
SALAH satu prinsip yang seharusnya digunakan dalam merumuskan kebijakan pajak adalah simplicity atau kesederhanaan. Prinsip yang disampaikan oleh Adam Smith dalam The Four Maxims itu menjadi salah satu building blocks dalam penyusunan kebijakan pajak.
Namun, tak bisa dihindari sistem pajak di banyak negara hampir selalu kompleks. Hal itu yang menjadi ganjalan bagi setiap negara untuk membangun sistem pajak yang memenuhi konsep 'kesederhanaan' di atas.
Salah satu contoh kerumitan pajak tecermin dalam proses administrasi pembuatan faktur pajak. Sejak berlakunya coretax system, saat ini kode faktur pajak telah bertambah dari yang sebelumnya hanya terdapat 9 kode, kini menjadi 10 kode.
Hal itu tentu menambah kompleksitas dalam pembuatan faktur pajak. Selain itu, dengan berlakunya PMK 131/2024, wajib pajak harus mengubah pola pikir yang sebelumnya terbiasa dengan pemahaman 'harga jual sama dengan dasar pengenaan pajak (DPP)', kini harus terbiasa dengan konsep DPP nilai lain.
Artinya, wajib pajak harus membiasakan diri menggunakan kode 04, dari sebelumnya memakai kode 01. Bertambahnya kompleksitas administrasi ini berpotensi menimbulkan sanksi administrasi bagi wajib pajak. Kompleksitas ini seharusnya dapat dimitigasi melalui adanya penyederhanaan kode faktur pajak dalam pembuatan faktur pajak secara digital.
Optimalisasi data mining dalam pengisian faktur pajak secara digital mampu mengurangi kompleksitas penentuan kode faktur pajak. Data Mining merupakan proses identifikasi pola dari data yang tersimpan dalam database terstruktur.
Penggunaan label (tag) dan pengurutan (sorting) yang efektif mampu mendukung optimalisasi data mining. Identitas pembeli, alamat pembeli (NITKU), dan kode barang/jasa merupakan label yang dapat dimaksimalkan untuk pengurutan dalam optimalisasi data mining.
Selain itu, penyesuaian lainnya juga perlu dilakukan. Optimalisasi data mining ini mampu mengurangi kompleksitas terkait kode faktur pajak yang saat ini terdiri atas 10 kode.
Identitas pembeli yang ada dalam faktur pajak saat ini adalah NPWP/NIK, paspor, dan identitas lainnya. Melalui pemilihan label identitas pembeli, suatu faktur pajak dapat secara otomatis dikategorikan apakah faktur pajak tersebut atas penyerahan barang kena pajak/jasa kena pajak (BKP/JKP) ke pembeli dengan paspor (FP 06) atau bukan. Hal ini meminimalkan risiko kesalahan pemilihan kode FP.
Kemudian, NITKU pembeli dalam pembuatan faktur pajak dapat dibuat berdasarkan NITKU pusat PKP atau sesuai dengan NITKU penyerahannya. Label NITKU dapat digunakan untuk mengategorikan apakah suatu faktur pajak termasuk penyerahan yang tidak dipungut (FP 07) atau bukan.
Saat penjual memilih NITKU tertentu dari pembeli yang merupakan kawasan bebas maka sistem secara otomatis akan menampilkan kolom PPBJ. Dengan demikian, kesalahan pemilihan kode dan ketentuan alamat pembeli pun dapat diminimalkan.
Optimalisasi kode Barang/Jasa (HS Code) perlu dilakukan dalam pembuatan faktur pajak. HS Code dapat digunakan untuk mengategorikan apakah suatu penyerahan merupakan barang mewah (FP 01) atau bukan barang mewah (FP 04), merupakan penyerahan tertentu (FP 05), mendapatkan fasilitas ditanggung pemerintah (FP 07), atau dibebaskan (FP 08).
Optimalisasi HS Code juga dapat mengurangi kesalahan pembuatan faktur pajak terkait dengan fasilitas yang diberikan atas suatu BKP/JKP. Pembuatan faktur pajak atas penyerahan beberapa BKP/JKP dengan fasilitas yang berbeda juga dapat dicegah dengan optimalisasi HS Code dalam pembuatan faktur pajak secara digital.
Selain itu, optimalisasi HS Code juga dapat memperkaya informasi yang ada dalam faktur pajak. Wajib paja akan dituntut untuk menggunakan HS Code yang sesuai dengan kondisi nyata dan mengurangi penggunaan HS Code 000000.
Sebagai tindak lanjut, penambahan label baru diperlukan untuk optimalisasi data mining. Kolom baru diperlukan untuk menambahkan informasi apakah suatu penyerahan termasuk penyerahan normal, pemakaian sendiri (FP 04), penyerahan aset yang sebelumnya tidak diperjualbelikan (FP 09), atau pun keterangan lainnya (contoh penyerahan melalui balai lelang/tarif lain).
Penambahan label ini juga memperkuat informasi faktur pajak jika dibandingkan dengan saat ini. Saat ini, atas penyerahan BKP/JKP yang dibebaskan atau tidak dipungut yang termasuk kategori pemakiaan sendiri dan penyerahan aset yang sebelumnya tidak diperjualbelikan tidak dapat dilakukan pemisahan secara otomatis.
Dengan penambahan label, atas penyerahan-penyerahan tersebut nantinya akan dapat dikelompokkan lebih lanjut. Tentunya, hal ini mempermudah WP dalam rekonsiliasi dan DJP dalam pengawasan.
Optimalisasi data mining akan mengurangi kompleksitas terkait dengan kode faktur pajak. Optimalisasi data mining dapat terwujud dalam beberapa metode.
Pertama, kompleksitas dapat diatasi dengan memunculkan kode faktur secara otomatis oleh sistem. Berdasarkan label yang telah disematkan dalam pembuatan faktur pajak maka sistem akan melakukan sorting otomatis dan menentukan kode faktur pajak yang sesuai.
Kedua, kode faktur pajak dapat dihapuskan secara keseluruhan dan hanya menampilkan kode nomor unik dan kode status normal/perubahan faktur pajak. Dengan adanya data mining yang optimal, kode faktur pajak menjadi tidak terlalu efektif lagi karena faktur pajak dapat dikategorikan secara otomatis.
Ketiga, pemunculan kode faktur pajak secara otomatis dengan kode faktur pajak disederhanakan menjadi 4 kode. Kode 01, 04, 06, dan 09 dapat disederhanakan menjadi satu kode yang sama. Sedangkan kode 05, 07, dan 08 dapat dikategorikan secara terpisah.
Dalam pelaksanaannya, optimalisasi data mining ini akan memunculkan tantangan bagi Ditjen Pajak (DJP). Penyelarasan sistem dengan aturan menjadi hal yang harus dihadapi oleh DJP.
Pemerintah perlu membangun sistem yang andal agar mampu selaras dengan aturan yang sering berubah. Kehandalan sistem dalam data mining pun perlu dijaga. Optimalisasi terkait HS Code pun menjadi tantangan bagi DJP.
Terkait dengan optimalisasi HS Code, hendaknya juga mempertimbangkan diskusi dengan wajib pajak untuk mengurangi sengketa. Edukasi terkait WAPU PPN bagi bendaharawan, non bendaharawan, dan WP lainnya juga menjadi tantangan bagi DJP.
Dihapusnya WAPU PPN akan cukup merubah proses bisnis bagi beberapa WP. Akan tetapi, seharusnya hal-hal tersebut menjadi cost yang wajar bagi DJP dalam mencapai simplicity dan juga keadilan. (sap)
