Baharuddin Jusuf Habibie. (Foto: The Jakarta Post)
PARUH Januari 1999, 5 hari menjelang Idulfitri, ia menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1999. Itu keppres tax holiday untuk 22 sektor industri. Dalam keppres tersebut, masa tax holiday ditetapkan 3 tahun untuk investasi di Jawa dan Bali, dan 5 tahun untuk di luar Jawa dan Bali.
Tax holiday merupakan pembebasan pajak penghasilan untuk perusahaan dalam jangka tertentu. Fasilitas ini diberikan guna merangsang investasi di suatu daerah atau sektor tertentu, seperti untuk mereka yang memelopori industri pionir atau membangun pabrik di kawasan miskin infrastruktur.
Saat itu, pemerintah memang tidak punya banyak pilihan. Tahun sebelumnya, kinerja investasi terkontraksi 50%, dengan pertumbuhan ekonomi minus 13,13%. Itu pun harus dibiayai utang luar negeri yang bengkak hingga US$138 miliar, hingga rasio produk domestik brutonya tembus 58%.
Sampai Oktober 1999, setelah bergerak cepat merampungkan UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Bank Indonesia, UU Pemerintahan Daerah, UU Pers dan puluhan UU lain yang membuat suasana menjadi lebih demokratis—juga referendum Timor Leste—sampailah ia ke ujung masa jabatannya.
Namun, menjelang momentum pertanggungjawabannya sebagai Presiden, mukanya masih meriah. Matanya bundar berpendar, senyumnya lebar. Ia melambaikan tangan sembari menekuk-nekuk jari. Ketika MPR menolak pertanggungjawabannya, ia tahu masanya sebagai presiden sudah habis.
“Saya tidak menyanggupi menerima pencalonan saya sebagai Presiden. Saya harus memberi contoh demokrasi. Saya ditolak MPR. Bagaimana penilaian rakyat kalau saya terus maju? Sebagai seorang demokrat, saya tidak bersedia dicalonkan!” tegasnya. “Clear?” (Hermawan, 2000)
Baharuddin Jusuf Habibie (1936-2019), biasa dipanggil Rudi, lahir di Parepare, Sulawesi Selatan. Ayahnya datang dari keluarga kelas menengah di Gorontalo. Keluarga ayahnya terkenal memiliki banyak sapi, kuda, dan perkebunan kopi. Ibunya juga dari keluarga kelas menengah di Yogyakarta.
Rudi menghabiskan masa remajanya di Bandung. Saat kelas 2 SMP, ayahnya meninggal. Setelah SMA, ia belajar teknik di Universitas Indonesia Bandung, dan setahun berikutnya terbang ke Aachen, Jerman, belajar penerbangan. Pada 29 tahun, ia meraih doktor berpredikat summa cumlaude.
Ia memang bukan politisi. Ia juga bukan seorang ekonom. Kita tahu keduanya kadang punya kesamaan—sama-sama bermulut licin. Namun, 17 bulan atau 512 harinya sebagai Presiden Republik Indonesia, ia berhasil membangun pondasi kuat ke arah konsolidasi demokrasi sekaligus ekonomi.
Pada eranya, kebebasan pers dijunjung tinggi. Keran kebebasan berpolitik dibuka lebar-lebar. Orang tidak takut lagi mengkritik kekuasaan. Tatanan dan sendi-sendi kehidupan politik dan demokrasi diperbaiki. Dwifungsi ABRI dicabut, dan independensi lembaga-lembaga negara diperkuat.
Ia juga membangun berbagai institusi ekonomi yang sampai hari ini masih dipertahankan. Hanya setahun, ia memangkas suku bunga BI dari 70% ke 13%, mengerek cadangan devisa dari US$19 miliar ke US$27 miliar, dan memangkas kurs rupiah dari Rp17 ribuan ke Rp7 ribuan. (Habibie, 2006)
Lalu, apa yang dilakukannya setelah menjadi pensiunan presiden? Ia diperiksa Kejaksaan Agung, sebagai saksi dalam kasus dana nonbujeter Bulog Rp40 miliar. Kasus yang menyebabkan tersangka mantan Sekretaris Negara Akbar Tanjung divonis 3 tahun sebelum dibebaskan Mahkamah Agung.
Ia sempat tinggal sebentar di Jerman, tetapi pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ia kembali aktif sebagai penasihat presiden. Ia juga menjabat Komisaris Utama PT Regio Aviasi Industri, perusahaan perancang pesawat, sebelum diserahkan ke anaknya, Ilham Habibie.
Di sela-sela waktunya, ia berbicara di banyak tempat dan forum, dengan berbagai kalangan. Ia juga meminta pemerintah mengkaji sistem perpajakan agar pro produk dalam negeri. “Sistem perpajakan Indonesia harus support produksi dalam negeri. Itu harus diutamakan,” katanya suatu ketika.
Tepat pukul 18.05, Rabu (11/9/2019), pada usia 83 tahun, jenius yang dijuluki Mr. Crack ini meninggal, menyusul belahan hatinya yang telah lebih dahulu mangkat, Hasri Ainun Habibie (1937-2010). Pemerintah menetapkan 12-14 September 2019 sebagai Hari Berkabung Nasional. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.