ERA desentralisasi telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Namun pada praktiknya, implementasi sistem ini tidaklah mudah.
Cukup banyak negara yang gagal atau kesulitan mempertahankan tata kelola pemerintahan yang efektif dalam kerangka desentralisasi tersebut. Lantas, bagaimana gambaran pelaksanaan sistem desentralisasi?
Dua pakar kebijakan fiskal yaitu Jorge Martinez-Vazquez dari Georgia State University dan Francois Vaillancourt dari Universite de Montreal menelusuri pengalaman desentralisasi yang dilakukan selama beberapa dekade terakhir.
Dalam karyanya berjudul Decentralization in Developing Countries: Global Perspectives on the Obstacles to Fiscal Devolution, Vazques dan Vaillancourt mengkaji pengalaman sistem desentralisasi pada 16 negara berkembang di berbagai penjuru dunia. Ā
Buku yang diterbitkan tahun 2011 ini terdiri dari kumpulan esai yang ditulis oleh sekelompok ahli desentralisasi. Seluruh kontributor buku ini telah bekerja sama dengan otoritas pemerintah di berbagai negara dalam mengawal proses desentralisasi secara fundamental.
Masing-masing bagian buku menyuguhkan analisis mendalam mengenai pengalaman berbagai negara berkembang dalam pelaksanaan hingga mempertahankan sistem desentralisasi.
Dari analisis tersebut, Vazques dan Vaillancort kemudian mengidentifikasi tipologi tantangan utama dari pelaksanaan sistem desentralisasi yang dialami oleh berbagai negara.
Pertama, kelemahan mendasar dalam desain tanggung jawab penerimaan dan belanja daerah. Salah satu tantangan yang banyak ditemukan adalah wewenang pemungutan pajak yang terbatas pada level pemerintahan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Buku ini bahkan menemukan negara yang hanya memberikan kewenangan local taxing power hanya untuk satu atau dua jenis pajak. Alhasil, di banyak negara berkembang, pembangunan daerah menjadi bergantung pada dana transfer pemerintah pusat.
Di sisi lain, kekaburan desain kewenangan belanja dan pembiayaan daerah juga menjadi tantangan utama yang dialami berbagai negara. Hal ini tercermin dari adanya dualitas fungsi pemerintah daerah yang di satu sisi merupakan pemegang otoritas tertinggi, tetapi di sisi lain berperan sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Hal ini berkonsekuensi logis terhadap ketidakpastian regulasi yang mengatur mengenai tanggung jawab fungsional.
Kelumpuhan yang disebabkan oleh kegagalan desain desentralisasi sangat terkait dengan tantangan kedua yaitu lemahnya institusi pemerintah pusat. Fenomena ini termanifestasi dalam beberapa dimensi, salah satunya adalah ketidakstabilan politik.
Pergantian rezim, perang saudara, dan berbagai konflik sosial politik lain yang awam terjadi di negara berkembang juga ternyata berimplikasi pada minimnya pengawasan terhadap kinerja desentralisasi di daerah. Ā
Ketiga, tingginya resistensi dari para elit daerah terhadap arsitektur pemerintahan dan otoritas baru. Tantangan tersebut cenderung dirasakan oleh negara yang tengah berada pada fase transisi menuju desentralisasi.
Superiorias elit tersebut menimbulkan minimnya legitimasi publik terhadap rezim pemerintahan yang baru terbentuk. Kekuasaan elit juga dapat membuat lingkaran-lingkaran kekuatan baru di daerah yang dapat menjurus kepada hubungan patronase hingga berbagai praktik penyimpangan.Ā Ā
Jika ditelaah, berbagai tantangan desentralisasi tersebut cenderung berasal dari domain politik dan ekonomi politik. Hal ini wajar terjadi karena desentralisasi sendiri merupakan devolusi kekuasaan yang pada dasarnya berasal dari proses politik.
Lantas, bagaimana kondisi ideal agar desentralisasi dapat berhasil diterapkan? Apa pelajaran utama yang dapat dipetik dari pengalaman negara berkembang yang berhasil mempertahankan sistem desentralisasi? Ā
Buku terbitan Edward Edgar Publishing ini menyuguhkan sebelas preposisi dalam menjawab pertanyaan fundamental mengenai prasyarat utama agar desentralisasi dapat berjalan secara efektif. Tertarik? Silakan Anda baca langsung di DDTC Library. (rig)