PEMAJAKAN sering kali dikaitkan sebagai simbol tunduknya suatu bangsa terhadap bangsa lainnya. Kerajaan yang mengalami kekalahan dalam perang, akhirnya harus membayar upeti atau pajak kepada kerajaan yang menaklukkannya.
Selain itu, pemajakan tanpa adanya perwakilan juga kerap kali dikaitkan dengan simbol ‘penjajahan’ yang pada akhirnya menimbulkan gejolak politik seperti pemberontakan yang akhirnya mengarah pada revolusi seperti yang terjadi di Amerika Serikat.
Namun, apakah pemajakan yang diterapkan oleh bangsa lain selalu berakhir buruk? Apakah ada negara yang justru menjadi makmur karena pajak yang diterapkan oleh bangsa lain? Bagaimana pula sebenarnya sistem pajak yang diterapkan berpengaruh terhadap kemakmuran suatu negara?
Buku berjudul Taxation Without Representation: The History of Hong Kong's Troublingly Successful Tax System ini menawarkan pemahaman yang mendalam bagaimana kemajuan ekonomi di suatu negara dipengaruhi oleh sistem pajak yang dianutnya.
Buku yang ditulis oleh Michael Littlewood ini menjabarkan fakta-fakta seputar penerapan sistem pajak di Hong Kong yang tak banyak diketahui banyak pihak. Dapat dikatakan, sistem pajak di negara tersebut tergolong 'cacat' tetapi berhasil diimplementasikan.
Penulis menyajikan pembahasan berbentuk naratif yang menceritakan sejarah sistem pajak Hong Kong dari tahun 1940, yaitu ketika pajak penghasilan (PPh) pertama kali diperkenalkan di wilayah tersebut.
Kala itu, beban tarif PPh memberatkan bagi banyak warga yang saat itu mengalami ketimpangan ekonomi dan sosial yang tinggi. Kondisi makin buruk manakala Inggris terlibat dalam Perang Dunia II sehingga rakyat Hong Kong makin diperas untuk membiayai perang.
Meski begitu, penerapan sistem pajak di Hong Kong pada akhirnya meraih kesuksesan lantaran dinilai ‘ramah bisnis’ sehingga berhasil menstimulus pertumbuhan ekonomi ditandai dengan meningkatnya pendapatan per kapita Hong Kong secara signifikan di era 1970-an.
Pada awal dekade 1970an, Hong Kong mulai mencapai kestabilan ekonomi. Selang lima tahun, Hong Kong mulai bertransformasi dari salah satu koloni kecil Inggris yang tidak penting menjadi city-state dengan perekonomian yang sebanding dengan negara-negara maju.
Penulis juga membahas bagaimana Hong Kong kembali menghadapi tantangan saat dikembalikan kepada Pemerintah China. Integrasi ekonomi, termasuk aturan pajak tentu tidak mudah karena adanya perbedaan sistem ekonomi dan pajak yang dianut antara Hong Kong dan China.
Saat ini, Pemerintah Hong Kong kerap menghadapi tantangan dari Beijing yang terus berusaha untuk menaikkan tarif pajak terhadap warga kaya. Namun, Pemerintah Hong Kong tetap mempertahankan kebijakan pajaknya yang merupakan warisan kolonial Inggris.
Keberhasilan Pemerintah Hong Kong mempertahankan kebijakan pajak disebabkan adanya perjanjian penyerahan kedaulatan Hong Kong dari London ke Beijing. Dalam perjanjian tersebut, Pemerintah Hong Kong berhak untuk mempertahankan status administrasi khususnya.
Artinya, pemerintah Hong Kong tetap memiliki hak untuk mengatur urusan dalam negerinya sendiri, termasuk bidang perpajakan. Pemerintah China pun membiarkan Hong Kong menjalankan sistem pajak warisan kolonialnya dan menjadikan Hong Kong sebagai tax haven.
Secara keseluruhan, buku yang diterbitkan pada 2010 ini mudah dimengerti meski penjelasan yang dimuat umumnya berbentuk naratif. Setiap penelusuran sejarah didukung oleh penjelasan yang ideal dan mudah dicerna oleh berbagai kalangan pembaca.
Untuk itu, buku yang memuat kisah keberhasilan sistem pajak di Hong Kong ini sangat cocok untuk dijadikan bahan pembelajaran oleh pejabat pemerintah dari berbagai negara serta para pembuat kebijakan.
Selain itu, para akademisi dan masyarakat umum juga dapat menjadikan buku yang diterbitkan oleh Hong Kong University Press ini sebagai bahan pembelajaran. Tertarik membaca buku ini? Silakan baca langsung di DDTC Library. (rig)