Suasana diskusi 'Mengukur Rokok Ilegal di Indonesia; Membantah Argumen Industri Rokok', Rabu (27/3/2019).
JAKARTA, DDTCNews – Hasil studi Perkumpulan Prakarsa menunjukkan minimnya pangsa pasar rokok ilegal. Dalam situasi ini, cukai untuk produk turunan tembakau direkomendasikan untuk naik.
Peneliti Prakarsa Rahmanda M. Thaariq mengatakan narasi kenaikan tarif cukai yang akan mendorong peningkatan peredaran rokok ilegal tidak memiliki landasan ilmiah. Pasalnya, dengan tarif yang terus naik hingga 2018, peredaran rokok ilegal terus turun.
“Rokok ilegal di Indonesia cenderung langka dan bertentangan dengan klaim industri kalau tarif naik maka peredaran rokok ilegal akan naik. Narasi ini mengacaukan tujuan kebijakan pajak produk turunan tembakau,” katanya dalam diskusi 'Mengukur Rokok Ilegal di Indonesia; Membantah Argumen Industri Rokok', Rabu (27/3/2019).
Hasil studi Prakarsa pada 2018 terhadap 1.440 perokok yang tersebar di 6 Kabupaten menunjukkan persentase rokok ilegal kurang dari 2%. Studi dilakukan di Kabupaten Malang, Lampung Selatan, Tangerang, Gowa, Bandung, dan Banyumas.
Dari 1.201 sampel bungkus rokok, hanya 20 bungkus teridentifikasi sebagai rokok ilegal. Angka tersebut menunjukan level yang lebih rendah dari data penelitian UGM yang digunakan Ditjen Bea Cukai. Dalam penelitian itu disebutkan rokok ilegal yang beredar pada 2016 sebanyak 12,14% dan turun menjadi 7,04% pada 2018.
“Pemerintah harus investasi besar dalam penguatan administrasi dan penegakan hukum sebagai langkah terbaik memerangi perdagangan ilegal,” tandasnya.
Pendapat senada diungkapkan oleh dosen FEB Universitas Indonesia Abdillah Ahsan yang mengatakan bahwa aspek penegakan hukum menjadi kunci untuk memerangi rokok ilegal. Dengan demikian, kenaikan tarif cukai tidak serta merta memengaruhi peredaran rokok ilegal.
“Tarif cukai sudah naikkan saja kemudian naikkan anggaran DJBC untuk penegakan hukum. Jadi, alur berpikirnya seperti itu,” imbuhnya. (kaw)