LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2022

Pengenaan Pajak Gig Economy, Mungkinkah?

Redaksi DDTCNews | Kamis, 08 September 2022 | 14:15 WIB
Pengenaan Pajak Gig Economy, Mungkinkah?

Aulia Irfan Mufti,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat

PERKEMBANGAN teknologi yang pesat berpengaruh pada kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Pandemi Covid-19 yang menuntut pembatasan aktivitas sosial juga turut mendorong penggunaan teknologi. Pada saat bersamaan, masyarakat harus beradaptasi dalam mencari sumber penghasilan.

Alhasil, muncul fenomena gig economy. Ada kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh penghasilan dengan menawarkan jasa dengan menggunakan online platform, sehingga dapat menjangkau konsumen secara lebih luas.

Di Indonesia, data Badan Pusat Statistik (2022) menunjukkan jumlah pekerja bebas sejak 2014 hingga 2021 mengalami pasang-surut. Namun, sejak 2019 sampai dengan 2021, terjadi tren peningkatan persentase pekerja bebas nonpertanian.

Puncaknya pada Agustus 2021, jumlah pekerja bebas nonpertanian di Indonesia mencapai 7,6 juta orang. Seiring dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan gig economy di Indonesia juga diproyeksi akan terus meningkat.

Tantangan Perpajakan

TUMBUHNYA gig economy tentu saja menghadirkan potensi pajak yang cukup besar. Namun, McKinsey (2020) mengingatkan tantangan yang dihadapi pemerintah juga tidak kalah besar. Tantangan itu muncul karena karakteristik para pelaku gig economy itu sendiri.

Pelaku didominasi individu dari sektor ekonomi yang sebelumnya sudah memiliki masalah mendasar layaknya shadow economy, yaitu keterbatasan akses terhadap data transaksi dan pelaporan. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman dan pendekatan yang menyeluruh agar pemajakan optimal.

Secara regulasi, belum ada ketentuan perpajakan di Indonesia yang khusus mengatur mengenai gig worker. Namun, gig worker sebenarnya memiliki kesamaan karakteristik dengan wajib pajak yang memiliki sumber penghasilan dari usaha.

Dengan karakteristik seperti itu maka pemajakannya akan sangat bergantung pada kesukarelaan gig worker dan konsumen dalam penyetoran atau pembayaran pajak terutang. Tanpa adanya proses pengawasan yang memadai, bukan tidak mungkin potensi pajak gig economy akan hilang begitu saja.

Sistem self assesment yang dianut di Indonesia menuntut gig worker untuk peduli dalam pengelolaan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri. Gig worker diharapkan mampu mengelola pencatatan atau pembukuan atas data finansial terkait dengan usaha yang dilakukan, sehingga dapat menghitung jumlah pajak terutang dari usahanya. Namun, dapatkah gig worker bersikap demikian?

Thomas (2017) menjelaskan hal tersebut tidak mudah bagi gig worker karena adanya terbatasnya waktu, belum dalamnya literasi perpajakan, masih rendahnya tingkat kesadaran, serta kompleksnya administrasi perpajakan di suatu negara.

Kebanyakan gig worker juga menganggap upaya yang harus dilakukan untuk memenuhi administrasi perpajakan tersebut sebenarnya tidak sebanding dengan nilai pajak yang dibayarkan. Hal ini mengindikasikan tidak efisiennya sistem pemajakan menyebabkan gig worker makin sulit untuk patuh dan taat dalam memenuhi ketentuan perpajakan.

Strategi Pemajakan di Indonesia

SECARA garis besar, pemajakan gig economy di Indonesia memiliki kelemahan mendasar, yaitu terlalu mengandalkan kesukarelaan gig worker untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajak terutang. Namun, paling tidak terdapat dua langkah yang dapat dipertimbangkan agar pemajakan optimal.

Pertama, menerapkan skema single tax single tariff untuk pajak penghasilan (PPh) terutang dalam transaksi yang dilakukan melalui online platform. Hapsari (2021) menjelaskan penunjukkan pihak ketiga sebagai pemotong atau pemungut merupakan salah satu langkah efektif untuk menjaring potensi pajak gig economy.

Saat ini, strategi tersebut sudah memiliki dasar hukum yang kuat, yaitu Pasal 32A dan 44E Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dengan demikian, sangat mungkin untuk diterapkan. Namun, apakah itu sudah cukup?

Strategi tersebut dapat diperkuat dengan penerapan skema single tax single tariff. Kompleksnya administrasi perpajakan di Indonesia serta tidak meratanya pengetahuan perpajakan yang dimiliki wajib pajak merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah.

Penerapkan skema single tax single tariff akan menyebabkan proses pemotongan PPh menjadi lebih sederhana dan mudah dipahami. Atas seluruh penghasilan yang bersumber dari transaksi gig economy dikenakan pemotongan PPh final oleh penyedia platform sebesar tarif tertentu.

PPh final yang telah dipotong dapat diperlakukan sebagai kredit pajak bagi gig worker untuk pembayaran PPh dalam tahun berjalan atau dapat dianggap sebagai bagian dari pelunasan PPh final dari gig worker. Penerapan skema tersebut akan menyederhanakan proses pemungutan menjadi lebih cepat.

Kedua, penyuluhan perpajakan secara berkelanjutan. Pemerintah memiliki kewajiban untuk dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif dan bersinergi agar dapat menumbuhkan kepatuhan sukarela dari wajib pajak.

Kirchler et al (2008) meyakini salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melakukan edukasi secara berkelanjutan. Menurut OECD (2020), otoritas dapat bekerja sama dengan online platform yang telah ditunjuk sebagai pemotong untuk memberikan penyuluhan secara berkelanjutan.

Misalnya, pengelola online platform dapat menyediakan informasi penting mengenai hak dan kewajiban perpajakan dari para penggunanya di situs mereka. Proses edukasi juga dapat dimulai sejak gig worker dan user lainnya mendaftarkan diri dalam online platform.

Edukasi dilakukan secara berkala melalui posel, SMS, ataupun saluran alternatif lainnya. Online platform juga dapat menginformasikan kanal-kanal yang dapat digunakan user untuk menghubungi otoritas apabila terdapat kendala mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan.

Adanya edukasi yang berkesinambungan diharapkan dapat membantu gig worker dalam memahami hak dan kewajiban perpajakannya. Dengan demikian, ada harapan adanya perubahan perilaku ke arah yang lebih baik.

Pemajakan gig economy merupakan suatu gagasan yang penuh dengan tantangan. Pembenahan regulasi, penyederhanaan skema pemotongan, serta edukasi secara berkelanjutan merupakan kunci utama kesuksesan di dalamnya.

Dibutuhkan pemahaman yang komprehensif agar pemajakan ini tidak bersifat kontraproduktif terhadap pertumbuhan gig economy itu sendiri.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

Rizky Febrian 08 September 2022 | 21:00 WIB

perpaduan antara pemanfaatan data dan perubahan skema bisa juga menjadi kunci untuk hal ini.

[email protected] 08 September 2022 | 18:57 WIB

Couldnt agree more, memang butuh cara kreatif buat bisa majakin gig worker di Indo. Nice insight

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 19 April 2024 | 18:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT atas Makanan dan Minuman?

Jumat, 19 April 2024 | 17:45 WIB KEANGGOTAAN FATF

PPATK: Masuknya Indonesia di FATF Perlu Diikuti Perbaikan Kelembagaan

Jumat, 19 April 2024 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Meski Tidak Lebih Bayar, WP Tetap Bisa Diperiksa Jika Status SPT Rugi

BERITA PILIHAN