Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mendorong negara-negara berkembang untuk mengevaluasi pemberian fasilitas perpajakan seperti tax holiday.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebut pemerintah akan terus mengamati perkembangan pembahasan solusi 2 pilar pajak global. Namun, ia tidak secara spesifik menjelaskan sikap pemerintah terhadap permintaan OECD tersebut.
"Kami nanti lihat bagaimana implementasinya. Namun, yang di OECD memang sudah dirumuskan untuk Pilar 1 dan Pilar 2," katanya, Rabu (12/10/2022).
Suahasil menuturkan fasilitas perpajakan selama ini menjadi salah satu daya tarik yang ditawarkan pemerintah untuk mendatangkan investasi. Di sisi lain, pemberian insentif juga diperlukan untuk mendorong hilirisasi industri.
Pemerintah memberikan fasilitas tax holiday berdasarkan sejumlah ketentuan, terutama soal nilai modal yang ditanamkan. Pada penanaman modal minimum Rp30 triliun, tax holiday yang dapat diberikan mencapai 20 tahun.
Sementara itu, OECD saat ini meminta negara berkembang mengevaluasi pemberian insentif pajak, terutama tax holiday. OECD memperkirakan tax holiday tidak lagi efektif menarik investasi seiring dengan berlakunya pajak minimum global Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) pada 2023.
Pilar 2 memperkenalkan tarif pajak minimum global untuk korporasi sebesar 15% bagi perusahaan dengan pendapatan di atas EUR750 juta.
Dengan pajak minimum global tersebut, negara berkembang berkesempatan untuk menghapus atau mereduksi insentif-insentif yang selama ini tidak efektif menarik investasi dan menggerus basis PPh badan.
Sebagai solusi jangka pendek, OECD mendorong setiap yurisdiksi untuk menerapkan pajak minimum domestiknya sendiri sejalan dengan ketentuan qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT) pada Pilar 2.
Dengan QDMTT tersebut, yurisdiksi dapat mengenakan pajak atas penghasilan yang kurang dipajaki berdasarkan Pilar 2 sebelum yurisdiksi lain mengenakan top-up tax atas penghasilan tersebut. (rig)