selain itu, dasar pengenaan pajak PBB-P2 yang merujuk pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) –berdasarkan proses penilaian terhadap harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar– dimodifikasi. Jika sebelumnya, penghitungan nilai PBB-P2 merujuk pada total (100%) NJOP, melalui UU HKPD, pemerintah daerah diberikan kebebasan untuk menggunakan rentang nilai 20% hingga 100% NJOP.
Perubahan kedua pasal tersebut seyogianya dapat diinterpretasikan bahwa pemerintah pusat mendorong adanya optimalisasi secara terkendali. Adanya kenaikan tarif maksimal diimbangi dengan relaksasi penggunaan NJOP.
Amanat dari UU HKPD tersebut sesungguhnya bukan tidak dipahami Kabupaten Pati. Untuk lebih jelasnya mari kita bandingkan dua peraturan daerah Kabupaten Pati mengenai PBB-P2 sebelum (Perda Kab. Pati No. 2 Tahun 2013 s.t.d.d. Perda Kab. Pati No. 11 Tahun 2016) dan sesudah UU HKPD (Perda Kab. Pati No. 1 Tahun 2024).
Dari kedua dasar hukum tersebut, dapat ditemukan bahwa tarif PBB-P2 Kabupaten Pati tidak mengalami perubahan. Tetap sebesar 0,1% untuk NJOP hingga Rp1 miliar dan 0,2% untuk NJOP di atas Rp1 miliar. Tambahannya, di peraturan baru lahan produksi pangan dan ternak tarifnya sebesar 0,09%.
Untuk nilai DPP PBB-P2, Kabupaten Pati kini juga mengikuti UU HKPD yaitu memperkenalkan skema rentang NJOP sebesar 20% hingga 100%. Singkatnya, dari pengaturan soal tarif dan DPP, tidak ada bukti bahwa Kabupaten Pati melanggar kerangka hukum pusat soal pajak daerah.
Beban PBB-P2 yang melonjak di Kabupaten Pati, dan kemungkinan juga terjadi di daerah lain, agaknya lebih dipicu karena pemuktahiran NJOP. Sebagai informasi, NJOP merupakan penilaian berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Oleh karena itu, setiap daerah setidaknya dapat menetapkan NJOP setidaknya 3 tahun sekali.
Jika tidak, akan terjadi persoalan valuation ratio yang rendah (World Bank, 2020). Besaran NJOP yang kian jauh dari nilai transaksi yang terjadi di pasar akan mengakibatkan optimalisasi PBB-P2 menjadi terkendala.
Nah, di titik inilah permasalahannya bermuara. Di Indonesia, gap tersebut bukanlah pepesan kosong. Sejak 2021, realisasi penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) lebih besar dari realisasi penerimaan PBB-P2. Hal ini mengindikasikan nilai transaksi di pasar yang lebih tinggi dari NJOP.
Agenda pembaruan NJOP pascaberlakunya UU HKPD pun marak dilakukan. Penetapan pemuktahiran besaran NJOP beserta persentase NJOP yang dipergunakan sebagai penghitungan PBB-P2 yang terutang, didelegasikan melalui peraturan kepala daerah (perkada). Berbeda dengan peraturan daerah (perda), perkada tidak memiliki mekanisme persetujuan atau penolakan oleh pemerintah pusat (Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan) berdasarkan proses evaluasi.
Kendati demikian, penilaian NJOP dan PBB-P2 oleh tiap daerah bukan tanpa suatu koridor hukum. Peraturan Menteri Keuangan No. 85 Tahun 2024 (PMK 85/2024) telah memberikan suatu pedoman sebagai panduan pemerintah dalam menetapkan perkada mengenai tata cara penilaian PBB-P2.
Tujuannya agar proses penilaian NJOP dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, standardisasi kompetensi penilai PBB-P2 di daerah, serta skema untuk menghindari kenaikan nilai PBB-P2 yang terlalu drastis.
Tidak pernah ada pilihan yang mudah dalam kebijakan pajak daerah. Namun, bukan berarti tidak dapat diupayakan. Belajar dari kasus yang terjadi di Kabupaten Pati, setidaknya terdapat beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan.
Pertama, optimalisasi pemungutan PBB-P2 secara smooth. Satu hal yang pasti, langkah pemuktahiran NJOP ialah sesuatu yang sudah tepat dan tidak sia-sia. Namun demikian, pemerintah kabupaten/kota sebaiknya menetapkan kenaikan nilai PBB-P2 secara gradual.
Caranya dengan mengoptimalkan klausul besaran persentase NJOP dalam penghitungan DPP PBB-P2 berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian sesuai Pasal 15 ayat (2) PMK 85/2024.
Pemerintah daerah juga harus menyadari bahwa lemahnya penerimaan PBB-P2 bisa jadi turut diakibatkan oleh coverage ratio yang rendah (belum seluruh properti terdaftar sebagai objek PBB-P2), serta compliance ratio yang rendah (kepatuhan wajib pajak daerah masih belum optimal).
Untuk meningkatkan coverage ratio, penggunaan teknologi informasi geospasial (Hartikayanti, et al, 2023) serta pembenahan proses bisnis pendataan yang terintegrasi dengan OSS ataupun SIMBG dapat jadi solusi. Sedangkan, untuk mengatasi compliance ratio yang rendah, dibutuhkan agenda penegakan hukum (pemeriksaan, penagihan, dan sebagainya) dan kesiapan administrasi otoritas pajak daerah yang selaras dengan koridor Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PP 35/2023).
Kedua, sebagai pajak yang berbasis official assessment system, beban PBB-P2 tercantum secara resmi dalam surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT) PBB-P2. Sesungguhnya, wajib pajak dapat mengajukan keberatan atas SPPT tersebut dengan memberikan jumlah pajak terutang menurut perhitungan wajib pajak dan disertai alasan yang jelas.
Nah, permasalahannya ialah wajib pajak harus terlebih dahulu melunasi nilai pajak terutang yang tercantum dalam SPPT setidaknya sebesar sejumlah yang telah disetujui wajib pajak. Lalu, dalam hal keberatan wajib pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, wajib pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% dari jumlah berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum pengajuan keberatan.
Secara tidak langsung, klausul tersebut –mereplikasi prosedur pengajuan keberatan pajak di tingkat pusat– menciptakan scare tactics (Septriadi, 2016).
Seandainya klausul tersebut dapat diubah, ada kemungkinan keberatan wajib pajak atas nilai PBB-P2 yang terutang dapat diselesaikan secara prosedur resmi atau dialog.
Ketiga, UU HKPD sebagaimana diturunkan dalam PP 35/2023 telah memberikan ruang pemberian berbagai fasilitas pajak daerah. Dalam kaitannya dengan PBB-P2, fasilitas tersebut setidaknya terdiri atas: (i) keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok pajak dan/atau sanksinya berdasarkan kondisi kemampuan membayar wajib pajak, tingkat likuiditas wajib pajak, properti yang ditempati oleh golongan tertentu, serta properti sampai batasan nilai tertentu (ii) fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran pajak dalam hal wajib pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar.
Berbagai fasilitas tersebut dapat ditetapkan secara jabatan maupun melalui permohonan dan diatur lebih lanjut berdasarkan perkada. Dengan kata lain, domain pemberian fasilitas tersebut hingga tata cara pengajuannya berada di tangan kepala pemerintah daerah (gubernur, walikota, dan bupati). Tantangannya ialah mendorong fasilitas berbasis permohonan tersebut diimplementasikan secara mudah untuk PBB-P2.
Keempat, pemerintah daerah pada dasarnya dapat memanfaatkan mekanisme timbal-balik untuk menjamin produk hukum yang disusunnya telah tepat, tidak dibatalkan, serta sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 80 Tahun 2015 (Permendagri 80/2015) s.t.d.d. Peraturan Menteri No. 120 Tahun 2018 (Permendagri 120/2018), mekanisme tersebut berupa: konsultasi, fasilitasi, serta evaluasi.
Untuk pemerintah kabupaten/kota ketiga mekanisme tersebut dilakukan dengan pemerintah provinsi, sedangkan pemerintah provinsi dilakukan dengan pemerintah pusat.
Dengan kata lain, pemerintah kabupaten/kota, provinsi, dan pusat seharusnya berhak/wajib untuk meminta/memberikan masukan, pedoman dan petunjuk teknis, arahan, bimbingan teknis, monitoring, penilaian, dan sebagainya atas rancangan produk hukum pajak daerah.
Pertanyaannya, sudahkah pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat menjalankan mekanisme tersebut dengan baik dalam kasus kenaikan PBB-P2 di Kabupaten Pati? Yang jelas, mulai kini setiap pemerintah kabupaten/kota wajib melaporkan dan mengkoordinasikan kenaikan NJOP ke pusat –khususnya Kemendagri dan Kementerian Keuangan– untuk dapat diberikan review dan masukan.
Kelima, partisipasi publik dalam perumusan produk hukum di bidang pajak akan turut menjamin akseptabilitas dan sistem pajak yang bercirikan kepatuhan sukarela (Darussalam, Septriadi, Kristiaji, dan Vissaro, 2017). Meaningful participation seyogianya tidak hanya menjadi ‘jargon’ dan turut menyertakan proses yang transparan, akuntabel, dan mendengar suara wajib pajak.
Jaminan atas partisipasi masyarakat dalam hal perumusan perda dan perkada telah diatur dalam Pasal 166 Permendagri 80/2015 s.t.d.d. Permendagri 120/2018. Beleid tersebut memberikan hak masyarakat untuk dapat mengakses rancangan perda dan perkada secara mudah serta memberikan masukan secara lisan dan/atau tulisan.
Keenam, strategi komunikasi publik. Kisah penolakan kenaikan beban PBB-P2 memperlihatkan lemahnya cara penyampaian narasi soal pajak kepada masyarakat. Ini hal yang sulit khususnya mengingat literasi pajak masyarakat Indonesia yang masih rendah.
Meskipun demikian, polemik soal PBB-P2 mengharuskan adanya strategi komunikasi publik yang jitu oleh kepala daerah dan jajarannya. Baik soal alasan dan latar belakang kebijakan pajak, penguasaan filosofis dan permasalahan keuangan daerah, kebermanfaatan pajak, kontrak fiskal, hingga menggalang dukungan dari elemen masyarakat.
Pemerintah daerah juga perlu menginisiasi program edukasi pajak guna meningkatkan literasi masyarakat soal pajak dan menggunakan paradigma yang memandang wajib pajak sebagai mitra pembangunan. Strategi tersebut terbukti berhasil pada saat reformasi pajak properti di Kampala, Uganda (Sharp, 2023).
Strategi komunikasi publik mengenai pajak juga perlu dikuasai oleh seluruh jajaran pemerintah yang memiliki tupoksi sehubungan dengan keuangan dan otonomi daerah. Dalam polemik PBB-P2 di Pati, tentunya akan lebih baik jika pejabat pemerintah di berbagai tingkatan dapat memberikan ‘sisi baik’ soal pajak dan tawaran solusi. Alih-alih cuci tangan, ikut-ikutan mengkritik, atau bahkan memperkuat stigma pajak adalah beban.
Optimalisasi penerimaan PBB-P2 merupakan agenda kunci kesinambungan keuangan daerah sekaligus masa depan kemandirian fiskal daerah. Oleh karenanya, harus diperhatikan betul-betul.
Kita kadang lupa bahwa pajak daerah itu bukan soal dikotomi semata yang hanya bergerak dari satu titik ekstrem ke titik ekstrem lainnya. Sebagai contoh, dari hanya soal pemutihan yang berulang ke penegakan hukum yang eksesif. Di antara keduanya, masih banyak dan beragam opsi yang bisa dipertimbangkan
Di tengah keriuhan HUT ke-80 Republik Indonesia, rasa syukur seyogianya dapat diartikan melalui kontribusi kepatuhan kita terhadap PBB-P2 dengan tetap kritis berdasarkan demokrasi ekonomi Tanah Air. (sap)