Mr. Sjafruddin Prawiranegara.
"Tidak Usah! Saudara Tidak Usah Membayar Pajak!"
SERUAN lantang bercampur kesal itu dilontarkan oleh seorang pejabat tinggi Kantor Inspeksi Pajak yang beroperasi di bawah Zaimubu Shuzeikaco, Kementerian Keuangan era pendudukan Jepang. Sasarannya, seorang pengurus koperasi di Kota Bandung berparas inlander, pribumi tulen.
Mata orang-orang yang baru masuk di salah satu ruangan Societeit Concordia itu barangkali sudah melotot keheranan. Orang mau bayar pajak kok malah dilarang. Aneh!
Tapi beda cerita bagi mereka yang sudah berada di sana sejak satu jam sebelumnya. Seisi ruangan pasti memaklumi amarah yang diletupkan si kepala kantor. Hulu dari rentetan umpatan kedongkolan itu adalah seorang warga Jepang yang dengan congkak menolak membayar pajak.
Selang beberapa waktu sebelumnya, di ruangan yang sama, saling lempar argumen berlangsung antara Kepala Kantor Inspeksi Pajak Bandung dengan seorang warga Jepang. Penjajah tulen memang. Sudah mengisap darah rakyat, menolak bayar pajak. Mau enaknya saja!
Setelah debat kusir yang tidak panjang-panjang amat, warga Jepang itu melenggang pergi meninggalkan bangunan art deco di seberang De Vries itu tanpa sepeserpun menyetor pajaknya. Siapa juga yang tak kesal dengan kejadian macam itu?
"Orang Jepang tadi itu pun tidak mau membayar pajak. Kalau mereka tidak membayar pajak, mengapa lalu orang Indonesia harus membayarnya?" omel si kepala kantor kepada pengurus koperasi yang barangkali sudah terbengong-bengong mukanya. Yang salah siapa, yang kena marah siapa.
Cuplikan adegan itu menjadi salah satu bentuk kejengkelan kelompok pribumi terhadap Jepang. Mulanya, masyarakat Nusantara menyambut penuh harap kedatangan Negeri Matahari Terbit dengan teriakan Banzai!
Rakyat ikut bersorak saat muncul janji mereka untuk memerdekakan Indonesia. Tapi ujungnya, bukannya mujur malah ajur. Jepang dirasa lebih ganas dari Belanda.
Dialah Sjafruddin Prawiranegara, si Kepala Kantor Inspeksi Pajak Bandung yang emosinya tak terbendung menghadapi kesombongan warga Jepang yang menolak membayar pajak. Meski karirnya dibangun dengan sikap kooperatif bersama pemerintahan kolonial, batinnya tetap menolak praktik pendudukan, baik Belanda atau Jepang.
Sjafruddin muda memang tidak begitu berminat untuk bersinggungan langsung dengan politik pergerakan nasional. Adik kelas Sutan Sjahrir di Algemenee Middelbare School ini memilih fokus pada pendidikannya dan kemudian bekerja sebagai seorang pegawai negeri. Terkagum-kagum dengan kisah Robinson Crusoe, anak muda keturunan Minang-Banten ini kemudian bertekad masuk ke sekolah tinggi di Batavia.
Baginya, kemerdekaan perlu syarat mutlak: sumber daya manusia yang siap. Artinya, Indonesia harus menyerap secara maksimal ilmu yang ditawarkan Belanda sebelum secara penuh menjalankan pemerintahannya sendiri.
Kendati begitu, kecintaannya terhadap cikal bakal republik tidaklah nihil. Sjafruddin sempat berseberangan dengan salah satu profesornya di Rechthoogeschool te Batavia, Profesor Eggens. Eggens dinilai merendahkan budaya bumiputra karena menyebut kalau Bahasa Indonesia tidak akan menjadi bahasa pengajaran di lingkungan pendidikan. Disebutnya Bahasa Indonesia sebagai bahasa primitif.
Ejekan dibalas ejekan. Lewat organisasi kemahasiswaan Unitas Studiosorum Indonesia (USI), Sjafruddin menjuluki Eggens sebagai Een Holandse Kwajongen! Terjemahannya, seorang Belanda yang bergajul dan bodoh.
Kampus RHS pun heboh. Pihak senat memanggil dan meminta Sjafruddin meminta maaf kepada sang profesor. Minta maaf baginya mudah saja, tapi ada syaratnya. Eggens harus lebih dulu menyampaikan maafnya kepada Bangsa Indonesia, khususnya kepada mahasiswa bumiputera di RHS.
Begitulah Sjafruddin. Meski awal mula menahan diri masuk ke periuk pergerakan nasional, ujungnya kecemplung juga. Selama bertugas di Bandung sebagai Kepala Kantor Inspeksi Pajak, Sjafruddin kerap berdiskusi dengan tokoh pergerakan seperti Oto Iskandar di Nata, Oekar Bratakoesoemah, M Natsir, hingga Abdul Haris Nasution.
Seiring dengan mendidihnya pergerakan menuju kemerdekaan, kekesalan seorang Sjafruddin kepada penjajah makin terpupuk. Pada 24 Agustus 1945, ia didapuk memimpin Sekretariat Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Priangan. Dalam rapat-rapatnya, Sjafruddin mencetuskan usulan agar dikerahkan massa rakyat guna menonjolkan dukungan rakyat terhadap proklamasi kemerdekaan. Dia juga mendorong Wakil Presiden Mohammad Hatta agar segera menerbitkan mata uang sendiri, Oeang Repoeblik Indonesia (ORI).
Kiprah Sjafruddin dalam usaha mempertahankan kemerdekaan pun tak surut. Dilahapnya peran sebagai pimpinan pemerintah darurat RI (PDRI) untuk mengisi kekosongan kepemimpinan RI setelah Soekarno dan Hatta ditangkap dan diasingkan oleh kolonial Belanda saat Agresi Militer II.
Sebagai pimpinan pemerintahan darurat, Sjafruddin pun menyusun kabinet untuk memastikan republik tetap berjalan. Karenanya, Sjafruddin juga kerap disebut sebagai presiden yang terlupakan.
Selepas Revolusi Kemerdekaan, jalan pengabdian Sjafruddin kepada bangsa berlanjut sebagai menteri keuangan hingga gubernur Bank Indonesia. Muara pergerakannya adalah memimpin Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Rekam jejak Sjafruddin bisa dibilang terlampau beragam. Ahli hukum tersebut pernah menjadi redaktur majalah Soeara Timoer hingga pejabat tinggi negara. Namanya kini abadi di dua gedung sekaligus, milik Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan.
Amarah Sjafruddin terhadap kesombongan penjajah menjadi lecutan untuk terus menjaga martabat bangsanya. Barangkali dari kisah kemarahan si 'Kuding' muda kepada penjajah yang enggan membayar pajak kita bisa belajar. Pemungutan pajak memang harus adil: atas-bawah, depan-belakang. Vertikal dan horizontal. Pajak harus adil, tak boleh zalim. (sap)
Sumber:
1. Junisar, Hurri, Heri Priyatmoko, 2017. Jejak Pajak Indonesia Abad ke-7 Sampai 1966, Jakarta: Ditjen Pajak
2. Rosidi, Ajip, 2011. Sjafruddin Prawiranegara: Lebih Takut kepada Allah, Biografi, Jakarta: Pustaka Jaya
3. Herdona, Syadesa Anida, 2022. Mengurai Keberadaan Prinsip Keadilan dalam Sistem Pajak, https://news.ddtc.co.id/mengurai-keberadaan-prinsip-keadilan-dalam-sistem-pajak-39172