ANALISIS PAJAK

Mencermati Isu Withholding Tax pada Transaksi Global Bond

Selasa, 19 Mei 2020 | 06:41 WIB
Mencermati Isu Withholding Tax pada Transaksi Global Bond

Deborah,
DDTC Consulting

SETIDAKNYA terdapat dua cara bagi perusahaan untuk membiayai kegiatan operasional, investasi, maupun pengembangan usaha. Pertama, tentunya dengan menggunakan ekuitas. Kedua, dalam hal ekuitas tidak mencukupi, umumnya perusahaan akan melakukan pinjaman. Pinjaman tersebut dapat bersifat jangka pendek atau menengah. Bahkan, bersifat jangka panjang seperti halnya obligasi (Moorad Choudhry, 2001).

Dalam praktiknya di Indonesia, obligasi dapat dikeluarkan oleh pemerintah maupun korporasi. Tercatat pada tahun 2019, volume perdagangan obligasi dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) adalah sebesar Rp6.902 triliun, sedangkan volume perdagangan obligasi yang diterbitkan oleh korporasi adalah sebesar Rp388 triliun (https://www.ojk.go.id/).

Belum lama ini ramai diberitakan perihal penerbitan obligasi internasional (global bond) oleh pemerintah Republik Indonesia. Global bond tersebut berdenominasi dolar AS dengan nilai sebesar 4,3 miliar.

Penerbitan global bond tersebut bertujuan untuk menambah cadangan devisa negara. Selain itu juga dimaksudkan untuk menambal defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang membengkak karena dampak Covid-19. Berita selengkapnya dapat dibaca di sini.

Selain pemerintah, akhir-akhir ini Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga gencar menerbitkan global bond. Penerbitan global bond yang dilakukan oleh perusahaan pelat merah tersebut tentunya bertujuan untuk memenuhi likuiditas perusahaan di tengah pandemi Covid-19.

Tidak hanya perusahaan BUMN, penerbitan global bond juga seringkali dilakukan oleh perusahaan swasta (perusahaan BUMN maupun swasta untuk selanjutnya disebut dengan korporasi Indonesia). Lebih lanjut, pada umumnya terdapat dua mekanisme penerbitan global bond oleh korporasi Indonesia.

Pertama, korporasi Indonesia bertindak sebagai penerbit global bond untuk kemudian diperjualbelikan di bursa internasional. Kedua, anak perusahaan korporasi Indonesia yang berdomisili di luar negeri yang menjadi penerbit global bond.

Dalam kesempatan ini penulis akan mengulas terkait dengan mekanisme pertama. Yaitu, bagaimana aspek pemotongan pajak (withholding tax) yang timbul dari transaksi global bond yang diperjualbelikan di bursa internasional yang diterbitkan oleh korporasi Indonesia?

Withholding Tax pada Transaksi Global Bond

Imbal hasil bagi pemegang obligasi (bondholder) pada umumnya berbentuk bunga (lihat juga Brealey et. al., 2011 dan Antti Laukkanen, 2007). Sebagaimana kita ketahui, dalam praktiknya di Indonesia, penghasilan atas bunga obligasi dikenai pajak penghasilan (PPh). Rincian besarnya tarif withholding tax atas bunga obligasi dapat dilihat pada infografis berikut ini.

Dalam hal bondholder merupakan subjek pajak luar negeri (SPLN) dan berdomisili di negara yang tidak memiliki perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dengan Indonesia. Ketentuan withholding tax tunduk pada pengaturan PPh Pasal 26 UU PPh, dengan tarif sebesar 20%.

Kendati demikian, apabila bondholder berdomisili di negara mitra P3B serta dapat memberikan surat keterangan domisili wajib pajak luar negeri (SKD WPLN). Tarif withholding tax atas bunga global bond mengacu pada ketentuan P3B. Administrasi SKD WPLN dapat dibaca di sini.

Permasalahannya, dalam penerapannya cukup sulit bagi korporasi Indonesia untuk mendapatkan SKD WPLN dari bondholder. Mengingat global bond tersebut diperjualbelikan di bursa internasional dan jumlah bondholder mungkin saja sangat banyak.  Konsekuensinya, withholding tax atas bunga yang dibayarkan mengikuti ketentuan tarif PPh Pasal 26.

Selain itu, dalam penawaran global bond (offering memorandum) biasanya terdapat klausul bahwa setiap withholding tax yang timbul dari transaksi pembayaran bunga akan ditanggung oleh penerbit (dalam hal ini korporasi Indonesia).

Banyak pihak menilai bahwa tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% tersebut dapat memengaruhi tingkat kompetisi global bond di bursa internasional. Terkait isu ini, pemerintah seyogyanya dapat melakukan kajian ulang perihal berapa tarif withholding tax yang ideal atas transaksi global bond.

Komparasi Tarif Withholding Tax di Beberapa Negara

Setiap negara memiliki kebijakan tarif pajak yang berbeda-beda. Termasuk ketika memajaki penghasilan bunga obligasi yang bersumber dari negaranya untuk dibayarkan kepada SPLN.

Pemerintah Kanada misalnya, membebaskan withholding tax atas bunga obligasi yang diperoleh bondholder yang berstatus SPLN (Michael N. Kandev, 2010). Senada dengan Kanada, pemerintah Hong Kong juga membebaskan withholding tax atas bunga obligasi bagi SPLN (IBFD, 2012).

Berbeda dengan Kanada dan Hong Kong, Korea Selatan mengenakan withholding tax atas bunga obligasi dengan tarif 14% bagi bondholder yang berstatus SPLN (Pasal 16 Act No. 14389). Namun, terdapat tambahan pajak daerah (local income tax/surtax) dengan tarif sebesar 10%. Dengan demikian, umumnya total tarif withholding tax atas bunga obligasi adalah sebesar 15,4% (14%+1,4%).

Tidak jauh berbeda dengan Korea Selatan, Singapura mengenakan tarif 15% bagi bondholder yang berstatus SPLN (IBFD, 2012). Namun demikian, apabila bondholder berdomisili di negara yang memiliki P3B, baik Korea Selatan maupun Singapura mengenakan tarif withholding tax mengacu pada ketentuan P3B yang berlaku.

(Disclaimer)
Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

18 Juni 2021 | 18:51 WIB

Ibu debora, bagaimanakan perhitungan PPh Pasal 26 atas diskonto global bonds dan kapan saat terutangnya?

ARTIKEL TERKAIT

BERITA PILIHAN