ANALISIS

Perdebatan di Seputar Tax Avoidance

Rabu, 01 Juni 2016 | 14:45 WIB
Perdebatan di Seputar Tax Avoidance

Ramzil Huda, Dosen Universitas Gajah Mada

PRAKTIK penghindaran pajak (tax avoidance) yang legal adalah topik yang selalu populer. Di satu pihak wajib pajak (WP) berpendapat, sepanjang tak ada peraturan yang dilanggar, boleh-boleh saja melakukan upaya penghindaran yang dapat mengurangi kewajiban perpajakannya.

Namun, di lain pihak otoritas pajak menganggap meski tak ada huruf-huruf hukum yang dilanggar, ada substansi mendasar yang diterabas dalam praktik tersebut, yakni manfaat pajak. Dari substansi yang lebih mendasar inilah otoritas pajak berpandangan, tax avoidance seharusnya dianggap pelanggaran.

Lalu bagaimana dengan para hakim? Di sinilah masalahnya. Jawabannya seringkali tergantung pada tafsir. Akibatnya, ada hakim yang berpikir seperti wajib pajak, dan ada hakim yang berpikir seperti pemerintah. Seringkali, keduanya sama-sama memiliki asas dan argumentasi yang meyakinkan.

Bagi wajib pajak, ada banyak peristiwa yang bisa dijadikan pembenar atas perspektifnya. Kasus Duke of Westminster di Inggris pada 1936 misalnya. Hakim Lord Tomlin saat itu menyatakan setiap orang berhak mengurangi jumlah pajak yang seharusnya dibayar sepanjang tetap berdasarkan hukum yang berlaku.

Hal yang hampir sama juga terjadi di Amerika Serikat, Hakim Learned Hand berpendapat seseorang boleh saja mengatur agar kewajiban pajaknya dibuat minimum sepanjang tidak melanggar peraturan. Tidak ada kewajiban untuk membayar pajak yang paling tinggi.

Prinsip Westminster dan pendapat Hakim Hand tersebut menjadi alibi bagi WP untuk melakukan praktik penghindaran pajak. Jadi ada anggapan, sepanjang suatu praktik penghindaran pajak tidak diatur ataupun dilarang berdasarkan undang-undang pajak, praktik tersebut diperbolehkan.

WP akan selalu berusaha mencari celah hukum (loopholes) untuk mengurangi beban pajaknya. Apalagi pajak mempunyai karakteristik kontraprestasi tidak langsung, yaitu jumlah pembayaran pajak tidak mempengaruhi imbalan yang akan diberikan oleh pemerintah.

Dengan demikian, perusahaan, terutama perusahaan multinasional, akan selalu berusaha meminimalkan pembayaran pajak, karena imbalan yang mereka terima dari pemerintah sama saja, tak peduli apabila mereka membayar pajak dalam jumlah yang lebih besar atau lebih kecil.

Tentu saja argumentasi ini tidak diterima otoritas pajak. Doktrin Duke of Westminster toh telah banyak ditentang. Dan sejak awal, pajak dimengerti sebagai instrumen yang digunakan untuk membiayai belanja pemerintah, yang secara tidak langsung dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat banyak.

Apabila dana penerimaan negara dari pajak tidak mencukupi, maka program pemerintah untuk menyejahterakan rakyat juga tidak akan tercapai. Dengan demikian, skema penghindaran pajak merupakan sesuatu tindakan yang merugikan rakyat.

Argumentasi kedua adalah karena perusahaan multinasional telah banyak mendapatkan manfaat atas penyediaan barang publik hingga dapat melakukan usahanya dan mendapatkan laba. Dengan demikian sudah seharusnya perusahaan multinasional membayar pajak kepada negara.

Tindakan melarikan pajak, meskipun dilakukan dengan skema yang rumit dan karenanya bisa lolos dari aturan perpajakan yang ada, tetap saja akan melanggar asas manfaat itu. Apalagi, praktik tersebut juga menimbulkan kompetisi yang tidak sehat antara perusahaan multinasional dan perusahaan lokal.

Perusahaan multinasional dapat memindahkan labanya dari satu negara ke negara lain guna menghindari pajak. Sebaliknya, perusahaan yang beroperasi secara lokal tidak mempunyai keunggulan tersebut hingga tak punya pilihan lain selain membayar pajak. Situasi ini tentu berdampak negatif bagi perekonomian.

Alasan Ketidakadilan

DENGAN alasan yang sedikit berbeda, pandangan pemerintah ini sejalan dengan perspektif para aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM). Namun, apabila pemerintah menentang praktik tax avoidance akibat terlanggarnya aspek manfaat, LSM menyerangnya lebih atas dasar alasan ketidakadilan (inequality).

Penghindaran pajak menyebabkan perusahaan besar dapat menurunkan jumlah pajak yang dibayarnya, sehingga kekayaan mereka kian meningkat. Akibatnya bagian yang diperoleh rakyat miskin dari harta pembayar pajak melalui program-program pemerintah pun menjadi berkurang.

Dengan demikian, tax avoidance akan menurunkan kemampuan negara dalam mengurangi kelaparan, kemiskinan, sekaligus menghambat peningkatan produktivitas pangan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia, terutama di negara-negara miskin dan berkembang.

Sampai di sini terlihat, tidak mudah bagi para hakim pajak untuk memutuskan perkara yang menyangkut tax avoidance, selama memang tidak ada huruf hukum yang dilanggar. Vonis apapun yang diambil berisiko untuk di-challenge kembali ke tingkat peradilan yang lebih tinggi.

Karena itu, tidak ada cara lain, untuk menekan praktik tax avoidance, diperlukan edukasi yang lebih intensif atas pentingnya peran pajak bagi masyarakat, perubahan aturan hukum yang meminimalkan perbedaan persepsi, kerja sama internasional yang lebih kuat, serta penegakan hukum tanpa tebang pilih. (Bsi)*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 29 Maret 2024 | 13:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

WP Lunasi Pajak dan Dendanya, Penyidikan Tindak Pidana Dihentikan

Rabu, 06 Maret 2024 | 09:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pengembang Tak Setor PPN Rp 1,88 Miliar, Direktur Ditahan Kejaksaan

Selasa, 27 Februari 2024 | 18:30 WIB AMERIKA SERIKAT

IRS Ungkap Orang-Orang Kaya Tak Bayar Pajak 150 Miliar Dolar AS

BERITA PILIHAN