BERITA PAJAK HARI INI

Masuk Omnibus Law, Batas Atas Denda Kepabeanan Bakal Dipangkas

Redaksi DDTCNews | Jumat, 06 Desember 2019 | 09:15 WIB
Masuk Omnibus Law, Batas Atas Denda Kepabeanan Bakal Dipangkas

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah akan menurunan batas atas sanksi administrasi berupa kepabeanan bagi pelaku usaha yang tercatat kurang bayar bea masuk maupun bea keluar. Rencana pemerintah tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Jumat (6/12/2019).

Rencana pemerintah akan dimasukkan dalam rancangan omnibus law perpajakan. Rencananya, batas atas denda kepabeanan akan dipangkas dari 1.000% yang berlaku saat ini menjadi 400%. Hal ini dilakukan untuk menyamakan tarif denda dalam konteks perpajakan.

“Di aturan perpajakan, sanksi paling tinggi empat kali lipat. Alhasil, beleid denda kepabeanan sebelumnya jadi tidak in line. Padahal, aturan kepabeanan satu rumpun dengan pajak, harus seirama,” kata Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi.

Baca Juga:
Begini Imbauan Ditjen Pajak soal Perpanjangan Penyampaian SPT Tahunan

Sebelumnya, pemerintah menambah layer pengenaan sanksi kepabeanan. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 39/2019 tentang Perubahan PP No.28/2008 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan.

Dalam regulasi terbaru, layer pengenaan denda menjadi 10, lebih banyak dari semula 5 layer. Namun, sanksi tertinggi tetap 1.000%. Penambahan layer dikarenakan ada keluhan pengenaan sanksi 1.000% sangat mudah dikenakan.

Dengan masuknya ketentuan terkait sanksi administrasi di bidang kepabeanan ini, omnibus law perpajakan juga akan mengubah beberapa pasal dalam Undang-Undang Kepabeanan.

Baca Juga:
Catat! Ini Beda Layanan Bea Cukai, Imigrasi, dan Karantina Kesehatan

Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti International Tax Conference yang mengambil tema 'Global Tax Reform: An Ambitious Dream?' di Mumbai, India. Konferensi yang diikuti 11 delegasi DDTC ini dibuka dengan pemaparan maraknya aksi unilateral terkait pajak ekonomi digital.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Terlalu Tinggi

Kasubdit Komunikasi dan Publikasi Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Deni Surjantoro mengatakan masuknya ketentuan terkait sanksi administrasi kepabeanan dalam omnibus law perpajakan sebagai upaya penyempurnaan regulasi saat ini yang dirasa kurang efektif.

Baca Juga:
Diskon Tarif Pajak Pasal 31E UU PPh di e-Form, DJP Ungkap Caranya

Pasalnya, denda kepabeanan bagi eksportir maupun importir karena kurang bayar bea masuk dan bea keluar terlalu tinggi. Hal ini justru membuat pengusaha yang terkena denda menunggak pembayarannya. Para pengusaha itu biasanya dari industri pengolahan hingga otomotif.

  • Strategi Relaksasi-Partisipasi

Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan salah satu aspek pokok yang ingin dituju dengan omnibus law perpajakan adalah percepatan pertumbuhan ekonomi melalui relaksasi sejumlah regulasi yang berlaku saat ini.

Namun demikian, dia mengingatkan agar relaksasi pajak harus bisa berdampak pada dua sisi, baik wajib pajak maupun pemerintah atau Indonesia secara menyeluruh. Dia mengusulkan agar ada strategi baru ‘relaksasi-partisipasi’.

Baca Juga:
Apa Itu Surat Pemberitahuan Jalur Merah?

Dengan strategi tersebut, relaksasi pajak harus dilakukan secara bersyarat dan mengharapkan timbal balik berupa partisipasi masyarakat dalam sistem pajak. Adapun relaksasi dalam sistem pajak mencakup hukum, kebijakan, dan administrasi.

  • Muncul Risiko Perang Dagang

President International Fiscal Association (IFA) Murray Clayson mengatakan aksi unilateral terkait pajak digital justru terus menyebar menjelang tenggat pencapaian konsensus global di bawah koordinasi OECD. Inggris juga berencana memberlakukan pajak layanan digital pada April 2020.

Sayangnya, beberapa aksi unilateral ini dinilai Amerika Serikat (AS) sebagai langkah diskriminatif terhadap raksasa digital asal Negeri Paman Sam. Oleh karena itu, di bawah Presiden Donald Trump, AS berencana melakukan aksi balasan dari sisi tarif perdagangan.

Baca Juga:
DJBC Sebut Fasilitas ATA Carnet Bisa Dimanfaatkan untuk Produksi Film
  • Siapkan Aksi Sepihak

Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan upaya untuk mencapai konsensus global terkait pajak digital memang tengah menghadapi tantangan. Hal ini dikarenakan setiap yurisdiksi memiliki kepentingan hak pemajakan dan porsi pajaknya.

“Apabila konsensus global tidak menguntungkan posisi Indonesia, Indonesia dapat membuat aksi sepihak untuk memajaki ekonomi digital,” ujarnya. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 19 April 2024 | 08:00 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Begini Imbauan Ditjen Pajak soal Perpanjangan Penyampaian SPT Tahunan

Kamis, 18 April 2024 | 08:53 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Diskon Tarif Pajak Pasal 31E UU PPh di e-Form, DJP Ungkap Caranya

Rabu, 17 April 2024 | 17:30 WIB KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu Surat Pemberitahuan Jalur Merah?

BERITA PILIHAN
Jumat, 19 April 2024 | 18:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT atas Makanan dan Minuman?

Jumat, 19 April 2024 | 17:45 WIB KEANGGOTAAN FATF

PPATK: Masuknya Indonesia di FATF Perlu Diikuti Perbaikan Kelembagaan

Jumat, 19 April 2024 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Meski Tidak Lebih Bayar, WP Tetap Bisa Diperiksa Jika Status SPT Rugi

Jumat, 19 April 2024 | 16:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jokowi Segera Bentuk Satgas Pemberantasan Judi Online

Jumat, 19 April 2024 | 16:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Jangan Diabaikan, Link Aktivasi Daftar NPWP Online Cuma Aktif 24 Jam

Jumat, 19 April 2024 | 15:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Kring Pajak Jelaskan Syarat Piutang Tak Tertagih yang Dapat Dibiayakan

Jumat, 19 April 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Persilakan WP Biayakan Natura Asal Penuhi 3M