ANALISIS PAJAK

Olimpiade Paris 2024 dan Perlakuan Pajak atas Penghasilan Atlet

Redaksi DDTCNews
Kamis, 22 Agustus 2024 | 15.55 WIB
ddtc-loaderOlimpiade Paris 2024 dan Perlakuan Pajak atas Penghasilan Atlet
Assistant Manager of DDTC Consulting

PRANCIS, sebagai tuan rumah Olimpiade Paris 2024, mendapat hak pemajakan utama dalam pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atlet dari kegiatan profesional di negara tersebut (performance state).

Hak tersebut diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia-Prancis. Ketentuan ini sekaligus mengesampingkan aturan alokasi atas laba usaha (Pasal 7 P3B) serta penghasilan dari pekerjaan bebas (Pasal 15 P3B).

Pasal 17 ayat (2) P3B juga memberikan hak pemajakan kepada negara sumber (Prancis) meskipun penghasilan tersebut tidak dibayarkan secara langsung kepada atlet itu sendiri, tetapi melalui pihak lain.

Dengan demikian, cakupan sumber penghasilan yang dikenai pajak untuk atlet lebih luas dari cakupan umum untuk individu yang melakukan kegiatan bisnis atau bekerja di negara-negara sumber berdasarkan pada Pasal 7 dan 15 P3B atau OECD Model.

Untuk mengantisipasi pemajakan berganda, Pasal 24 P3B Indonesia-Prancis mengatur bahwa negara domisili wajib memberi keringanan lewat metode kredit. Namun, secara prinsip, metode kredit akan menyebabkan timbulnya kelebihan pemajakan. Hal ini dikarenakan total pemotongan/pemungutan pajak di negara sumber tidak selalu dapat dikeditkan di negara domisili. (Darussalam dan Dhora, 2023)

Sistem pemajakan Pasal 17 tersebut dianggap kontroversial. Sistem itu mendapat pertentangan dari berbagai pihak karena bersifat ­extra-territorial (Hawkes, 2012), menimbulkan kesulitan pembagian penghasilan, dan memunculkan kesulitan secara administrasi (Tetlak, 2014).

Hal itu terbukti pada Olimpiade Sydney 2000. Pada akhir tahun pajak, seluruh atlet yang berpartisipasi harus melaporkan Surat Pemberitahuan atas penghasilan yang diterimanya di Sydney sehubungan dengan olimpiade. Kebijakan ini menimbulkan beban administrasi sangat tinggi bagi wajib pajak dan otoritas pajak yang terlibat.

Sejak ‘mimpi buruk’ pada 2000 tersebut, International Olympic Committee (IOC) memutuskan untuk bernegosiasi dengan tuan rumah olimpiade berikutnya, yaitu Olimpiade Musim Dingin di Vancouver, Kanada pada 2010 serta Olimpiade London 2012.

Mereka bernegosiasi agar tidak menerapkan pemajakan terhadap penghasilan altet non-resident di negara sumber. Sejak saat itu, penghasilan para atlet yang diterima sehubungan dengan kompetisi di olimpiade dikecualikan dari pemajakan di negara sumber.

Namun, Olimpiade Paris 2024 tampaknya menjadi pertanda berakhirnya kebijakan tersebut. Dalam Tax Guide – Olympic and Paralympic Games Paris 2024, tidak ditemukan kebijakan mengenai pengecualian penghasilan yang dapat dipajaki di negara sumber.

Nyatanya penerapan Pasal 17 P3B, withholding tax berdasarkan pada tarif nasional kedua negara bagian, serta tambahan pajak penghasilan orang pribadi dengan tarif progresif mulai dari 0% hingga 45% akan diberlakukan untuk atlet non-resident di Olimpiade Paris 2024.

Oleh karena itulah, menjadi penting untuk mengetahui jenis-jenis penghasilan yang tercakup dalam Pasal 17 P3B. Terlebih, P3B Indonesia-Prancis tidak memuat batasan (threshold) penghasilan atlet yang dapat dikenakan pajak di negara sumber. Hal ini berbeda dengan P3B Amerika-Prancis yang memuat pengecualian atas penghasilan atlet yang tidak melebihi US$10.000 untuk dipajaki di negara sumber.

Sejatinya, Pasal 17 ayat (3) P3B memuat batasan, yakni imbalan atau keuntungan, upah, gaji, serta penghasilan serupa lainnya yang diperoleh dari kegiatan pribadi sebagai atlet di Prancis hanya akan dikenakan pajak di Tanah Air jika kunjungan mereka dibiayai secara substansial oleh dana publik Indonesia. Namun, tidak terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai pasal ini di dalam P3B ataupun Commentary OECD Model.

Seperti diketahui, selain mendapat hadiah simbolis berupa medali, atlet yang memenangkan pertandingan juga dapat menerima penghasilan dalam bentuk sponsorship, iklan, ataupun bonus. Secara umum, pasal substansi lainnya dalam P3B dapat berlaku apabila tidak ada hubungan langsung antara penghasilan dan pertandingan yang dilakukan oleh atlet tersebut di negara sumber.

Penghasilan Sponsor dan Bonus

DALAM dunia olahraga saat ini, sponsor perusahaan adalah salah satu sumber dukungan keuangan paling penting bagi para atlet. Sponsor juga menjadi salah satu alat pemasaran paling efektif. Misal, pembayaran kepada atlet tenis yang berkewajiban untuk menggunakan logo atau merek pihak pemberi sponsor pada bajunya saat pertandingan berlangsung.

Selain itu, sesuai dengan tradisi olimpiade, atlet yang mendapatkan medali tidak menerima hadiah berupa uang dari IOC. Berbekal gengsi dan kebanggaan suatu bangsa terkait dengan keberhasilan meraih medali, banyak negara yang menghadiahkan berbagai macam bonus dan apresiasi kepada atletnya.

Sebagai contoh, pemerintah Indonesia memberikan Rp5,5 miliar kepada peraih medali emas, Rp2,5 miliar kepada peraih medali perak, serta Rp1,5 miliar kepada peraih medali perunggu. Pemberian bonus itu sebagai apresiasi kepada pahlawan olahraga Indonesia yang berjuang di Olimpiade Tokyo 2020.

Untuk Olimpiade Paris 2024, pemerintah Indonesia memberikan bonus sebesar Rp6 miliar kepada peraih medali emas serta Rp1,65 miliar kepada peraih medali perunggu. Selain itu, para atlet yang belum berhasil meraih medali mendapat apresiasi senilai Rp250 juta.

Selain itu, untuk pertama kalinya dalam tradisi olimpiade, organisasi internasional World Athletics akan memberikan bonus senilai US$50.000 untuk setiap peraih medali emas di Olimpiade Paris 2024, terlepas dari kewarganegaraan atlet tersebut.

Dengan demikian, berdasarkan pada Pasal 17 P3B dan Commentary OECD Model, dapat dipastikan bahwa penghasilan yang dapat dipajaki di Prancis menjangkau berbagai jenis penghasilan.

Pemajakan mencakup tidak hanya bonus berupa uang tunai tetapi juga nilai properti yang diterima sehubungan dengan pertandingan serta hadiah nontunai lainnya untuk berkompetisi dan memenangkan kompetisi.

Keberadaan Pasal 17 OECD Model ini memperumit penentuan hak pemajakan atlet. Sebab, ruang lingkup pasal ini masih belum jelas. Kebijakan ini memberikan kesulitan dalam hal administrasi pajak bagi wajib pajak dan otoritas pajak. Oleh karena itulah, Pasal 17 OECD Model diusulkan untuk dihapus. (Molenaar, 2008 & 2024)

Diaturnya perlakukan khusus bagi atlet dalam perspektif pajak internasional bukan tanpa alasan. Dengan tingkat mobilitas yang tinggi dan jumlah penghasilan yang besar dalam kurun waktu yang relatif singkat, atlet cenderung melakukan rekayasa untuk mendapatkan keuntungan pajak agar dapat terhindar dari beban pajak yang tinggi (Tetlak, 2012).

Akan tetapi, stigma negatif pada atlet sebagai wajib pajak yang tidak dapat dipercaya dan identik dengan aktivitas penghindaran pajak dinilai sudah usang dan tidak lagi relevan (Molenaar, 2018).

Olimpiade Paris 2024 merupakan panggung global untuk atlet dari seluruh penjuru dunia berkumpul dan berkompetisi dalam semangat Citius, Altius, Fortius – Communiter (Lebih Cepat, Lebih Tinggi, Lebih Kuat – Bersama). Acara ini ditujukan untuk merayakan potensi terbaik manusia. Namun demikian, realitas ekonomi yang mendasarinya, khususnya perpajakan, terkadang justru menimbulkan polemik tersendiri.

Oleh karena itu, sangat penting untuk memastikan bahwa ketentuan perpajakan tidak secara sengaja menghalangi para atlet untuk meraih kesuksesan dalam kompetisi olahraga internasional. Insentif yang efektif untuk menginspirasi atlet muda kita justru perlu menjadi perhatian pemerintah.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang sekaligus menjadi pemenang lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.