PERTENGAHAN Februari lalu, OECD merilis dokumen Pedoman Transfer Pricing atas Transaksi Keuangan. Dokumen ini jelas sangat dinantikan mengingat OECD sudah lama silent mengenai isu tersebut.
OECD Transfer Pricing Guidelines (TPG) – baik versi 1995, 2010, maupun 2017 – belum pernah memberikan perhatian khusus terkait transaksi keuangan. Padahal, pedoman atas transaksi harta tidak berwujud, jasa, kesepakatan kontribusi biaya, serta restrukturisasi usaha telah diatur dalam tiap bab yang berbeda.
Rencananya, dokumen Pedoman Transfer Pricing atas Transaksi Keuangan yang terdiri dari 6 bagian tersebut akan melengkapi OECD TPG 2017. Lima bagian berdiri sendiri menjadi Bab X, sedangkan satu bagian akan menjadi tambahan Bab I.
Lantas, apa inti dokumen tersebut dan bagaimanakah perspektif di Indonesia?
Setidaknya terdapat 10 hal yang bisa disimpulkan dari isi dokumen tersebut. Pertama, pentingnya analisis kewajaran skema transaksi keuangan. Penegasan ini dapat dilihat pada penggunaan jargon –yang juga kerap ditemukan pada OECD TPG 2017 – yaitu accurately delineating the actual transaction.
Jargon itu artinya substansi skema transaksi keuangan yang dilakukan antarafiliasi harus memenuhi kewajaran. Sebagai contoh, apakah transaksi serupa juga dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak berafiliasi? Apakah substansi transaksi tersebut adalah utang dan bukan penyertaan modal?
Kedua, analisis kebandingan. Sama halnya dengan transaksi lainnya, terdapat lima faktor kesebandingan yang diperlukan dalam menerapkan prinsip kewajaran (arm’s length principle/ALP). Kelimanya adalah (i) ketentuan dalam kontrak, (ii) analisis fungsional, (iii) karakteristik instrumen keuangan, (iv) keadaan ekonomi, dan (v) strategi usaha.
Tentu ada karakteristik khusus atas tiap faktor tersebut. Misalkan, pentingnya mengidentifikasi penanggung risiko transaksi keuangan dalam analisis fungsional, tren nilai mata uang dalam keadaan ekonomi, dan sebagainya.
Ketiga, rasionalitas dalam transaksi pinjaman antarafiliasi. Dokumen tersebut menekankan perlunya meninjau rasionalitas dari kedua pihak, baik peminjam dan pemberi pinjaman. Pada pasar terbuka, peminjam umumnya berupaya mencari pilihan pendanaan yang paling realistis dan menghindari risiko. Sementara, pemberi pinjaman akan berpatokan pada risiko gagal bayar dan profil debitur yang tercermin dari credit rating.
Keempat, pentingnya penggunaan credit rating dalam penentuan suku bunga yang wajar. Semakin baik credit rating, umumnya, semakin rendah bunga pinjaman. Ceteris paribus. Mengingat peran sentral credit rating, dokumen ini memberikan penjelasan cara memperoleh dan mengukur credit rating untuk keperluan analisis transfer pricing.
Kelima, penerapan ALP atas stand-alone basis. Relevan dengan pembahasan tentang credit rating, di lapangan kerap terjadi perdebatan mengenai apakah profil risiko peminjam harus selalu diukur secara stand-alone basis (dilihat hanya dari kapasitas keuangan peminjam secara individu) atau justru tidak dapat dilepaskan dari profil risiko grup. Contoh polemik ini dapat dilihat pada kasus sengketa GE Capital, Kanada (Petruzzi, 2016). Sayangnya, dokumen tersebut belum memberikan suatu posisi yang pasti.
Keenam, metode yang disarankan untuk mengukur kewajaran suku bunga pinjaman. Dari lima metode transfer pricing, hanya metode comparable uncontrolled price (CUP) sajalah yang direkomendasikan. Selebihnya justru metode yang biasa diaplikasikan dalam sektor keuangan seperti loan fees and charges, beban pembiayaan, credit default swaps, model ekonomi, serta opini bank.
Ketujuh, aktivitas fungsi treasury. Entitas yang menjalankan fungsi treasury umumnya bertujuan mengoptimalkan likuiditas seluruh anggota grup perusahaan multinasional. Untuk mendukung upaya tersebut, entitas treasury dapat bertindak menjadi pusat aktivitas pendanaan yang berasal dari eksternal (pinjaman, surat berharga, dan sebagainya), menyalurkan pinjaman ke internal, mendesain strategi keuangan, serta menjalin hubungan dengan lembaga pemeringkat kredit. Identifikasi setiap fungsi dan risiko dari entitas treasury tersebut akan turut menentukan besaran kompensasi yang dirasa wajar.
Kedelapan, penerapan ALP atas aktivitas jaminan keuangan (financial guarantee). Dokumen tersebut menjelaskan berbagai aspek, utamanya tentang kaitan antara jenis jaminan (eksplisit atau implisit) dengan kewajaran biaya jaminan. Tidak hanya itu, metode perhitungan kewajaran jaminan dan ilustrasinya juga dipaparkan secara singkat, seperti yield approach, valuasi, dan sebagainya.
Kesembilan, penerapan ALP atas transaksi keuangan lainnya yaitu cash pooling, captive insurance, dan hedging. Dalam dokumen tersebut dijelaskan tentang skema, substansi, analisis risiko, metode, dan contoh penentuan nilai yang wajar atas ketiga transaksi tersebut.
Kesepuluh, isu mengenai risk-free return. Terdapat penegasan bahwa aktivitas transaksi keuangan melalui pendanaan kepada afiliasi belum tentu harus dikompensasi dengan return yang normal-tinggi. Ada kalanya entitas yang menyediakan pendanaan atas suatu kegiatan investasi afiliasi justru tidak dibebankan risiko yang dapat muncul dari investasi tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan analisis fungsional yang detail serta upaya menghitung risk-adjusted rate of return.
Perspektif di Indonesia
SAAT ini, pedoman tentang penerapan ALP pada transaksi keuangan di Indonesia hampir dibilang masih minim. Dokumen hukum yang mengatur hal ini justru berada pada ranah pemeriksaan, yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa (PER-22/PJ/2013), serta Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-50/PJ/2013 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa (SE-50/PJ/2013).
Ketentuan antipenghindaran pajak melalui transaksi keuangan, khususnya pinjaman, lebih dititikberatkan pada ketentuan pembatasan biaya bunga melalui rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio) seperti tercantum pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.10/2015 (PMK 169/2015). Padahal, kedua hal tersebut – aturan DER dan aturan transfer pricing atas transaksi keuangan – bisa saling melengkapi.
Keterkaitan di antara keduanya juga telah disebutkan dalam Pasal 3 ayat (4) PMK 169/2015 yang berbunyi, “Dalam hal wajib pajak mempunyai utang kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa,…biaya pinjaman atas utang kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut harus pula memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha…”
Keterkaitan juga ada dalam Lampiran Bab IV PER-22/PJ/2013 yang berbunyi, “Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan kewajaran dan kelaziman usaha pada transaksi pinjaman intra-grup, antara lain: ….c. melakukan pengujian kewajaran perbandingan utang terhadap modal;…“
Selain itu, absennya pedoman dan tata cara analisis transfer pricing atas transaksi keuangan dapat menyebabkan kebingungan wajib pajak dalam hal dokumentasi. Ketidakpastian tersebut juga berpotensi menimbulkan sengketa transfer pricing yang bersifat arbitrary (Septriadi, 2019). Simak juga ‘Penasaran Soal Transfer Pricing? Download E-Book Ini, Gratis!’.
Padahal, skema pendanaan antarafiliasi – khususnya lintas yurisdiksi – diperkirakan akan meningkat dengan adanya RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Hal ini mengingat bahwa salah satu aspek pengaturan pada RUU tersebut ialah penyesuaian tarif PPh Pasal 26 atas bunga dalam rangka menurunkan cost of fund investor (Darussalam, Septriadi, dan Kristiaji, 2020). Simak artikel ‘Ini Catatan Mengenai RUU Omnibus Law Perpajakan’.
Oleh karena itu, pengaturan mengenai pedoman transfer pricing atas transaksi keuangan seyogyanya perlu dipertimbangkan oleh pemerintah. Di satu sisi, hal tersebut akan mengurangi risiko pengalihan laba. Di sisi lain, akan tercipta kepastian pajak atas skema transaksi keuangan antarafiliasi.*