KALIMAT seperti “Jangan lupa klik tombol Like & Subscribe” atau “tolong Like & Follow” saat ini mungkin telah menjadi jargon yang akrab didengar di telinga kita.
Bagaimana tidak, platform media sosial terkenal seperti Youtube dan Instagram telah memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk terkenal, sekaligus memperoleh penghasilan yang tinggi. Tak heran, banyak orang menjadikan kegiatan itu sebagai profesi, yang lazim disebut influencer.
Berkat usaha, inovasi, dan kreativitas yang mereka sajikan pada konten tersebut, mereka akan dihargai dan memperoleh pendapatan. Mereka juga signifikan mampu memengaruhi banyak orang atau pengikutnya dalam mengambil keputusan (Brown & Hayes, 2008).
Untuk itu, tak sedikit perusahaan rela membayar mereka (commercial fee) untuk mempromosikan produk usahanya. Menariknya, seorang influencer andal mampu meningkatkan pendapatannya melalui sumber pembayaran lainnya, seperti royalty, sponsorship, dan merchandise.
Namun, sumber pendapatan yang diperoleh seorang influencer beragam dan berasal dari pangsa pasar yang luas (mancanegara) sehingga pada praktiknya sering menimbulkan masalah internasional dalam pemajakannya, seperti timbulnya tax avoidence dan double taxation.
Dengan demikian, perlakuan dan alokasi hak pembagian pemajakan secara adil atas sumber penghasilan dari influencer penting untuk ditangani secara khusus. Isu ini pun menjadi perhatian oleh seorang ahli pajak dari Jerman, Savvas Kostikidis.
Dalam penelitiannya berjudul “Influencer income and Tax Treaties” yang diterbitkan OECD pada 2020 menjelaskan aturan distributif yang berlaku atas penghasilan influencer untuk dapat dialokasikan secara adil, baik oleh negara sumber maupun negara domisili.
Pada penjelasannya, Kostikidis menggambarkan adanya urgensi dari diterbitkannya aturan Pasal 17 OECD Model Tax Convention on Income and Capital tahun 2017 (OECD Model) yang pada akhirnya dapat mendahului Pasal 7 OECD Model.
Awalnya, kewajiban untuk terpenuhinya threshold, seperti keberadaan permanent establishment dan time test yang diatur Pasal 7 OECD, menjadi barrier bagi negara sumber untuk memajaki penghasilan influencer wajib pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan di negaranya.
Akibat Pasal 7 OECD Model, negara-negara domisili menjadi lebih diuntungkan dalam memperoleh hak pemajakannya. Meski begitu, negara domisili juga mengalami kesulitan dalam penerapannya, terutama dalam memperoleh informasi atas penghasilan influencer dari negara sumber. Bahkan, dalam beberapa kasus, ditemukan tak sedikit influencer yang sengaja tak mengungkapkan pendapatannya dari luar negeri di negara tempat tinggalnya.
Berdasarkan hal tersebut, Pasal 17 OECD Model membuka kesempatan besar bagi negara sumber untuk memperoleh hak pemajakan atas penghasilan entertainer dan olahragawan yang melakukan aktivitas di negaranya tanpa memperhatikan syarat sebagaimana diatur pada Pasal 7 OECD Model.
Pemajakan penghasilan influencer di negara sumber juga dapat mencegah adanya potensi penghindaran pajak di negara domisili. Selain itu, dalam Pasal 17 OECD Model juga dapat mencegah terjadinya pajak berganda dalam pemajakan atas penghasilan entertainer dan olahragawan yang dibayarkan melalui suatu perusahaan tertentu (anti avoidance) (Darusalam: 2016).
Menurut Kostikidis, penerapan asas lex specialis derogat legi generali juga memberikan kemudahan dalam alokasi distributif pemberlakuan ketentuan perpajakannya. Sejalan dengan penelitian tersebut, Pasal 7 OECD Model dapat diterapkan jika ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 OECD Model tidak dapat diberlakukan.
Penulis juga mengungkapkan OECD Model tidak memberikan definisi khusus mengenai profesi apa yang dianggap sebagai entertainer sehingga aktivitas penghasilan influencer menjadi dipertanyakan, apakah tercakup di dalam aturan Pasal 17 OECD Model atau tidak.
Menjawab isu tersebut, Kostikidis merujuk dengan dua persyaratan khusus. Pertama, Pasal 17 OECD Model berlaku untuk kategori orang tertentu (the personal scope). Kedua, ketentuan Pasal 17 OECD Model berlaku atas aktivitas yang memiliki efek menghibur (objective scope).
Penulis berpendapat selama aktivitas influencer bertujuan untuk menghibur maka atas penghasilannya berada dalam penghasilan yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 17 OECD Model.
Sebagai tambahan dalam hal ini, konteks tax treaty sebagaimana tertuang dalam penjelasan Pasal 17 OECD Model juga memungkinkan penggunaan interpretasi secara otonom atas istilah yang belum didefinisikan. Berdasarkan Art. 31 Vienna convention on the law treaties 1969, interpretasi dimaksud harus merupakan interpretasi yang disetujui dan diketahui oleh para pihak.
Penelitian yang dilakukan Kostikidis memang menarik sehingga mengundang reaksi pengamat pajak dunia. Salah satunya adalah tanggapan mengenai Pasal 17 OECD Model yang memberikan keuntungan besar bagi negara sumber.
Berbeda dengan Kostikidis, penelitian yang dilakukan Dick Molenaar dan Harald Grams menyatakan pendapatan pajak sesuai dengan pasal 17 OECD Model sangat rendah dan kemungkinan pendapatan pajak ini bisa hilang ketika adanya kredit pajak atas penghasilan penduduknya yang juga dikenakan pasal yang sama di negara lain yang menerapkan (Dick Molenaar dan Harald Grams: 2020).
Saat ini pemajakan atas penghasilan influencer tetap sulit dilakukan di negara sumber. Teknologi saat ini memudahkan mereka untuk memberikan hiburan secara virtual sehingga manfaat dari ketentuan Pasal 17 OECD Model kurang dirasakan oleh negara sumber dalam hal pemajakannya.
Isu ini penting ditangani karena negara sumber umumnya adalah negara berkembang yang penerimaan pajaknya menjadi tulang punggung di negara tersebut, tak terkecuali Indonesia.
Untuk itu, perlu dibuat kebijakan yang sifatnya multilateral (multilateral convention) yang khusus untuk mengatur bagaimana membagi hak pemajakan atas penghasilan influencer yang menggunakan media elektronik. Sebagai penutup, mengikuti jargon yang kerap dipakai influencer, jangan lupa share tulisan ini.
*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya di sini.