RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa koreksi positif dasar pengenaan pajak (DPP) atas barang hasil produksi yang rusak dan belum dipungut pajak pertambahan nilai (PPN).
Otoritas pajak melakukan koreksi berdasarkan pada hasil pengujian arus barang. Dari penghitungan tersebut, otoritas pajak menemukan fakta terdapat penyerahan barang kena pajak (BKP) yang belum dilaporkan dan belum dipungut PPN. Oleh karena itu, otoritas pajak melakukan koreksi positif atas DPP PPN.
Sebaliknya, wajib pajak tidak setuju dengan pernyataan otoritas pajak. Wajib pajak menjelaskan BKP tersebut sudah rusak dan tidak dapat digunakan lagi, apalagi dijual. Oleh karena itu, tidak ada penyerahan BKP atas barang rusak tersebut. Dengan tidak adanya penyerahan BKP, wajib pajak seharusnya tidak perlu memungut PPN.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan ID.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai koreksi positif atas DPP PPN yang ditetapkan oleh otoritas pajak tidak dapat dipertahankan.
Menurut Majelis Hakim Pengadilan Pajak, barang produksi yang sudah rusak tidak dapat dijual lagi. Dalam hal ini, wajib pajak juga sudah menunjukkan bukti keberadaan barang rusak tersebut. Dapat dibuktikan bahwa tidak terjadi penyerahan BKP atas barang rusak tersebut sehingga tidak ada PPN yang harus dipungut.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 37781/PP/M.VIII/16/2012 tanggal 23 April 2012, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis kepada Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 6 Agustus 2012.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif atas penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri senilai Rp185.714.277. Terhadap koreksi tersebut tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa Termohon PK memproduksi barang quartz blank crystal yang berbentuk seperti lembaran plastik sehingga sangat rentan mengalami kerusakan.
Dalam proses produksi tersebut, memang terdapat barang yang tidak rusak dan juga barang yang rusak. Adapun terhadap barang yang rusak tersebut tidak dapat digunakan ataupun dijual kepada pihak lain.
Mengacu pada situasi tersebut, Pemohon PK melakukan koreksi positif PPN berdasarkan pengujian arus barang. Sesuai dengan pengujian arus barang tersebut, Pemohon PK menemukan fakta terdapat penyerahan BKP yang belum dilaporkan oleh Termohon PK.
BKP yang belum dilaporkan tersebut ialah terkait barang yang dinyatakan rusak oleh Termohon PK. Menurut Pemohon PK, jumlah barang yang rusak terlalu banyak dan tidak wajar terjadi di perusahaan manufaktur. Adapun jumlah barang yang rusak yaitu 58,18% dari total penjualan.
Di samping itu, Pemohon PK tidak setuju dengan pernyataan Termohon PK yang mengatakan bahwa terdapat barang hasil produksinya yang tidak dijual karena sudah rusak. Adapun barang dinyatakan rusak karena terdapat goresan atau bentuk yang tidak sempurna.
Berdasarkan pada fakta dan temuan di atas, Pemohon PK menyimpulkan bahwa penyerahan yang belum dilaporkan tersebut merupakan penjualan di dalam daerah pabean. Sesuai dengan Pasal 4 UU PPN 2000, penyerahan BKP yang dilakukan di dalam daerah pabean oleh pengusaha kena pajak harus dikenakan PPN. Dengan demikian, Pemohon PK tetap mempertahankan pendapatnya atas koreksi positif PPN yang harus dipungut sendiri.
Sebaliknya, Termohon PK tidak setuju dengan koreksi DPP PPN yang ditetapkan Pemohon PK. Termohon PK mengatakan terdapat barang hasil produksinya yang tidak melalui proses penyerahan. Sebab, barang tersebut sudah rusak secara fisik sehingga tidak dapat digunakan sama sekali apalagi dijual.
Dalam hal ini, Termohon PK juga sudah menunjukkan bahwa barang rusak tersebut masih berada di area pabrik. Artinya, tidak terdapat penyerahan BKP atas barang yang sudah rusak. Dengan kata lain, Termohon PK juga tidak perlu memungut PPN atas barang yang dinyatakan rusak tersebut. Berdasarkan pada uraian di atas, koreksi yang dilakukan Termohon PK tidak beralasan sehingga harus dibatalkan.
MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah tepat dan benar. Adapun terhadap perkara ini, terdapat 2 pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, alasan koreksi positif yang ditetapkan oleh Pemohon PK tidak dapat dibenarkan. Sebab, dalil-dalil yang diajukan oleh Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta dan melemahkan bukti yang terungkap di persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Kedua, Mahkamah Agung berpendapat barang yang rusak secara fisik akibat adanya scratch atau goresan memang tidak dijual sehingga tidak terjadi penyerahan BKP. Dalam hal ini, Termohon PK telah memperlihatkan barang yang rusak tersebut kepada Pemohon PK. Sementara itu, Pemohon PK melakukan koreksi tanpa didukung dengan bukti yang memadai.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menilai permohonan PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.