Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Topik tentang program pengungkapan sukarela (PPS) makin ramai diperbincangkan warganet sepanjang sepekan terakhir. Maklum, kesempatan bagi wajib pajak untuk merampungkan kewajibannya yang belum tuntas ini akan berakhir dalam hitungan hari, tepatnya sampai dengan 30 Juni 2022.
Saking tingginya animo masyarakat terkait dengan isu PPS, rangkuman artikel perpajakan terpopuler kali ini didomimasi pemberitaan tentang program tersebut.
Wajib pajak perlu memahami bahwa kegiatan pengawasan dan pemeriksaan akan berlanjut setelah PPS berakhir pada pekan depan. Bahkan, intensitasnya bisa saja meningkat.
Selama PPS berlangsung dalam 6 bulan terakhir, DJP lebih memilih untuk mengerem aktivitas pengawasan dan pemeriksaan. Hal ini bertujuan memberi kesempatan wajib pajak untuk ikut serta dalam PPS.
"Kami lebih banyak melakukan encouraging untuk mengikuti program PPS. Kegiatan pengawasan dan pemeriksaan selama 6 bulan ini untuk sementara waktu agak kami tahan," ujar Dirjen Pajak Suryo Utomo beberapa waktu lalu.
Setelah PPS berakhir pada 30 Juni, DJP akan menindaklanjuti PPS berdasarkan data dan informasi yang diterima baik melalui pengawasan, pemeriksaan, hingga penegakan hukum.
"Bukan bermaksud menakut-nakuti, itu yang diatur dalam UU KUP. Ada dimensi kita melakukan edukasi, kami pilih siapa yang perlu diedukasi sebelum diawasi," ujar Suryo.
Suryo mengatakan setelah PPS berakhir DJP akan menyelenggarakan proses bisnis seperti sedia kala. Namun, penyelenggaraan proses bisnis akan berjalan lebih cepat mengingat DJP telah mendapatkan data dan keterangan dari lembaga keuangan domestik dan otoritas pajak negara mitra melalui AEOI.
Artikel lengkapnya, baca Ingat! Setelah PPS, DJP Intensifkan Lagi Pengawasan dan Pemeriksaan.
Topik kedua yang juga menarik adalah soal kewajiban perpajakan bagi pelaku UMKM. Otoritas kembali menyinggung ketentuan omzet tidak kena pajak sampai dengan Rp500 juta yang diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
DJP menegaskan, aturan yang berlaku mulai tahun pajak 2022 itu hanya berlaku untuk wajib pajak orang pribadi UMKM. Sementara wajib pajak badan UMKM, tetap harus menjalankan kewajibannya sesuai PP 23/2018 dengan tarif PPh final 0,5% meski omzetnya belum melampaui Rp500 juta dalam setahun.
"Wajib pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu tidak dikenai PPh atas omzet sampai dengan Rp500 juta dalam 1 tahun pajak. [WP] badan UMKM meskipun belum melampaui omzet Rp500 juta tetap terutang PPh final 0,5%," cuit DJP melalui akun @kring_pajak.
Informasi lengkapnya, baca WP Badan UMKM Tetap Terutang PPh 0,5% Meski Omzet di Bawah Rp500 Juta.
Selain 2 pemberitaan di atas, masih ada sejumlah artikel menarik yang berhasil menyita perhatian pembaca. Berikut adalah 5 artikel terpopuler DDTCNews yang sayang untuk dilewatkan:
1. PPS Sisa Hitungan Hari, Mending Ikut atau Pembetulan SPT Tahunan Saja?
Wajib pajak memiliki pilihan untuk ikut PPS atau cukup melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan apabila masih terdapat harta yang belum dilaporkan.
Penyuluh Pajak Ahli Muda DJP Bima Pradana mengatakan mengatakan pembetulan SPT dapat dilakukan sepanjang DJP belum memulai tindakan pemeriksaan.
"Tetap bisa kok wajib pajak melakukan pilihan pembetulan. Silakan lakukan pembetulan apabila dirasa itu memungkinkan," katanya.
Wajib pajak dapat melakukan pembetulan atas kekeliruan yang terdapat SPT Tahunannya. Namun, wajib pajak juga harus membayar sanksi administrasi berupa bunga apabila pembetulan SPT yang dilakukan mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar.
Dengan ketentuan tersebut, dia menilai keikutsertaan wajib pajak dalam PPS menjadi lebih memudahkan. Pasalnya, wajib pajak juga tidak perlu lagi menelisik sumber hartanya pada tahun-tahun sebelumnya.
2. DJP Tunda Penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan Bukper WP OP
DJP menyetop beberapa proses bisnis terkait dengan penegakan hukum selama periode berlangsungnya PPS.
Kepala Subdirektorat Pemeriksaaan Bukti Pemeriksaan Direktorat Penegakan Hukum Rachmad Auladi mengatakan mesin penegakan hukum sebenarnya terus berjalan hingga saat ini. Namun, ada beberapa tindak lanjut dari penegakan hukum yang dihentikan sementara.
“Saat ini, sebetulnya mesin penegakan hukum itu berjalan itu berjalan terus, tetapi oleh pak dirjen disetop tindak lanjutnya,” ujarnya.
Pertama, penundaan usul bukti pemeriksaan (Bukper) wajib pajak orang pribadi. Rachmad mengatakan dalam tiap harinya, DJP mendapatkan sumber-sumber informasi, data, laporan, dan pengaduan (IDLP) yang ditindaklanjuti.
Kedua, penundaan penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan (SPPBP) wajib pajak orang pribadi. Rachmad mengatakan DJP telah membukukan beberapa SPPBP yang sudah siap untuk diterbitkan tetapi ditunda selama masa PPS.
Ketiga, pembatalan SPPBP wajib pajak orang pribadi yang mengikuti PPS. Ada beberapa SPPBP yang sudah terbit, tetapi belum disampaikan kepada wajib pajak.
3. Setelah PPS Rampung, DJP Masih akan Teliti SPPH Wajib Pajak
DJP akan melakukan penelitian atas surat pemberitahuan pengungkapan harta (SPPH) dari wajib pajak peserta PPS kebijakan II.
Kepala Subdirektorat Perencanaan Pemeriksaan DJP Iis Mazhuri mengatakan penelitian dilakukan untuk mengetahui adanya harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam SPPH.
"Wajib pajak yang ikut PPS kebijakan II akan dilakukan penelitian, jadi semua wajib pajak itu akan diteliti SPPH-nya," ujar Mazhuri.
Bila ditemukan adanya harta yang belum atau kurang diungkap dalam SPPH, ujarnya, DJP dapat menerbitkan surat klarifikasi kepada wajib pajak. Wajib pajak diberi kesempatan untuk merespons surat klarifikasi yang dikirimkan oleh DJP atau membayar PPh yang kurang dibayar.
4. DJP Terbitkan Surat Edaran Soal Pembetulan dan Pembatalan Suket PPS
DJP menerbitkan Surat Edaran No. SE-17/PJ/2022 tentang petunjuk teknis pembetulan atau pembatalan surat keterangan pengungkapan harta bersih.
Sebagaimana diatur pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 196/2021, surat keterangan dapat dibetulkan atau dibatalkan jika harta bersih yang diungkapkan wajib pajak tak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Secara umum, SE-17/PJ/2022 mengatur tentang petunjuk teknis pembetulan surat keterangan, petunjuk teknis pembatalan surat keterangan, tindak lanjut atas data yang diperoleh KPP, dan tindak lanjut atas permohonan pembetulan oleh wajib pajak.
Pembetulan surat keterangan dilakukan jika data DJP menunjukkan adanya kesalahan penulisan atau penghitungan dalam surat keterangan. Pembetulan dilakukan atas kesalahan penulisan identitas seperti nama, NIK, NPWP, alamat, dan kesalahan penulisan elemen-elemen data pada surat keterangan.
Sementara itu, kesalahan penghitungan yang dilakukan pembetulan ialah kesalahan penghitungan nilai harta, utang, atau harta bersih; kesalahan dalam menentukan pedoman nilai harta atau utang; dan kesalahan lain yang mengakibatkan berkurang atau bertambahnya nilai harta bersih serta PPh final.
5. Harta Belum Diungkap, Peserta Tax Amnesty Tak Ikut PPS? Ini Risikonya
DJP mengungkap konsekuensi bagi wajib pajak sebenarnya memenuhi kondisi sebagai peserta skema kebijakan I PPS, tetapi memilih untuk tidak ikut.
Konsekuensi juga berlaku untuk wajib pajak yang mengikuti skema kebijakan I PPS, tetapi tidak melaporkan seluruh hartanya. Artinya, masih ada harta yang belum diungkap melalui tax amnesty pada 2016-2017 ataupun PPS.
“Harta yang belum atau kurang diungkap tersebut akan dianggap sebagai penghasilan pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai harta tersebut oleh DJP. Perlu kita perhatikan di sini, tidak ada batas waktunya,” ujar Giyarso, Penyuluh Pajak Ahli Muda DJP. (sap)