Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews -- Penggunaan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) cabang dijadwalkan hanya berlaku sampai dengan 30 Juni 2024. NPWP cabang akan digantikan dengan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU). Topik ini mendapat sorotan cukup banyak dari netizen pada Juni 2024.
Berakhirnya penggunaan NPWP cabang juga sejalan dengan dimulainya implementasi penuh penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP atau NPWP 16 digit mulai 1 Juli 2024. Ketentuan ini diatur dalam PMK 136/2023.
Beleid yang sama juga mengatur bahwa terhadap wajib pajak cabang yang telah diterbitkan NPWP cabang sebelum beleid ini mulai berlaku, dirjen pajak memberikan NITKU.
Sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) PMK 112/2022 s.t.d.d PMK 136/2023, bagi wajib pajak cabang yang mendaftarkan diri atau diberikan NPWP secara jabatan sejak sampai dengan 30 Juni 2024, dirjen pajak memberikan NPWP cabang dan NITKU.
Sebenarnya, batas akhir penggunaan NPWP cabang pada 30 Juni 2023 mundur dari ketentuan sebelumnya. Adapun sebelum terbit PMK 136/2023, NPWP cabang digunakan untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sampai dengan 31 Desember 2023.
Selain bahasan mengenai NPWP cabang, ada sejumlah pemberitaan populer lain pada Juni 2024. Berita itu di antaranya terkait dengan wacana pembentukan family office, penguatan pengawasan dan kebijakan teknis pajak pada 2025, dan dorongan untuk menurunkan threshold pengusaha kena pajak (PKP) dari World Bank.
Berikut peristiwa yang terjadi sepanjang Juni 2024.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan Bali perlu disiapkan sebagai tempat pendirian family office oleh orang-orang kaya. Luhut menuturkan family office perlu dibentuk di Bali guna menarik modal asing milik orang-orang kaya di dunia ke dalam negeri.
Menurut Luhut, regulasi yang dibutuhkan untuk mendukung pendirian family office di Bali sedang disiapkan oleh pemerintah. Luhut pun meminta DPR untuk mendukung ide tersebut.
Luhut juga mengatakan telah meminta bantuan kepada World Bank menyiapkan kajian untuk mendirikan family office di Indonesia. Menurutnya, permintaan tersebut telah disampaikan kepada Presiden World Bank Ajay Banga.
Sebagai informasi, family office merupakan perusahaan yang dibentuk oleh keluarga atau orang kaya (high net wealth individual/HNWI) dalam rangka mengelola aset milik keluarga atau individu kaya tersebut.
Prioritas pengawasan atas wajib pajak high wealth individual (HWI) beserta wajib pajak grup masih menjadi bagian kebijakan teknis pajak yang akan dilanjutkan pada 2025. Hal ini terlihat dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025.
Berdasarkan dokumen KEM-PPKF 2025, prioritas pengawasan terhadap wajib pajak tersebut merupakan bagian dari kebijakan yang dilakukan untuk penguatan basis perpajakan.
Penguatan basis perpajakan juga dilakukan dengan beberapa kebijakan. Pertama, penambahan jumlah wajib pajak serta perluasan edukasi perpajakan untuk mengubah perilaku kepatuhan pajak. Kedua, penguatan aktivitas pengawasan pajak dan law enforcement.
Ketiga, peningkatan kerja sama perpajakan. Keempat, pemanfaatan digital forensic. Seperti diketahui, penyelesaian pelaksanaan forensik digital oleh Ditjen Pajak (DJP) mengalami kenaikan pada tahun lalu.
Selain penguatan basis perpajakan, ada 4 kebijakan teknis pajak lainnya yang akan dijalankan pada 2025. Pertama, integrasi teknologi dalam rangka penguatan sistem perpajakan dengan melanjutkan implementasi coretax administration system (CTAS) serta melakukan penyusunan Daftar Sasaran Prioritas Pengamanan Penerimaan Pajak (DSP4) berbasis risiko.
Kedua, penguatan organisasi dan sumber daya manusia (SDM) sebagai respons atas perubahan kegiatan ekonomi masyarakat.
Ketiga, implementasi kebijakan perpajakan sesuai dengan Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Keempat, pemberian insentif fiskal yang terarah dan terukur.
World Bank kembali mendorong Indonesia untuk menurunkan threshold pengusaha kena pajak (PKP) dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak.
Berdasarkan catatan World Bank dalam Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi Juni 2024, threshold PKP senilai Rp4,8 miliar yang berlaku di Indonesia jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan threshold PKP di negara-negara tetangga dan negara-negara anggota OECD.
Adapun threshold PKP yang tinggi pada akhirnya menekan jumlah badan usaha yang berpartisipasi dalam pemungutan dan penyetoran PPN. Berdasarkan enterprise survey yang dilakukan oleh World Bank pada tahun lalu, hanya sekitar 0,3% dari total usaha kecil di Indonesia yang menyetorkan PPN. (sap)