PENGENAAN pajak bumi dan bangunan (PBB) terklasifikasi menjadi beberapa sektor, salah satunya sektor perhutanan. PBB sektor ini menjadi kewenangan pemerintah pusat dan pengenaannya diatur melalui Perdirjen Pajak No.PER – 42/PJ/2015. Simak Kamus Beda PBB-P2 dan PBB-P3’
Merujuk Pasal 1 angka 2 PER – 42/PJ/2015, PBB Perhutanan merupakan pajak bumi dan bangunan yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan.
Bumi dalam PBB Perhutanan tersegmentasi menjadi areal yang dikenakan PBB dan yang tidak dikenakan. Areal tersebut dapat berupa areal produktif, belum produktif, dan tidak produktif, pengaman dan emplasemen. Lantas apa yang dimaksud dengan areal-areal itu?
Definisi
DITINJAU berdasarkan fungsinya, dalam Pasal 6 UU Kehutanan, pemerintah membagi hutan menjadi 3 jenis, yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Merujuk Pasal 3 ayat (1) UU PBB, hutan konservasi dan hutan lindung tidak dikenakan PBB karena non-objek pajak.
Untuk itu, hutan yang disasar dalam PBB Perhutanan hanyalah hutan produksi. Hutan produksi ini kemudian dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu hutan tanaman dan hutan alam. Simak Kamus ‘Apa Itu Hutan Produksi, Tanaman, dan Alam dalam PBB Perhutanan?’
PBB Perhutanan ini menyasar bumi dan bangunan yang berada di dalam kawasan kegiatan usaha perhutanan. Secara lebih terperinci, untuk bumi yang dikenakan PBB Perhutanan dapat berupa 5 areal. Pertama, areal produktif. Merujuk Pasal 1 angka 8 PER-42/PJ/2015, areal produktif adalah:
“Areal yang telah ditanami pada hutan tanaman, areal blok tebangan pada hutan alam dengan izin pemanfaatan/pemungutan hasil hutan kayu, dan areal blok pemanenan pada hutan alam dengan izin pemanfaatan/pemungutan hasil hutan bukan kayu.”
Kedua, areal belum produktif. Berdasarkan Pasal 1 angka 9 PER-42/PJ/2015, areal belum produktif didefinisikan sebagai berikut:
“Areal yang belum ditanami berupa areal yang belum diolah dan/atau areal yang sudah diolah pada hutan tanaman, areal yang dapat ditebang selain blok tebangan pada hutan alam dengan izin pemanfaatan/pemungutan hasil hutan kayu, dan areal yang dapat dipanen selain blok pemanenan pada hutan alam dengan izin pemanfaatan/pemungutan hasil hutan bukan kayu.”
Definisi dari areal produktif dan belum produktif tersebut juga merepresentasikan jenis-jenis areal sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 ayat (1) PER-42/PH/2015. Ketiga, areal tidak produktif. Mengacu Pasal 1 angka 10, areal tidak produktif adalah:
“Areal yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan yang tidak dapat diusahakan untuk kegiatan usaha perhutanan, antara lain berupa sungai, zona penyangga (buffer zone), kawasan perlindungan setempat, areal hutan IUPHHK-RE yang belum tercapai keseimbangan ekosistem dan belum ada pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, areal hutan yang ditetapkan sebagai hutan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value Forest), serta areal yang diduduki oleh pihak ketiga secara tidak sah.”
Adapun IUPHHK-RE merupakan singkatan dari Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem. Sesuai dengan Pasal 1 angka 7 PER-42/PJ/2015, IUPHHK-RE diartikan sebagai berikut:
“Izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan, dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora, dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur nonhayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.”
Keempat, areal pengaman, sesuai dengan Pasal 1 angka 11, yaitu areal yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan yang dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman kegiatan usaha perhutanan, antara lain berupa log ponds, log yards, tempat pengumpulan hasil panen, jalan, kanal, parit dan tanggul.
Mengacu pada Angka 1 Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE – 73/PJ.6/1999, log ponds adalah areal perairan yang digunakan untuk tempat penimbunan kayu. Sementara itu, yang dimaksud dengan log yards adalah areal daratan yang digunakan untuk penimbunan kayu.
Kelima, areal emplasemen, sesuai dengan Pasal 1 angka 12, adalah areal yang di atasnya dimanfaatkan untuk bangunan dan/atau pekarangan serta fasilitas penunjangnya. Adapun jenis-jenis areal ini akan memengaruhi perhitungan PBB Perhutanan.
Hal ini lantaran tiap areal memiliki cara penentuan nilai bumi yang berbeda. Adapun nilai bumi merupakan salah satu unsur untuk menghitung Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Lebih lanjut, NJOP merupakan komponen pokok dalam perhitungan PBB Perhutanan.
Misalnya, nilai bumi areal belum produktif ditentukan melalui perbandingan harga tanah yang ada di sekitarnya. Sementara itu, nilai bumi untuk areal tidak produktif ditetapkan dengan Keputusan Dirjen Pajak.
Selain itu, dalam perhitungan PBB Perhutanan juga dipengaruhi jenis hutan produksi. Hal ini berkaitan dengan Standar Investasi Tanaman (SIT) dan angka kapitalisasi. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan PBB Perhutanan dapat disimak dalam UU PBB dan PER-42/PJ/2015.
Simpulan
PBB Perhutanan merupakan pajak bumi dan bangunan yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan. Bumi dalam PBB perhutanan tersegmentasi menjadi 5 areal.
Areal tersebut meliputi areal produktif, belum produktif, tidak produktif, pengaman dan emplasemen. Setiap areal memiliki definisi dan cakupan yang berbeda. Perbedaan areal ini memengaruhi tata cara perhitungan PBB Perhutanan karena cara menentukan nilai buminya berbeda. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.