TAJUK

Mengawal Kebangkitan Ekonomi

Redaksi DDTCNews | Selasa, 22 Desember 2020 | 11:00 WIB
Mengawal Kebangkitan Ekonomi

Aktivitas usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di tengah resesi. (Ilustrasi: DDTCNews)

HINGGA di pengujung tahun ini, roda-roda perekonomian di berbagai penjuru Tanah Air masih melaju pelan. Jalanan belum seramai seperti situasi normal. Mesin-mesin pabrik juga belum semua berputar. Para pelaku usaha dan penganggur yang terpukul pandemi masih menunggu kabar baik.

Singkatnya, belum ada tanda yang jelas kita akan keluar dari kontraksi ekonomi yang memukul dua kuartal terakhir. Memang, ada kabar baik dari inflasi dan vaksin Covid-19 yang segera didistribusikan. Namun pada saat yang sama, jumlah kasus positif Covid-19 terus meningkat.

Hingga Minggu (20/12/2020), akumulasi jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia sejak memukul 10 bulan silam sudah mencapai 658 ribu orang. Sebanyak 536 ribu di antaranya dinyatakan sembuh, 19 ribu lebih dinyatakan meninggal, dan sisanya masih dalam perawatan.

Baca Juga:
Saatnya Memilih! Anda Pembayar Pajak, Jangan Golput!

Memang, kita tidak sendirian dalam menghadapi situasi ini. Pandemi Covid-19 telah menyebar ke hampir seluruh dunia, dengan beragam dampak yang ditimbulkannya. Banyak negara juga mengalami nasib sama. Bahkan ada yang lebih parah, tetapi tentu banyak juga yang lebih baik.

Yang pasti, situasi ini niscaya akan berubah setelah vaksin Covid-19 didistribusikan. Akan muncul optimisme yang membuncah, dengan harapan pandemi ini segera enyah. Karena itu, sebelum hal itu terjadi, kita perlu bersiap untuk mengawal proses kebangkitan ekonomi negeri ini.

Sepanjang tahun ini, kita sudah melihat bagaimana pemerintah juga pelaku usaha berjibaku melakukan penyelamatan ekonomi. Kita melihat berbagai kebijakan di luar kebiasaan.

Baca Juga:
Reformasi Bea Cukai: Proses Bisnis dan Integritas

Kita menjadi saksi bagaimana adanya terobosan fleksibilitas ruang gerak fiskal APBN melalui Perpres. Kita melihat UU Cipta Kerja mengakomodasi bidang perpajakan, hingga dengan sendirinya menghentikan pembahasan RUU Omnibus Law Perpajakan.

Di sisi lain, kita tahu bagaimana pemerintah sedemikian rupa menggeser fungsi pajak dari budgeter ke regulerend dengan menggelontorkan berbagai insentif. Kita juga melihat bagaimana pelaku usaha memutar otak untuk tidak menyerah dengan situasi. Sebagian berhasil, sebagian gagal.

Di bidang penerimaan, resesi ekonomi dengan sendirinya menggiring penerimaan pajak akhir November 2020 terkontraksi hingga 18,55%, relatif sama dengan kontraksi Oktober 18,8%. DDTC Fiscal Research memperkirakan penerimaan pajak hingga akhir tahun mengalami shortfall 3%-9%.

Baca Juga:
2023, Waktunya Evaluasi Desain Insentif Pajak

Demikian juga pertumbuhan ekonomi tahun ini. November lalu pemerintah merilis prediksi minus 1,7%-minus 0,6%. World Bank dan ADB merilis kontraksi lebih dalam, minus 2,2%. Tahun depan, World Bank memproyeksi 3,3% dan ADB 4,5%, lebih rendah dari target APBN 2021 sebesar 5%.

Adapun penerimaan pajak tahun depan ditargetkan tumbuh 2,6% dari target tahun ini. Dalam situasi normal, target ini adalah target yang sangat rendah. Namun, dalam situasi resesi seperti ini, target ini lumayan tinggi. Karena itu, tidak ada kata lain, basis pajak harus terus diperluas.

Untuk tahun depan inilah sebetulnya persiapan kita seharusnya diarahkan. Paling tidak sampai 2023, saat kondisi diniscayakan sudah kembali normal. Pada tahun itu, sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2020, defisit anggaran akan kembali ke bawah 3% terhadap produk domestik bruto.

Baca Juga:
Pemda, Manfaatkan Sisa Setahun

Itu berarti, dengan mengingat tidak adanya batas atas defisit pada UU No. 2 Tahun 2020, kita harus bersiap untuk dapat berlari maraton, bukan lari cepat. Daya tahan anggaran serta kesinambungan keuangan negara harus jadi pegangan. Risiko fiskal penting jadi perhatian.

Dengan penerimaan pajak yang ditarget tumbuh 2,6%, APBN 2021 harus tetap menyimpan napas panjang. Singkatnya, fiskal kita harus disiplin. Jangan sampai, laju defisit ini tidak bisa dikendalikan hingga akhirnya pemerintah terpaksa mengeluarkan perpu lagi menjelang 2023.

Kerangka kebijakan fiskal yang ekspansif-konsolidatif secara seimbang adalah satu hal yang baik. Namun, racikan yang seimbang dalam kadar yang tepat itu tentu bukan soal mudah.

Disiplin fiskal inilah yang harus kita kawal. Sebab hanya dengan cara itu, pemulihan ekonomi bisa berlangsung mulus tanpa menyisakan masalah lain, terutama untuk generasi mendatang.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 13 Februari 2024 | 10:05 WIB SURAT DARI KELAPA GADING

Saatnya Memilih! Anda Pembayar Pajak, Jangan Golput!

Jumat, 14 Juli 2023 | 15:35 WIB TAJUK PAJAK

Hari Pajak, Momentum untuk Mendengar Wajib Pajak

Senin, 30 Januari 2023 | 12:00 WIB TAJUK PERPAJAKAN

Reformasi Bea Cukai: Proses Bisnis dan Integritas

Selasa, 10 Januari 2023 | 11:47 WIB TAJUK PAJAK

2023, Waktunya Evaluasi Desain Insentif Pajak

BERITA PILIHAN
Jumat, 29 Maret 2024 | 14:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Pengajuan Perubahan Kode KLU Wajib Pajak Bisa Online, Begini Caranya

Jumat, 29 Maret 2024 | 13:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu Pajak Air Tanah dalam UU HKPD?

Jumat, 29 Maret 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Perlakuan PPh atas Imbalan Sehubungan Pencapaian Syarat Tertentu

Jumat, 29 Maret 2024 | 10:30 WIB PERMENKOP UKM 2/2024

Disusun, Pedoman Soal Jasa Akuntan Publik dan KAP dalam Audit Koperasi

Jumat, 29 Maret 2024 | 10:00 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Koreksi DPP PPN atas Jasa Pengangkutan Pupuk

Jumat, 29 Maret 2024 | 09:00 WIB KEPATUHAN PAJAK

Batas Waktu Mepet, Kenapa Sih Kita Perlu Lapor Pajak via SPT Tahunan?