ANALISIS PAJAK

Problematika Pendelegasian Kekuasaan Memungut Pajak

DDTC Fiscal Research and Advisory
Senin, 25 September 2023 | 11.42 WIB
ddtc-loaderProblematika Pendelegasian Kekuasaan Memungut Pajak

NEGARA tidak dapat memungut pajak tanpa adanya kesepakatan dari rakyat melalui para wakilnya di parlemen. Hal ini secara implisit ditegaskan dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal tersebut berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”

Amanat pengaturan dalam undang-undang itu menjadi aspek penting karena ada keterlibatan wakil rakyat saat perumusan. Dengan demikian, ada pengawasan dan pembatasan terhadap kekuasaan negara dalam melakukan pungutan kepada masyarakat umum. Negara tidak bisa menjalankan kekuasaan dalam pemungutan pajak secara sewenang-wenang.

Pertanyannya, apakah pasal tersebut sudah dijalankan dengan konsisten dan tepat? Pada kenyataannya, masih banyak undang-undang yang mengatur pendelegasian wewenang pengenaan pajak ke dalam ketentuan teknis di bawahnya, terutama peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri keuangan (PMK).

Lantas, mengacu pada Pasal 23A UUD 1945, bagaimana seharusnya kekuasaan untuk memungut pajak didelegasikan?

Pada dasarnya, pendelegasian kekuasaan sudah semestinya dipandang bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Hal ini dikarenakan dalam UUD 1945, Pasal 23A harus dimaknai secara bersamaan dengan Pasal 28H ayat (4) yang mengatur bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi yang tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapa pun.

Namun, tidak realistis juga untuk mengharapkan nihilnya pendelegasian dalam proses pembentukan undang-undang oleh parlemen dan pemerintah. Tidak ada sistem hukum yang dapat beroperasi tanpa memberikan adanya pendelegasian sama sekali (Hattingh,2019).

Suatu negara yang menetapkan opsi nondelegasi dalam undang-undang pajak akan menjadi tidak praktis dan kehilangan fleksibilitas. Padahal, pajak sebagai ekor ekonomi bisa mengalami dinamika perubahan yang sangat cepat. Dengan demikian, negara dituntut memiliki sistem perpajakan yang lebih dinamis. Tujuannya untuk mengantisipasi jika keadaan eksternal ataupun internal membutuhkan perubahan tersebut.

Pro-kontra atas opsi delegasi dan nondelegasi memunculkan pertanyaan. Apakah pendelegasian kekuasaan diperbolehkan? Kemudian, sejauh mana pendelegasian kekuasaan diperbolehkan? Apa saja batasan-batasan dalam pendelegasian kekuasaan?

Tak dapat dimungkiri, tuntutan sistem pajak yang dinamis membenarkan tingkat pendelegasian kepada pemerintah. Pendelegasian itu baik dalam produk hukum pada tingkat presiden dan menteri. Akan tetapi, undang-undang tidak serta merta menyerahkan lebih banyak kekuasaan di tangan pemerintah.

Semua lembaga tinggi negara—eksekutif, legislatif, dan yudikatif –harus secara bersama-sama menjamin dan memahami batasan-batasan dalam memungut pajak. Pembatasan mengenai kekuasaan yang dapat didelegasikan dan tidak dapat didelegasikan perlu menjadi aturan main yang dipegang oleh ketiga lembaga tersebut. 

Oleh karena itu, harus ada standar pengaturan yang lebih konkret untuk menetapkan batasan dan pembagian kewenangan. Menurut seorang ahli hukum pajak Ana Paula Dourado (2011), dalam sistem hukum di berbagai negara, pajak dapat dikatakan sah selama subjek, objek, dasar pengenaan pajak, tarif, dan semua aturan yang mempengaruhi jumlah pajak final diatur undang-undang melalui persetujuan parlemen.

Pedro Herrera (2005) juga menyatakan unsur-unsur pokok pajak, seperti definisi wajib pajak, objek pajak, dasar pengenaan pajak, tarif pajak, dan aturan dasar administrasi, harus diatur dalam undang-undang agar memiliki dasar yang kuat.

Kita ambil contoh di negara lain, seperti Burkina Faso. Dalam Pasal 101 ayat (5) konstitusi negara tersebut diatur bahwa undang-undang harus menetapkan dasar, tarif, dan metode pengumpulan pajak dari setiap jenis pajak. Hal serupa juga ditemukan dalam konstitusi Benin. 

Dengan demikian, produk hukum di bawah undang-undang seyogianya hanya berfungsi sebagai peraturan pendukung dalam hal isi dari undang-undang tidak lengkap atau tidak jelas. Sejalan dengan penelitian Craig West (2019), di negara-negara civil law, lembaga eksekutif berwenang mengeluarkan peraturan sehubungan dengan pelaksanaan undang-undang, khususnya hal prosedural.

Implementasi Pendelegasian

LANTAS, bagaimana kondisi di Indonesia? Hingga saat ini, belum ada standar yang jelas mengenai aspek-aspek yang seharusnya diatur dalam undang-undang (UU), peraturan pemerintah (PP), dan peraturan menteri keuangan (PMK) terkait dengan sistem pajak.

Masalah pendelegasian kewenangan diatur secara singkat melalui pedoman 198 dalam Bab II Lampiran II UU 12/2011 s.t.d.t.d UU 13/2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP).

Namun demikian, pedoman 211 memberikan penekanan lebih lanjut bahwa pendelegasian kepada menteri hanya terbatas pada peraturan yang bersifat teknis administratif. Pada kenyataannya, terdapat beberapa pendelegasian wewenang aspek-aspek esensial mencakup subjek pajak, objek pajak, dasar pengenaan, ataupun tarif pajak dalam peraturan pemerintah.

Contoh pendelegasian wewenang aspek-aspek esensial, misalnya, imbalan bunga dan sanksi (Pasal 37 UU KUP), kriteria penghasilan dan tarif tertentu yang bersifat final (Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU PPh), serta persentase nilai jual kena pajak atas PBB (Pasal 6 ayat (4) UU PBB).

Di sisi lain, walaupun dalam pedoman 211 UU PPP sudah secara jelas diatur pendelegasian kewenangan dari undang-undang kepada menteri terbatas untuk peraturan yang bersifat teknis administrasi, ada hal-hal substantif yang pada kenyataannya didelegasikan kepada PMK.

Contoh, ketentuan jenis barang yang dikenakan PPnBM (Pasal 8 ayat (4) UU PPN), tarif pajak atas selisih penilaian kembali aktiva (Pasal 19 UU PPh), batasan penghasilan tidak kena pajak bagi pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya (Pasal 21 ayat (4) UU PPh), serta dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak (Pasal 22 ayat (2) UU PPh).

Persoalan pendelegasian kekuasaan di Indonesia tersebut juga telah dibahas oleh Darussalam dan Danny Septriadi (2006) dalam buku Membatasi Kekuasaan untuk Mengenakan Pajak. Berkaca dari praktik yang sudah terjadi, kedua penulis berharap pelaksanaan amanat Pasal 23A UUD 1945 dapat dilaksanakan dengan baik. Sebagai wakil rakyat, DPR harus selektif dan ketat dalam mendelegasikan kekuasaan terkait dengan pengenaan pajak kepada pemerintah.

Oleh karena itu, proses pembentukan peraturan perundang-undangan -khususnya dalam bidang pajak- harus mengatur batasan pendelegasian kewenangan. Tujuannya agar aturan tersebut dapat ditegakkan secara maksimal. Namun, jika dalam praktiknya aturan tersebut tidak dijalankan maka tujuan tersebut akan sia-sia.

Partisipasi Publik

DALAM kaitannya dengan pendelegasian kekuasaan mengenakan pajak dari undang-undang ke PP dan PMK, perlu dilihat pula aspek representasi masyarakat dalam perumusan ketentuan teknis. Dalam konteks ini, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pemerintah memastikan regulasi yang ada adil bagi masyarakat meskipun tanpa representasi untuk membahas aturan-aturan tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu mengetahui terlebih dahulu proses pembentukan PP dan PMK. Secara garis besar, proses pembuatan PP dan PMK memiliki 4 tahapan, yaitu perencanaan program, penyusunan rancangan, penetapan rancangan, dan pengundangan peraturan tersebut. Tahapan ini telah diatur dalam Peraturan Presiden 87/2014 s.t.d.d Peraturan Presiden 76/2021 (untuk PP) serta PMK 123/2012 s.t.d.d PMK 164/2021 (untuk PMK).

Meskipun dalam proses pembentukan peraturan tidak secara eksplisit menyebutkan adanya representasi dari masyarakat. Namun, pentingnya partisipasi dari masyarakat diakui dan ditegaskan dalam UU PPP.  Sebagaimana diatur dalam Pasal 96 Ayat (7) UU PPP, hasil kegiatan konsultasi publik akan menjadi pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah terus berupaya untuk memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation). Upaya tersebut tercermin dari meningkatnya kegiatan konsultasi publik melalui platform online, seperti konsultasi publik terkait Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional, ekspor minyak kelapa sawit (CPO), pajak daerah dan retribusi daerah, dan rancangan peraturan pelaksanaan turunan UU Cipta Kerja.

Selain itu, proses pembentukan peraturan perundang-undangan melibatkan campur tangan DPR juga mulai muncul. Contohnya, tarif pajak PPN (Pasal 7 ayat (4) UU PPN), pengelompokan barang yang dikenai PPnBM (Penjelasan Pasal 8 ayat (3) UU PPN), batas nilai nominal dokumen yang dikenai bea materai (Pasal 6 ayat (4) UU Bea Materai), tarif pajak atas penghitungan penghasilan kena pajak (Pasal 17 ayat (2) UU PPh), serta penyesuaian besarnya PTKP dan batasan peredaran bruto tidak dikenai pajak (Pasal 7 ayat (3) UU PPh).

Penegasan hak untuk memperkuat meaningful participation dalam UU PPP menunjukan komitmen pemerintah untuk memastikan hak konstitusional masyarakat terhadap Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 terjamin.

Setidaknya ada 3 hak yang harus dipenuhi. Pertama, hak untuk didengar pendapatnya (right to be heard). Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).  

Namun, perlu menggarisbawahi, partisipasi masyarakat dalam proses ini masih tidak diwajibkan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 96 Ayat (6) UU PPP yang berbunyi, “… pembentuk Peraturan Perundang-Undangan dapat melakukan kegiatan konsultasi publik melalui… .” Kata dapat memiliki makna sebagai pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan.

Oleh karena itu, dalam pengaturan tersebut harus lebih mewajibkan pemerintah untuk menyerap aspirasi masyarakat dalam merumuskan kebijakan. Ketika PP ataupun PMK tidak melibatkan partisipasi dari masyarakat, ada risiko kebijakan yang condong pada kepentingan pemerintah sehingga mengesampingkan rasa keadilan.

Pada akhirnya, batasan yang jelas dan memastikan keberadaan peraturan tersebut sangatlah penting. Kepastian keberadaan peraturan tidak sekadar tulisan belaka, tetapi juga dijalankan dengan penuh kepatuhan.

Sejatinya, suatu negara perlu menjamin adanya checks and balances, representasi dari masyarakat, dan hak-hak masyarakat. Hal ini niscaya berdampak dan bermanfaat besar karena membangun kepercayaan dan keyakinan masyarakat terhadap proses legislasi. Harapannya, situasi ini mampu mendukung upaya peningkatan kesukarelaan wajib pajak dalam membayar pajak.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.