Edi Slamet Irianto,
DALAM paradigma klasik, pajak sering kali dimaknai sebagai kontribusi wajib yang dapat dipaksakan dengan tidak memberikan manfaat langsung kepada pembayarnya. Paradigma ini merefleksikan tidak adanya kesetaraan antara kontribusi yang sudah diberikan dan manfaat yang diterima.
Padahal, pada era demokrasi, pembayar pajak sering mempertanyakan manfaat dari pembayaran pajak. Artinya, pembayar pajak ingin mendapatkan apresiasi dari negara dalam bentuk public goods, seperti pelayanan publik yang baik.
Dari perspektif psikologi perpajakan, apresiasi merupakan bentuk penghargaan kepada wajib pajak. Apresiasi sangat penting dilakukan untuk memelihara motivasi pembayar pajak agar terus melakukan pemenuhan kewajiban pembayaran pajak kepada negara.
Sejalan dengan teori psikologi perpajakan, pemberian apresiasi dapat dimaknai ke dalam tiga hal. Pertama, negara atau otoritas perpajakan tidak hanya memperhatikan semua wajib pajak, tapi juga sangat menghargai kepada pembayar pajak patuh.
Kedua, negara membedakan pembayar pajak yang lebih berhak mendapatkan apresiasi sesuai dengan tingkat kepatuhan. Ketiga, penguatan bonding (ikatan) atau relasi antara pembayar pajak dan otoritas perpajakan.
Berdasarkan pada hal tersebut di atas, otoritas perpajakan perlu memikirkan dan melakukan langkah-langkah konkret untuk memenuhi harapan pembayar pajak.
Pelayanan yang diharapkan sebenarnya bukan hanya dari otoritas, tapi juga dari sisi negara secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan relasi perpajakan, yaitu negara – rakyat (pembayar pajak) yang menghendaki kesetaraan dan keadilan pajak.
Prinsip keadilan pajak terdiri atas keadilan vertikal dan horizontal. Keadilan vertikal yang dimaksud adalah makin besar ability to pay (misalnya penghasilan) maka makin besar pajak yang harus dibayarkan. Sementara keadilan horizontal maksudnya penghasilan yang sama besar akan membayar pajak yang sama besarnya.
Prinsip keadilan pajak ini dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan pelayanan yang akan diberikan kepada pembayar pajak. Pembayar pajak yang patuh berhak mendapatkan pelayanan dan fasilitas pajak lebih baik, begitu juga sebaliknya.
Tingkat kepatuhan akan berkorelasi dengan pelayanan yang diberikan. Makin baik tingkat kepatuhan pembayaran pajak maka akan makin baik pula pelayanan yang diberikan.
Otoritas perpajakan dapat belajar dari sektor swasta yang mengkaitkan kualitas jasa pelayanan dan barang yang diberikan dengan harga yang ditetapkan. Metode ini ternyata efektif dalam menyeleksi segmentasi dan memelihara kesetiaan pelanggan.
Paradigma Baru
BELAJAR dari sektor swasta tersebut dan dalam rangka memberikan akselerasi reformasi perpajakan (Perubahan Sistem Inti Administrasi Perpajakan/PSIAP), Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Utara melakukan inovasi pelayanan melalui perubahan paradigma pelayanan pajak.
Dalam paradigma lama, semua wajib pajak berhak mendapatkan pelayanan yang sama. Dengan paradigma baru, manajemen pelayanan akan diubah, yaitu dengan pelayanan berbasis kepatuhan pajak. Artinya, pelayanan atau treatment yang diberikan akan dibedakan berdasarkan klasterisasi pembayar pajak.
Klasterisasi pembayar pajak akan dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, kelompok pembayar pajak baru, yaitu yang terdaftar 0 sampai dengan 3 tahun, ditandai dengan pemegang kartu pembayar pajak warna silver.
Kedua, kelompok pembayar pajak patuh dan cukup patuh, ditandai dengan pemegang kartu pembayar pajak warna biru. Ketiga, kelompok pembayar pajak kurang patuh dan tidak patuh, ditandai dengan pemegang kartu pembayar pajak warna kuning.
Berdasarkan pada hal-hal tersebut di atas maka jenis pelayanan dibedakan sebagai berikut. Pertama, terhadap kelompok pemegang kartu silver akan diberikan pembinaan berupa pengetahuan bisnis, pengetahuan akuntansi perpajakan, dan ketentuan formal perpajakan. Kedua, terhadap kelompok pemegang kartu warna biru akan diberikan sosialisasi dan update ketentuan-ketentuan baru perpajakan.
Ketiga, terhadap kelompok pemegang kartu warna kuning akan diberikan pemahaman dan konsekuensi hukum perpajakan secara mendalam dan menjadi prioritas untuk diperiksa. Pembedaan perlakuan pajak seperti ini pada hakikatnya sejalan dengan konsep Compliance Risk Management (CRM).
Dari perspektif teori ekonomi, paradigma baru pelayanan pajak ini sejalan dengan prinsip-prinsip ekonomi, khususnya prinsip yang menyatakan “people respond to incentives”. Insentif hakikatnya sesuatu yang dapat mempengaruhi seseorang untuk bertindak. Insentif tidak hanya dapat diukur secara tangible, tapi juga intangible.
Karena itu, pelayanan privilege kepada wajib pajak yang patuh (loket biru) akan membantu wajib pajak, baik dari sisi waktu, tenaga, maupun manfaat lain yang bersifat intangible berupa kenyamanan dalam pelaksanaan hak-hak dan pemenuhan kewajiban-kewajiban pajak. Dengan adanya perubahan paradima atau paradigma baru dalam pelayanan pajak ini, diharapkan kepatuhan pajak akan makin meningkat.
Perubahan paradigma ini diharapkan juga bisa menjadi solusi atas kesenjangan yang selama ini terjadi, yaitu tidak linearnya antara kepuasan pelayanan pajak yang diberikan dan pertumbuhan kepatuhan perpajakan.
Untuk itulah, Kanwil DJP Jakarta Utara akan menginisiasi dan mengujicobakan paradigma baru ini secepatnya pada semester II/2021 atau selambat-lambatnya awal 2022.
Diharapkan, paradigma baru dan inovasi kebijakan pelayanan pajak yang digagas Kanwil DJP Jakarta Utara ini dapat menjadi solusi jitu bagi upaya otoritas pajak dalam meningkatkan kepatuhan pajak nasional.
Selain itu, paradigma yang baru juga diharapkan dapat memberi keyakinan tentang manfaat membayar pajak. Langkah ini juga menjadi bentuk konkret apresiasi atau penghargaan kepada pembayar pajak atas kepatuhannya dalam memenuhi kewajiban-kewajiban perpajakan.