BERITA PAJAK HARI INI

Opsen Pajak Resmi Berlaku! Peluang Tambahan Penerimaan Pemkab/Pemkot

Redaksi DDTCNews
Senin, 06 Januari 2025 | 09.19 WIB
Opsen Pajak Resmi Berlaku! Peluang Tambahan Penerimaan Pemkab/Pemkot

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Ketentuan opsen pajak kendaraan bermotor (PKB), opsen bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), serta opsen pajak mineral bukan logam dan bantuan (MBLB) resmi berlaku per 5 Januari 2025. Kebijakan tersebut membuka ruang tambahan penerimaan bagi pemerintah kota atau kabupaten. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan utama media nasional pada hari ini, Senin (6/1/2025). 

Kebijakan mengenai opsen pajak daerah diatur dalam UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD)

Pasal 1 angka 61 UU HKPD mendefinisikan opsen sebagai pungutan tambahan menurut persentase tertentu. Opsen PKB dan opsen BBNKB adalah opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota sebesar 66% dari pokok PKB dan BBNKB.

"Opsen dipungut secara bersamaan dengan pajak yang dikenakan opsen," bunyi Pasal 84 ayat (1) UU HKPD.

Besaran pokok opsen PKB dan opsen BBNKB ditetapkan oleh gubernur di wilayah kabupaten/kota berada dan dicantumkan dalam surat ketetapan pajak daerah (SKPD). Opsen dibayar menggunakan surat setoran pajak daerah (SSPD).

Pembayaran opsen PKB dan opsen BBNKB ke kas kabupaten/kota dilakukan bersamaan dengan pembayaran PKB dan BBNKB ke kas provinsi melalui mekanisme split payment secara otomatis.

Adapun opsen pajak MBLB adalah opsen yang dikenakan oleh provinsi sebesar 25% dari pokok pajak MBLB. Penghitungan, pembayaran, dan pelaporan opsen pajak MBLB dilakukan bersamaan dengan penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak MBLB.

Pembayaran opsen pajak MBLB ke kas provinsi dilakukan bersamaan dengan pembayaran pajak MBLB ke kas kabupaten/kota dalam SSPD pajak MBLB melalui mekanisme split payment secara otomatis.

Opsen Tak Tambah Beban Wajib Pajak

Secara umum, opsen pajak tidak menambah beban administrasi pajak bagi wajib pajak. Walaupun objek pajak bertambah, jumlah pajak yang dibayarkan oleh masyarakat relatif tidak berubah. 

Harian Bisnis Indonesia pada hari ini membuat simulasi perhitungan opsen pajak daerah ini. Tidak adanya penambahan beban pajak bagi masyarakat disebabkan penurunan tarif PKB dari 2% menjadi 1,2%, sesuai dengan UU HKPD. 

Implementasi opsen pajak ini merupakan mekanisme bagi hasil oleh pemerintah provinsi kepada pemerintah kota atau kabupaten. Simulasi yang dilakukan menunjukkan jumlah pajak yang harus dibayar masyarakat justru menurun. Di sisi lain, penerimaan bagi pemerintah kota dan kabupaten justru bertambah ketimbang sebelum opsen diterapkan. 

Kebijakan opsen ini membuat pemerintah daerah menerapkan target tax ratio (local taxing ratio) mencapai 3%. 

Hanya saja, perlu dicatat bahwa tambahan penerimaan bagi pemerintah kota dan kabupaten ini bisa saja stagnan lantaran ada kebijakan lain yang mengompensasi penerapan opsen pajak daerah, yakni pemberian insentif oleh pemda. 

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 900.1.3.1/6764/SJ menginstruksikan bagi pemda untuk memberikan keringanan dasar pengurangan opsen PKB dan BBNKB. Hal ini berpotensi justru mereduksi pendapatan asli daerah (PAD) ke depannya. 

Selain informasi mengenai opsen pajak daerah, masih ada ulasan topik lain yang mengisi berbagai headline media massa pada hari ini. Sebagian besar masih membahas mengenai kebijakan PPN 12% dan aturan turunan yang sudah terbit, yakni Peraturan Dirjen Pajak PER-1/PJ/2025 mengenai pembuatan faktur pajak. 

Berikut ulasan artikel perpajakan selengkapnya. 

Aturan Baru Faktur Pajak, Ada Masa Transisi

DJP menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 guna memberikan petunjuk teknis terkait penerbitan faktur pajak untuk pelaksanaan PMK 131/2024.

Peraturan dirjen tersebut ditetapkan guna memenuhi aspirasi masyarakat dan pelaku usaha yang membutuhkan waktu untuk menyesuaikan sistem administrasi penerbitan faktur pajak. PER-01/PJ/2025 juga turut memuat tata cara pengembalian PPN yang kelebihan dipungut.

"Untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha tersebut, telah diterbitkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 tanggal 3 Januari 2025 yang intinya memberikan masa transisi selama 3 bulan yaitu sejak 1 Januari 2025 sampai 31 Maret 2025," tulis DJP dalam keterangan resminya. (DDTCNews)

Pokok-Pokok Aturan PER-1/PJ/2025

Ada 3 pokok ketentuan yang tertuang dalam PER-1/PJ/2025. Pertama, pemerintah menyadari bahwa terdapat kebutuhan dari pelaku usaha untuk dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam PMK 131/2024, antara lain terkait dengan penyesuaian sistem administrasi wajib pajak dalam menerbitkan faktur pajak dan cara pengembalian pajak jika PPN sebesar 12% telanjur dipungut yang seharusnya adalah sebesar 11%.

Kedua, untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha tersebut, telah diterbitkan PER-1/PJ/2025 yang intinya memberikan masa transisi selama 3 bulan, yaitu sejak 1 Januari 2025 sampai 31 Maret 2025, dengan pengaturan sebagai berikut.

  • Pelaku usaha diberi kesempatan untuk menyesuaikan sistem administrasi wajib pajak dalam menerbitkan faktur pajak sebagaimana diatur dalam PMK 131/2024.
  • Faktur pajak yang diterbitkan atas penyerahan selain barang mewah dengan mencantumkan nilai PPN terutang sebesar:
  1. 11% dikali dengan harga jual (seharusnya 12% x 11/12 x harga jual); atau
  2. 12% dikali dengan harga jual (seharusnya 12% x 11/12 x harga jual), dianggap benar dan tidak dikenakan sanksi.

Ketiga, dalam hal terjadi kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% dari yang seharusnya 11% tetapi telanjur dipungut sebesar 12%, diberikan pengaturan sebagai berikut:

  • Pembeli dapat meminta pengembalian kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% kepada penjual.
  • Atas permintaan pengembalian kelebihan PPN tersebut, pengusaha kena pajak (PKP) penjual melakukan penggantian faktur pajak. (DDTCNews)

Aturan PPN 12% Masih Beri Kerancuan

Skema yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mengimplementasikan tarif efektif PPN sebesar 11% atas barang dan jasa nonmewah dipandang telah menimbulkan kerancuan.

Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengatakan dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian sebagaimana dimaksud dalam PMK 131/2024 justru menimbulkan kebingungan dan kerancuan bagi wajib pajak.

"Sudah seharusnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam hal ini Ditjen Pajak (DJP) membuat peraturan dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak menimbulkan multitafsir, dan tetap menggunakan mekanisme penyusunan peraturan yang seharusnya," ujar Misbakhun. (DDTCNews)

Sepekan Coretax, Perbaikan Terus Berjalan

DJP resmi mengimplementasikan sistem inti administrasi perpajakan atau coretax administration system pada 1 Januari 2025.

Meski penerapan coretax sudah dimulai, DJP menegaskan sistem tersebut masih akan terus dipantau dan disempurnakan. Hal ini dikarenakan DJP masih menemukan tantangan dalam penggunaan sistem baru tersebut.

"Saat ini, kami terus melakukan perbaikan, termasuk pada server, antarmuka pengguna, dan sinkronisasi data agar layanan ini semakin optimal," bunyi cuitan DJP di media sosial X.

Pernyataan DJP tersebut disampaikan untuk merespons warganet yang masih menghadapi kesulitan saat mengakses coretax system. (DDTCNews)

Pemerintah Mulai Siapkan Tax Amnesty

Pemerintah mengungkapkan rencana untuk kembali menggulirkan program pengampunan pajak (tax amnesty).

Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Budi Gunawan mengatakan Indonesia telah berhasil melaksanakan 2 kali tax amnesty. Menurutnya, tax amnesty menjadi mekanisme yang dipertimbangkan Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan kesempatan kepada orang kaya yang belum tuntas mendeklarasikan hartanya.

"Ini salah satu mekanisme memang sedang disiapkan untuk memberi ruang, sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Presiden, mereka-mereka yang ingin mengembalikan hasil-hasil kekayaan mereka yang ada, baik itu di dalam dan di luar negeri, melalui mekanisme tax amnesty," katanya. (DDTCNews) (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.