Suryo Prasetya Riyadi,
SUDAH lebih dari setahun pemerintah menetapkan negara dalam status darurat Covid-19, tepatnya sejak Keputusan Presiden No. 12 /2020 terbit pada 13 April tahun lalu. Perekonomian mengalami resesi dengan pertumbuhan ekonomi minus 2,07% pada 2020.
Pada kuartal I/2021, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekonomi Indonesia masih terkontraksi 0,7% secara tahunan. Selanjutnya, pada kuartal II/2021, ekonomi rebound dengan capaian pertumbuhan 7,07%.
Perbaikan ekonomi tidak lepas dari kontribusi kinerja fiskal. Pemerintah menganggarkan belanja negara pada 2021 senilai Rp2.750 triliun dengan defisit anggaran mencapai lebih dari Rp1.000 triliun atau 5,70% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Serapan belanja juga sangat bergantung pada pendapatan negara, terutama penerimaan pajak. Dengan target Rp1.229,59 triliun, realisasi penerimaan pajak pada semester I/2021 sudah mencapai 45,36% atau senilai Rp557,77 triliun. Kinerja itu mencatatkan pertumbuhan 4,9% secara tahunan.
Meskipun sudah ada perbaikan, pencarian sumber baru penerimaan pajak tetap harus dilakukan. Dengan adanya sumber baru, pemerintah akan mendapatkan fresh money untuk membiayai program pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Hal tersebut pada gilirannya juga dapat mengurangi ketergantungan pemerintah terhadap pembiayaan atau utang. Pada saat bersamaan, rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) yang tiap tahun makin menurun bisa berbalik meningkat.
Salah satu potensi penerimaan pajak yang masih belum tergali adalah pajak atas aset kripto. Adapun aset kripto merupakan aset komoditas tidak berwujud yang telah legal diperdagangkan dengan dikeluarkannya Permendag No. 99/2018 dan Peraturan Bappebti No. 5/2019.
Pada 2020, pada masa resesi ekonomi, Bappebti mengumumkan nilai transaksi aset kripto di Indonesia mencapai Rp64,97 triliun. Nilai tersebut kemudian melesat lebih dari 5 kali lipat pada awal 2021. Sampai dengan Mei tahun ini, nilai transaksi aset kripto telah mencapai Rp370 triliun.
Mengingat belum adanya ketentuan pajak khusus, dapat dikatakan aset kripto termasuk barang kena pajak (BKP). Apabila kita menggunakan tarif umum pajak pertambahan nilai (PPN) atas transaksi aset kripto, terdapat potensi pajak yang tidak sedikit.
Potensi penerimaan PPN senilai Rp6 triliun pada 2020 dan Rp37 triliun pada tahun ini (hingga Mei). Potensi itu dihitung dengan mengalikan tarif PPN 10% terhadap nilai transaksi. Namun, hal tersebut tentunya akan sangat memberatkan pelaku aset kripto yang diperkirakan mencapai 6,5 juta orang.
Tarif yang cukup realistis dikenakan untuk aset kripto adalah dipersamakan dengan tarif pajak penghasilan (PPh) final atas transaksi penjualan saham, yaitu sebesar 0,1% terhadap nilai transaksi.
Dengan tarif PPh final itu, potensi pajak menjadi lebih kecil, yaitu senilai Rp64,97 miliar pada 2020 dan Rp370 miliar sampai dengan Mei 2021. Jumlah ini menjadi sangat kecil mengingat dalam transaksi saham terdapat pajak atas capital gain dengan tarif PPh Pasal 17 atas penjualan saham pendiri.
Salah satu solusi yang berkeadilan adalah dengan mengenakan tarif atas transaksi aset kripto sebesar 0,05% sebagaimana diusulkan Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo). Namun, akan lebih bijak jika ditambah dengan pajak atas capital gain yang diperoleh seperti kebijakan pemerintah Amerika Serikat.
KEBIJAKAN tersebut perlu dilakukan mengingat sangat sulitnya pengawasan atas transaksi aset kripto. Bagaimanapun, sulitnya pengawasan memunculkan potensi risiko tindakan pencucian uang dan penggelapan pajak yang sangat tinggi.
Transaksi aset kripto dapat dilakukan dengan sangat mudah. Pengguna hanya perlu memasukkan wallet address tertentu. Kemudian, aset kripto akan segera berpindah ke pengguna lain dalam hitungan menit atau detik. Aset kripto tertentu bahkan mengeklaim bisa dikirim tanpa diketahui identitas pengirim dan penerimanya alias berstatus anonim.
Mengingat sangat mudahnya perpindahan aset kripto dari satu entitas ke entitas lain secara anonim, pemerintah perlu membuat regulasi atas penggunaan aset kripto. Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat peran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), terutama untuk mengawasi setiap transaksi yang menggunakan aset kripto.
Pemerintah tentunya juga perlu melakukan kerja sama dengan negara-negara tetangga untuk mengantisipasi upaya penggelapan pajak atau pencucian uang dengan menggunakan aset kripto. Upaya ini dapat dilakukan melalui skema automatic exchange of information (AEoI) yang mencakup transaksi aset kripto.
Untuk melakukan berbagai langkah tersebut, pemerintah membutuhkan sumber daya, terutama biaya, yang tidak sedikit. Namun, biaya itu bisa sepadan mengingat besarnya potensi aset kripto sebagai penyimpanan nilai aset digital pada masa depan sebagaimana diprediksi Goldman Sachs.
Biaya yang dikeluarkan itu terutama dalam rangka upaya pencegahan tindak kejahatan transaksi digital serta pengamanan potensi perpajakan aset kripto pada tahun-tahun mendatang.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.